Koran Sulindo – Hari Hak Asasi Manusia Sedunia diperingati setiap tanggal 10 Desember. Presiden Joko Widodo pun memberikan pernyataannya terkait peringatan hari tersebut lewat fanpage Facebook-nya, Jumat malam (9/12). “Memperingati Hari HAM Sedunia ke-68, 10 Desember, kita jadikan momentum meneguhkan komitmen, tekad, dan aksi nyata dalam perlindungan HAM,” tulis Jokowi.
Diungkapkan pula, kita masih ada pekerjaan rumah, yakni kasus pelanggaran HAM masa lalu, konflik agraria, pelanggaran hak masyarakat adat, perdagangan manusia dan kejahatan seksual, serta kekerasan pada anak. “Negara harus hadir dalam menjamin terselenggaranya hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya seluruh warga negara,” katanya.
Sehari sebelumnya, 8 Desember 2016, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Keluarga Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran HAM yang Berat justru menanyakan ke Presiden Joko, apakah masih ingat dengan janjinya untuk memenuhi hak-hak korban pelanggaran hak asasi yang berat pada masa lalu.
Seperti diketahui, pada pidato Hak Asasi Manusia Sedunia yang dilakukan 9 Desember 2014, Presiden Joko bahkan telah menjelaskan peta penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi masa lalu, sebagaimana disiarkan laman Sekretaris Kabinet. “Dalam rangka menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, ada dua jalan yang bisa kita lalui, yaitu lewat jalan rekonsiliasi secara menyeluruh. Yang kedua, lewat pengadilan HAM ad hoc, tadi secara rinci telah disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM,” katanya.
Menurut KontraS, isu rekonsiliasi dan menggunakan mekanisme yudisial melalui Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM (ad hoc) juga Joko Widodo tegaskan pada pidatonya tanggal 11 Desember 2015. Ketika itu, Joko menekankan pentingnya mempertebal nilai-nilai kemanusiaan antara relasi pemerintah dan rakyat; termasuk juga menghadirkan keberanian pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi masa lalu. “Kita menjunjung HAM karena kita ingin agar nilai-nilai kemanusiaan menjadi dasar hubungan antara pemerintah dengan rakyat,” tuturnya ketika itu.
Bahkan, menurut KontraS, Presiden Joko mengatakan, jalan keluar dari masalah pelanggaran hak asasi manusia adalah kita semua harus punya keberanian. “Sekali lagi: punya keberanian untuk melakukan rekonsiliasi atau mencari terobosan penyelesaian melalui jalur-jalur yudisial maupun nonyudisial,” tutur Joko.
Namun, dalam pandangan KontraS, justru ada banyak agenda impunitas baik secara terang maupun malu-malu yang dibela Presiden Joko. Bersama dengan para pembantunya, Joko melakukan tindakan yang bertentangan dengan agenda penyelesaian pelanggaran hak asasi berat.
Pertama, menurut catatan KontraS, Presiden Joko kehilangan otoritasnya dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi berat dengan membiarkan para pembantunya seperti Menkopolhukam, Jaksa Agung, dan Menteri Pertahanan mengambil tindakan sepihak dan nir-akuntabilitas dengan mempromosikan musyawarah dan rekonsialisasi sebagai upaya untuk memutus pertanggungjawaban negara.
“Misalkan, Presiden Widodo menyatakan ia tidak tahu-menahu ketika Simposium 1965 baik yang menghadirkan korban dan para pendamping maupun simposium tandingan 1965 yang digagas oleh Menteri Pertahanan digelar. Ia tidak memahami apa konsekuensi dari pemerintah ketika mendukung kedua simposium tersebut tanpa memiliki kejelasan agenda HAM dan akuntabilitas. Ia juga tidak banyak mengetahui tentang geliat rekonsiliasi lokal yang hari ini ramai dibicarakan di Aceh. Terpilihnya 7 komisioner KKR Aceh adalah mandat yang harus didukung oleh pemerintah pusat. Namun karena banyak ketidaktahuan Presiden atas dinamika warga yang bergiat untuk isu HAM maka menghambat langkah-langkah kemajuan yang seharusnya bisa dilakukan pemerintah,” demikian ditulis KontraS dalam siaran pers-nya yang diunggah di situs web-nya, www.kontras.org.
Tindakan Presiden Joko, tambahnya, termasuk juga membiarkan Kemenkpolhukam yang notebene dipimpin oleh orang yang harusnya dimintai pertanggungjawaban untuk mengambil peran menyelesaikan masalah ini. Ada kerancuan metoda dan ketidakjelasan konsep di sini.
Kedua, Presiden Joko menunjukkan ketidakberdayaan terhadap aktor-aktor dan institusi kekerasan dan pelanggaran hak asasi berat masa lalu. “Dengan kesadarannya, memilih Wiranto menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan dan bahkan ia tidak memberikan komentar ketika Kepala Bais yang bernama Hartomo yang telah dipecat dari struktur TNI terpilih pada posisi prestisius. Padahal, jelas-jelas Presiden Widodo memiliki akses kepada Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan sejumlah mantan aktivis pro-demokrasi yang hari ini memiliki akses lalu lalang (baik secara resmi mapun tidak resmi) di dalam Istana Kepresidenan mengetahui kejahatan dan keterlibatan Wiranto dan Hartomo pada sejumlah kasus kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk kematian Theys Hiyo Eluay yang melibatkan kedua nama ini. Kebijakan politis Presiden Jokowi tersebut penghinaan pada martabat manusia dan berdampak serius pada pemenuhan hak-hak korban, serta memperburuk kondisi psikologis para korban. Lebih jauh, merusak pemajuan hak asasi manusia dan penegakan hukum. Seharusnya orang seperti Wiranto dan Hartomo diproses hukum!” demikian KontraS.
Ketiga, jika Presiden Joko begitu bersemangat menjaga citranya sebagai presiden yang ”blusukan”, Joko justru tidak berani mendengar dan menindaklanjuti suara korban yang sudah 470 kali berdiri persis di depan istana. “Hari ini juga adalah hari ulang tahun Munir, Presiden juga menolak menindaklanjuti putusan KIP Munir agar pemerintah mengumumkan dokumen hasil penyelidikan TPF Munir. Apakah Jokowi hanya mau mengerti soal pembangunan infrastruktur dan bersanding manis dengan investor, aktor keamanan, dan penegak hukum sebagai cara untuk menjaga reputasi politiknya?” kata KontraS.
Keempat, KontraS dan Keluarga Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran HAM yang Berat amat menyayangkan posisi kelembagaan Komnas HAM yang sering memberikan stempel palsu pada agenda perlawanan impunitas. “Komnas HAM banyak melakukan kompromi dengan agenda-agenda yang jauh dari semangat akuntabilitas dan mandatnya yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang HAM. Sudah seharusnya ada audit publik atas kinerja Komnas HAM dan komisioner-komisionernya yang tidak banyak memberikan kontribusi pada isu HAM di Indonesia,” ungkap KontraS.
Mereka khawatir sikap dan langkah Presiden Joko itu jika tidak dievaluasi, dihentikan, akan semakin menyandera Joko untuk tidak berani memprioritaskan penyelesaian pelanggaran hak asasi berat secara berkeadilan, setara, dan bermartabat. “Berangkat dari kondisi saat ini, kami mengingatkan Presiden Jokowi terhadap pentingnya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah menjadi beban bangsa kita. Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu harus menjadi prioritas Presiden dan sepatutnya Presiden memimpin untuk menyelesaikan persoalan ini secara berkeadilan, bermartabat, dan sesuai dengan konsep bahwa Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, kami meminta kepada Presiden membentuk Komisi Kepresidenan yang berada langsung dibawah kendali Presiden untuk memperjelas skema penyelesaian yudisial dan nonyudisial sebagaimana yang ia sampaikan dalam pidatonya 2 tahun berturut-turut; mengambil tindakan tegas untuk segera mencopot Jaksa Agung H.M. Prasetyo karena Jaksa Agung tidak pernah menunjukkan daya dan upayanya dalam menindaklanjuti proses-proses penyidikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang telah diselidiki secara resmi oleh Komnas HAM; menghentikan pendekatan dan tindakan sepihak Kemenkopolhukam dalam merespons agenda penyelesaian pelanggaran HAM berat, dan; menarik semua agenda penyelesaian pelanggaran HAM berat di bawah Komisi Kepresidenan sebagimana dimaksud,” demikian KontraS. [PUR]