Koran Sulindo – HUKUM dan politik memang tidak bisa dipisah-pisahkan. Seperti diungkapkan filsuf Yunani Kuno yang guru dari Alexander yang Agung., Aristoteles, dalam Ethica Nicomachea: hukum merupakan hasil kerja politik. Begitupun di Indonesia: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan perangkat hukum lainnya adalah hasil dari kerja politik. Karena itu, hukum akan berada pada “jalur yang benar” apabila politik telah berjalan demikian.
Politik dikatakan berada pada jalur yang benar jika mampu menghimpun kehidupan bersama untuk meraih kemajuan bersama,kesejahteraan bersama, meningkatkan martabat bersama, dan keadilan bersama. Itu sebabnya, politik di jalur yang benar merupakan ciri peradaban manusia. Kemuliaan manusia akan semakin tinggi ketika berpolitik di jalur yang benar.
Namun, kalau dilihat dari wajah hukum di negeri ini yang masih karut-marut, jelas dunia politik kita juga sedang amburadul. Dan, ini bukan baru terjadi beberapa tahun belakangan ini, tapi sejak puluhan tahun lampau.
Kita lihat saja bagaimana penyelesaian hukum untuk kasus Sabtu Kelabu 27 Juli 1996, 20 tahun lampau. Sampai sekarang, tidak jelas siapa biang kerok dari penyerbuan brutal ke kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia itu. Padahal, dari penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia diketahui, peristiwa itu memakan 5 korban jiwa, 149 orang luka-luka, 136 orang ditahan. Komisi itu juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Pada Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga disebutkan, pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Baca Juga : Emir Moeis: Setiap Perubahan Zaman Selalu Ada Peluang bagi UMKM
Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Infanteri Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa juga terungkap dalam dokumen “Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996” di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.
Kasus yang menimpa mantan Ketua Komisi XI DPR, Izendrik Emir Moeis, juga bisa dijadikan contoh bagaimana wajah hukum di negara ini tidak berada di jalur yang benar. Emir direnggut kebebasannya sebagai manusia merdeka selama tiga tahun karena Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta memutuskan dia bersalah menerima gratifikasi. Padahal, satu-satunya yang paling memberatkan dirinya dalam dakwaan tersebut adalah suatu dokumen, yang hanya berupa fotokopi dan tidak ditemukan aslinya sampai sekarang. Bahkan, ketika ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Emir tidak dipanggil sebelumnya untuk menjalani pemeriksaan. Saksi-saksi pun baru diperiksa setelah mantan Bendahara Umum PDI Perjuangan itu dijadikan tersangka.
Kalau pejabat negara seperti Emir saja bisa diperlakukan seperti itu, bagaimana pula dengan rakyat jelata, kaum marhaenis, yang kurang memiliki akses untuk mendapat pendampingan hukum memadai? []