Kongkalikong agar Jokowi Tak Jadi Presiden Dua Periode

Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Presiden Joko Widodo

Koran Sulindo – Indonesia sedang di ambang kebangkrutan atau memang sudah bangkrut? Pemerintah tampaknya kalap dalam mencari sumber-sumber pendanaan. Yang terakhir, Kementerian Keuangan mengajukan revisi Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dalam rancangan revisi ini, menurut ekonom yang mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli, ada pasal yang membebani masyarakat dengan iuran tambahan atas lebih dari 60 ribu transaksi selain pajak.

Bila revisi itu dikabulkan dan disahkan, semua biaya pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah akan dikenai pungutan tambahan, termasuk biaya uang sekolah, biaya ujian sekolah, pembuatan kartu tanda penduduk, dan pencatatan pernikahan. Pada bab penjelasan pasal 4 ayat 3, misalnya, dinyatakan bahwa yang dimaksud administrasi dan kewarganegaraan antara lain meliputi pungutan pelayanan pencatatan nikah, cerai, dan rujuk.

Itu sebabnya, Rizal Ramli menduga, ada persekongkolan jahat yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menggerus elektabilitas Presiden Joko Widodo menjelang pemilihan presiden 2019 nanti. Bahkan, saking kesalnya, lewat cuitannya di Twitter, Rizal Ramli menyebut Sri Mulyani sebagai Mbok Printil.

“Saya juga bingung, kadang-kadang prihatin, apakah presiden mengerti atau enggak. Karena, ini upaya dengan sengaja menggerogoti elektabilitas Pak Jokowi. Ini jelas upaya mendongkel dia, mengurangi elektabilitas dia,” kata Rizal dalam diskusi publik bertajuk “RUU PNPB Lolos, Rakyat Tambah Beban” di Jakarta, 1 November 2017.

Dengan siapa Sri Mulyani bersekongkol? Menurut Rizal, dengan para anggota DPR. Caranya: Mbok Printil, eh, Sri Mulyani “menyogok” pihak parlemen dengan anggaran pembangunan gedung baru senilai lebih dari Rp 5,7 triliun. “Saya tidak mau suudzon. Menteri keuangan kita sudah menyepakati gedung DPR Rp 5,7 triliun di APBN 2018, itulah penjelasannya mengapa partai-partai diam. Dengan gedung DPR baru, mereka tidak peduli rakyat akan dibebani oleh berbagai iuran,” tutur Rizal lagi.

Menurut pandangan Rizal, sebenarnya ada cara yang cerdas yang dapat dilakukan pemerintah mengoptimalkan penerimaan negara. Caranya antara lain dengan membuat revisi Undang-Undang PNPB lebih fokus pada sumber daya alam. Artinya, PNPB hanya dibebankan kepada perusahaan tambang minyak dan gas bumi (migas), batubara, nikel, emas, tembaga, dan sejenisnya. “Itu akan berkali-kali dapatnya, daripada ngumpulin uang kecil yang didapat dari pendidikan, kesehatan, yang sebetulnya hak rakyat. Di mana tugas negara yang wajib menyediakan itu secara gratis?” kata Rizal.

Karena itu, ia menyerukan masyarakat, termasuk aktivis, akademisi, dan anggota DPR bersatu menolak pengesahan revisi Undang-Undang PNPB yang diserahkan pemerintah sejak tahun 2012 lalu itu. “Kita lawan undang-undang yang isinya pungutan enggak jelas ini. Sudah waktunya kita berpikir besar, termasuk bagaimana pemanfaatan sumber daya alam bisa betul-betul kita tingkatkan. Enggak ada artinya duit recehan ini. Saya memohon pemerintah berani juga sama yang besar, jangan cuma berani sama rakyat kecil,” katanya

Dalam kesempatan yang sama, politisi PDI Perjuangan Rieke D. Pitaloka punya pandangan yang senada dengan Rizal Ramli. Menurut dia, revisi Undang-Undang PNBP tidak boleh membebani rakyat jelata sehingga meniadakan keadilan. Itu sebabnya, dia berjanji akan terus menolak revisi tersebut. Ia akan memperjuangkan agar revisi undang-undang itu bisa sesuai dengan yang diamanatkan UUD 1945.

“Memperbaiki, bukan sekadar teknisnya bagaimana, tapi juga bisa menghadirkan kedaulatan keuangan kita sebagai suatu bangsa, bagaimana masalah keuangan ini sesuai perspektif keadilan. Dikatakan di sini bahwa bersifat adil itu tidak diskriminatif,” kata anggota Badan Legislasi DPR RI itu.

Keadilan yang dimaksud, tambahnya, bukan hanya adil bagi pemerintah atau rakyat kecil. Keadilan itu harus dirasakan semua pemangku kepentingan agar tidak ada yang merasa paling terbebani. “Harus dilihat siapa yang seharusnya terkena PNBP dan mana yang tidak. Tidak bisa pukul rata,” ujarnya.

Rieke lebih setuju jika Undang-Undang PNBP lebih mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pengelolaan sumber daya alam. Misalnya dibebankan ke perusahaan tambang dan sejenisnya. Dalam penilaiannya, itu lebih sesuai dengan asas non-diskriminatif. “Betul, harus ada revisi, tetapi isinya adalah mengoptimalkan sumber daya alam. PNBP dari sumber daya alam,” katanya.

PADA 16 AGUSTUS 2017 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah mengatakan potensi PNBP masih harus terus digenjot. “Dengan tetap menjaga pelayanan dan kelestarian lingkungan,” katanya di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta.

Menurut dia, upaya itu dilakukan agar target penerimaan negara yang tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 tercapai. Ia berharap, kontribusi PNBP di setiap kementerian dan lembaga dapat lebih ditingkatkan. Beberapa kementerian yang dimaksud adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Untuk Kementerian ESDM, PNBP-nya  dapat ditingkatkan dengan mengurangi inefisiensi dan kebocoran sumber minyak dan gas serta minerba.  “Serta pengendalian cost recovery,” ujarnya.

Target tersebut akan dicapai, tambahnya, dengan mengawasi proyek pengembangan lapangan onstream tahun 2017 agar berjalan tepat waktu. Selain itu: optimalisasi pemanfaatan gas bumi ke para pemangku kepentingan domestik. Pemerintah juga akan menetapkan kebijakan terkait dengan harga gas bumi tertentu untuk mendorong pertumbuhan industri dalam negeri.

“Kami juga akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan instansi pemeriksa guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak untuk PNBP Pertambangan,” ujar Sri Mulyani.

Ia mengatakan, sistem penatausahaan hasil hutan berbasis teknologi pun akan diperbaiki. “Untuk memantau pengelolaan hutan secara online,” katanya.

Sementara itu, KKP diarahkan untuk menggali pengelolaan hasil laut yang lebih seimbang. Caranya: memberantas illegal, unreported, and unregulated fishing.

Akan halnya Kementerian BUMN dapat lebih meningkatkan kinerjanya untuk mendorong penerimaan PNBP. Untuk kementerian dan lembaga lain pengelola PNBP, Sri Mulyani mengungkapkan, mereka dapat memperbaiki tarif dan jenis PNBP agar lebih realistis.

Lalu, pada 30 Agustus 2017, Sri Mulyani juga menegaskan, penetapan PNBP, terutama dari Badan Layanan Umum (BLU) bidang pendidikan dan kesehatan jangan sampai membebani masyarakat. “Karena itu, penetapan tarif pada instansi kementerian/lembaga yang menetapkan penerimaan tarif dari PNBP harus dilakukan secara hati-hati,” katanya setelah rapat tertutup yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta itu.

Penetapan tarif tersebut, tambahnya, harus mempertimbangkan aspek daya beli masyarakat dari sisi efisiensi. Juga harus dipertimbangkan dari sisi BLU-nya sendiri dan juga dari kemampuan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik itu yang paling penting. “Jadi, jangann sampai PNBP itu menjadi satu bentuk penerimaan negara yang tidak punya dasar yang baik,” tutur Sri Mulyani. [PUR]