Komisi I DPR Minta Pemerintah Perbaiki Draf RUU Terorisme

TB Hasanuddin/pdiperjuangan-jabar.com

Koran Sulindo – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat meminta agar perbedaan pendapat di internal pemerintah antara Polri dan TNI diselesaikan terlebih dahulu. Hal ini terkait dengan pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme.

Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebaiknya diperbaiki dulu oleh pemerintah sebelum diserahkan lagi ke DPR.

“Sudah lama pemerintah membahas revisi RUU ini. Dan kini RUU itu sudah dikirim ke DPR dengan amanat presiden (ampres),” kata Hasanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan Selasa (26/7).

Dia menuturkan, panitia khusus (pansus) belum menyusun daftar inventaris masalah (DIM) RUU, karena masih mengumpulkan masukkan dari semua pihak seperti akademisi, pakar, dan tokoh masyarakat.

Menurut dia, bila pemerintah tetap memaksakan DPR agar memprioritaskan pembahasan RUU, dikhawatirkan justru akan kontraproduktif. Hal itu tidak menutup kemungkinan dampak perbedaan pendapat TNI dan Polri akan merembet ke DPR.

“Sebaiknya draf yang dikirim pemerintah ke DPR sudah final. Pemerintah harus bisa menyinergikan pemikiran di kalangan internalnya dulu, jangan sampai terjadi perbedaan pendapat,” ujar Hasanuddin.

Polemik RUU Terorisme bergulir usai tertembaknya gembong teroris Santoso dalam Operasi Tinombala, Poso, Senin (18/7). Kapolri Jenderal Tito Karnavian beranggapan, prosedur standar TNI dan Polri dalam menindak terorisme berbeda. Dia menilai, usulan memberikan kewenangan TNI menindak teroris sulit dimasukkan dalam RUU.

Tito mengatakan TNI masih harus membangun kemampuan identifikasi forensik dan memperkuat fungsi penyidikan atas kasus terorisme, sebelum bisa ikut menindak. Saat ini, fungsi ini hanya ada di institusi Polri. TNI, kata Tito, cenderung memegang prinsip ‘kill or to be killed’, yang minim peringatan. Sementara, upaya penegakan hukum terhadap teroris tetap harus mengedepankan hak asasi manusia (HAM).

Sementara menurut Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, TNI memiliki standar prosedur operasi tanpa mengabaikan HAM. Gatot memberi contoh saat menindak Santoso. Tim Alfa Batalyon 515 Raider Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) bergerak menyergap kelompok Santoso. Saat disergap, Santoso didampingi istrinya.

“Ada dua wanita dan tidak bersenjata. Karena tidak bersenjata, kata Gatot, maka tidak ditembak,” kata Panglima TNI. (CHA)