Anak muda memainkan kolintang (theasianparent com)

Suluh Indonesia – Dentingan musik dari kolintang yang memainkan “Bohemian Rhapsody” dari Queen dan “Symphony No. 9” ciptaan Mozart, berhasil memukau ratusan warga Jenewa yang menonton pertunjukan “Sound of Indonesia” oleh grup Kolintang Kawanua Jakarta. Grup ini juga sukses membawakan lagu berbahasa Jerman “Du” dari Peter Maffay, di Gedung Pertunjukan Friedrick-Ebert-Halle, Hamburg, Jerman, secara sempurna.

Tidak hanya lagu daerah dari Minahasa, namun alat musik asal Sulawesi Utara ini mampu memainkan beragam lagu-lagu kelas dunia baik pop, klasik, jazz, dangdut, hingga rock dengan tingkat kesulitan tinggi.

Ini bisa terjadi karena kolintang terbagi dalam beberapa instrumen sehingga dapat memadukan irama yang satu dengan yang lain. Kolintang lengkap memiliki sembilan alat yang terdiri dari melodi 1 (ina esa), melodi 2 (ina rua), melodi 3 (ina taweng), cello (cella), bass (loway), tenor 1 (karua), tenor 2 (karua rua), alto 1 (uner), alto 2 (uner rua), ukulele atau alto 3 (katelu). Namun saat penampilan, empat sampai enam alat yang dimainkan saja sudah cukup, asal bisa mewakili melodi dalam sebuah lagu.

Seperti yang dipertunjukkan para muda-mudi Sanggar Prima Frista asal Kaki Gunung Klabad, Minahasa Utara. Dipimpin oleh Stave Tuwaidan, anak-anak muda itu dengan piawai memainkan lagu-lagu pop yang digandrungi generasi milenial dengan kolintang mereka. Walhasil, pertunjukan pun ramai ditonton mulai dari anak kecil, remaja, hingga orang tua.

Nada-nada dari enam buah alat musik kolintang riuh menggema, mengalun rapi dan indah diiringi suara merdu penyanyinya. Ternyata, para anak muda yang memainkannya adalah Juara Nasional Festival Musik Kolintang Kerukunan Keluarga Kawanua (K3) dari seluruh Indonesia, pada Mei 2018 lalu di Surabaya.

Pertunjukan mereka juga rupanya sudah mendunia. Mereka membawakan alunan nada Kolintang dalam rangka menghadiri undangan KBRI Rusia, untuk mengisi acara Festival Musik Indonesia di Moscow, Rusia. Ini bukti, bahwa kolintang kini bukan hanya alat musik orang tua, anak-anak muda pun kini sangat senang memainkannya.

Pada 2013, Alat musik Kolintang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda asli Indonesia oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, menyusul angklung dan gamelan yang lebih dulu terkenal ke mancanegara.

 

Cerita Rakyat Minahasa tentang Kolintang

Kolintang adalah alat musik tradisional dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara, yang dikenal sebagai alat musik perkusi bernada yang terbuat dari kayu. Alat musik khas Suku Minahasa ini ternyata punya cerita rakyat mengenai asal muasalnya yang cukup menarik.

Zaman dahulu, tersebutlah sebuah desa yang indah bernama To Un Rano – sekarang dikenal dengan nama Tondano. Di desa itu terdapat seorang gadis yang kecantikannya tersohor ke seluruh pelosok desa. Banyak pemuda jatuh hati. Sang gadis, Lintang, pandai menyanyi dan suaranya pun nyaring serta merdu.

Pada suatu waktu, sebuah pesta muda-mudi diselenggarakan di To Un Rano. Muncullah Makasiga, seorang pemuda gagah dan tampan, yang memiliki keahlian di bidang ukir-ukiran. Makasiga meminang Lintang, yang diterima dengan satu syarat: Makasiga harus mencari alat musik yang bunyinya lebih merdu dari seruling emas.

Makasiga pun berkelana keluar-masuk hutan untuk mencari alat musik yang diinginkan Lintang. Untuk menghangatkan badan di malam hari, dia membelah-belah kayu untuk kemudian dijemurnya. Setelah kering, belahan kayu itu diambil satu persatu dan dilemparkannya ke tempat lain. Saat itulah terdengar bunyi-bunyian yang amat nyaring dan merdu. Makasiga senang bukan kepalang. Berkat ketekunan dan keuletannya, Makasiga berhasil membuat alat musik kolintang.

 

Nama dan Bentuk Kolintang

Kolintang berbentuk unik, yakni rangkaian bilah kayu yang disusun di atas sebuah rak, dengan ukuran bilah yang semakin menyusut (mengecil). Panjang pendek bilah menyesuaikan nada yang ingin dihasilkan. Dalam sebuah rak terdiri dari dua baris bilah nada kayu, di mana tiap nada baik di rak atas maupun rak bawah memiliki tinggi nada yang berbeda. Semakin banyak bilah, semakin lebar jangkauan nada yang dihasilkan.

Kolintang berbahan dasar kayu, yang jika dipukul dengan stik berbalut karet, ia menghasilkan bunyi-bunyi yang nyaring dan merdu. Bunyi yang dihasilkan dapat mencapai nada-nada tinggi maupun rendah. Jenis kayu yang digunakan untuk membuat Kolintang adalah kayu cempaka, waru, telur, bandaran, wenang, kakinik, atau jenis kayu lain yang ringan tetapi bertekstur padat, dan serat kayunya tersusun rapi membentuk garis-garis horizontal.

Nama “Kolintang” sendiri berasal dari bunyi “tong” untuk nada rendah, “ting” untuk nada tinggi, dan “tang” untuk nada tengah. Dahulu, orang Minahasa biasanya mengajak bermain Kolintang dengan mengatakan “Mari kita ber-tong-ting-tang” atau dalam bahasa daerah Minahasa “Maimo Kumolintang”. Dari kebiasaan itulah muncul nama “Kolintang”.

Kolintang (kompas com)

Alat musik Kolintang awalnya hanya terdiri dari beberapa potong kayu, yang diletakkan berjejer di atas kedua kaki pemainnya yang duduk di tanah, dengan posisi kedua kaki lurus ke depan. Dari waktu ke waktu, penggunaan kaki pemain diganti dengan dua batang pisang.

Penggunan peti resonator di bawah barisan bilah-bilah kayu dimulai sejak kedatangan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya, yang saat itu menjalani pengasingan di Minahasa pada 1830. Mereka membawa seperangkat gamelan. Peti resonator ditiru dari gamelan dan dimodifikasi ke dalam kolintang, yang dibuat dengan menggunakan kayu keras seperti jati atau mahoni.

Pemakaian Kolintang erat kaitannya dengan kepercayaan tradisional rakyat Minahasa, seperti pada upacara-upacara pemujaan arwah leluhur. Namun, seiring waktu, hal tersebut mulai ditinggalkan. Ini berdampak dengan hampir musnahnya kesenian kolintang itu sendiri. Namun, kolintang muncul kembali berkat seorang tunanetra bernama Nelwan Katuuk, yang menyusun nada Kolintang menurut tangga nada diatonis dan diperkenalkan kembali pada 1940.

Dahulu, Kolintang hanya terdiri dari satu instrumen melodi yang terdiri dari susunan nada diatonis, dengan jarak nada dua oktaf. Sebagai pengiring, digunakan alat-alat musik bersenar seperti gitar, ukulele, dan bas. Kolintang pun terus berkembang, yang pada awalnya hanya instrumen kolintang melodi, saat ini kolintang lengkap memiliki sembilan alat seperti disebutkan sebelumnya.

Kolintang melodi berfungsi sebagai pembawa lagu. Pada umumnya pemain melodi menggunakan dua atau tiga pemukul. Jika salah satu pemukul memainkan lagu, pemukul lainnya memainkan kombinasinya atau nada-nada improvisasi. Untuk memainkan nada panjang, pada nada yang diinginkan harus ditahan dengan cara menggetarkan pemukulnya.

Cello bisa memainkan bermacam fungsi instrumen, tergantung dari lagu dan kecakapan pemainnya. Bass menghasilkan suara rendah dan bulat. Tenor menghasilkan suara treble rendah. Alto berfungsi sebagai penghasil suara treble sedang. Sementara alto 3 merepresentasikan fungsi ukulele yang membunyikan nada-nada tinggi.

Saat ini, kolintang biasa dimainkan anak-anak muda untuk mengiringi musik, tari daerah, bernyanyi bersama kawan-kawan, maupun penyambutan tamu. Mereka bersama pegiat kolintang lain sedang mengupayakan supaya kolintang dapat dipatenkan sebagai Warisan Budaya ke UNESCO, agar dapat lebih diperhatikan dan dijaga kelestariannya. [Ahmad Gabriel]

Baca juga: