Koran Sulindo – Demokrasi memang kerap membawa kegaduhan, karena memberi ruang yang luas pada perbincangan mengenai perbedaan pandangan atau pemikiran. Namun, kegaduhan dalam sistem demokrasi di negara ini tak jarang terjadi bukan karena itu.
Kurang dari dua bulan menjelang Pemilihan Umum 2019 yang akan digelar April nanti saja, misalnya, republik ini dibuat gaduh dengan adanya nama warga negara asing (WNA) yang masuh daftar pemilih tetap (DPT). Awalnya, banyak pihak menganggap kabar itu hanya isapan jempol belaka alias hoaks. Namun, ternyata, itu benar adanya.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, ada 103 warga negara asing terdaftar dalam DPT. “Sudah kami serahkan semua datanya ke KPU [Komisi Pemilihan Umum]. Iya, diserahkan 103 data,” kata Zudan, Senin (4/3).
Zudan mengaku tak mengerti apa yang membuat data WNA masuk ke DPT. Karena, katanya, pihak yang memasukkan nama pemilih itu adalah KPU.
“Tanya ke KPU. Kan yang memasukkan ke DPT bukan Kemendagri,” katanya.
ihaknya, lanjutnya, sudah menyelesaikan tugasnya membantu KPU dalam mengecek data. Langkah selanjutnya, termasuk pencoretan nama WNA dari DPT, ada di KPU sebagai penyelenggara pemilu.
“Kalau dari perspektif kami, perspektif aturan, mestinya [WNA] tidak bisa memilih. Tapi, kalau urusan pilih-memilih kan urusannya penyelenggara pemilu,” ujar Zudan.
KPU pun telah melakukan pemeriksaan terhadap nama WNA yang masuk dalam DPT itu. Hasilnya, menurut penilaian KPU, ada 101 dari 103 nama WNA yang masuk dalam DPT. Dua data WNA lainnya ganda. “Jadi, data akhir kami itu ada 101,” kata Ketua KPU Arief Budiman di kJakarta, Rabu (6/3).
Diuraikan Arief, 101 WNA yang masuk dalam DPT itu tersebar di 17 provinsi. Perinciannya: 2 di Aceh; 34 orang di Bali; 5 orang di Banten; 3 orang di Yogyakarta; 1 orang di Jambi; 10 orang di Jawa Barat; 12 orang di Jawa Tengah, dan; 16 orang di Jawa Timur.
Kemudian ada pula 1 WNA yang masuk dalam DPT di Bangka Belitung; 1 orang di Lampung; 7 orang di Nusa Tenggara Barat; 1 orang di Nusa Tenggara Timur; 1 orang di Papua; 1 orang di Sulawesi Selatan; 1 orang di Sulawesi Utara; 3 orang di Sumatera Barat, dan; 1 orang di Sumatera Utara.
Asal negara WNA tersebut: 1 orang dari Afrika Selatan; 1 orang dari Mauritius; 1 orang dari Tanzania; 1 orang dari Amerika Serikat; 2 orang dari Kanada; 3 orang dari Bangladesh; 4 orang dari Cina; 4 orang dari Filipina; 1 orang dari India, dan; 18 orang dari Jepang. Kemudian ada juga 4 orang dari Korea Selatan; 7 orang dari Malaysia; 1 orang dari Pakistan; 3 orang dari Singapura; 2 orang dari Taiwan; 1 orang dari Vietnam; 3 orang dari Australia; 5 orang dari Belanda; 4 orang dari Inggris; 2 orang dari Italia; 5 orang dari Jerman, dan 1 orang dari Prancis.
Selain itu ada pula 1 orang dari Polandia; 1 orang dari Portugal; 1 orang dari Spanyol; 6 orang dari Swiss, dan; 1 orang dari Turki. Bahkan, ada 10 orang tidak diketahui asal negaranya.
KPU, menurut Arief, sudah mengeluarkan nama-nama WNA itu dari DPT itu. “Jadi, mereka kami keluarkan dari DPT,” kata Arief.
KPU memang hanya menindaklanjuti atau memverifikasi laporan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri. Padahal, pihak yang memasukkan nama pemilih itu adalah KPU, sebagaimana disinggung Zudan.
Menurut Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi, 17 provinsi itu sudah cukup untuk menyisir WNA yang masuk DPT. “Anda mau cari apa ke-514 KPU kabupaten/kota? DPT kita itu kan 192 juta. Masa mau disisir satu per satu? Kan kita sudah punya data 103 nama, sudah lebih target. Kan sudah ketahuan barangnya, berarti enggak perlu buka yang lain,” ujar Pramono, Selasa (5/3).
Ditegaskan Pramono, 103 itu data dari Kemendagri. “Yang kemudian kami buka satu per satu dan dari hasil penyisiran itu kami ketahui tersebarnya hanya di 17 provinsi dan 54 KPU kabupaten/kota. Karena yang kami cari sudah ada, tinggal ditemukan saja orangnya,” katanya.
Jadi, KPU hanya melakukan pengecekan ulang di 17 provinsi, tidak se-Indonesia. Padahal, masih tersedia banyak waktu bagi KPU untuk melakukan penyisiran ulang.
Apalagi, menurut anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Mochamad Afifuddin, tidak menutup kemungkinan data WNA yang masuk DPT dapat bertambah. Bawaslu bahkan terus melakukan pengecekan terhadap potensi tambahan data tersebut. “Jajaran kami tentu mengecek, 103 dari data yang dicek dari sebanyak 1.680 WNA yang sudah memiliki e-KTP berdasarkan data Dukcapil Kemendagri,” kata Afif kepada wartawan di Jakarta, Selasa lalu juga.
Diungkapkan Afifuddin, 103 WNA yang masuk DPT itu juga tercatat di Tempat Pemungutan Suara (TPS). “Nomor TPS-nya segala lengkap. Nama, segala macam,” ujarnya.
Bawaslu menilai, kasus ini ini berbahaya bagi keberlangsungan pemilu. “Berbahaya, makanya harus dibersihkan,” kata Afif.
Kasus ini, lanjutnya, mengindikasikan proses pencocokan dan penelitian daftar pemilih yang belum sempurna. Seharusnya, data pemilih yang tidak berhak harus sudah dipastikan sejak awal proses pencocokan dan penelitian DPT.
Ditegaskan Afif, potensi kecurangan pemilu rawan berasal dari DPT. Ini terbukti dari sejumlah pemilihan yang dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir. “Kecurangan paling dominan itu soal DPT ini dan ini terbukti berulang, kejadian-kejadian mengulang beberapa pelaksanaan pemilu sebelumnya, karena tantangan kita di pendataan,” ujarnya.
Namun, bagi Wakil Presiden Jusuf Kalla, masuknya nama WNA ke dalam DPT Pemilu 2019 akibat kesalahan administrasi pencatatan di tingkat bawah. Kemungkinan aparatur di daerah kurang cermat membedakan e-KTP untuk WNI dan untuk WNA.
Dijelaskan JK, WNA memang diberikan kesempatan untuk mendapatkan kartu identitas seperti KTP. “WNI yang punya izin tinggal di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, juga mendapatkan kartu identitas,” kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (5/3), sebagaimana dikutip banyak media.
Hanya saja, kata JK lagi, fungsi kartu itu hanya sebagai kartu identitas. WNA tetap tak bisa punya hak pilih dalam pemilu. Kartu tersebut digunakan untuk memudahkan daripada setiap hari membawa paspor. Karena, cukup merepotkan bagi para WNA jika harus membawa paspor ke mana-mana setiap hari.
Mengapa aparatur di daerah bisa kompak tidak cermat di 17 provinsi? Tidakkah potensi munculnya masalah yang berbahaya ini telah diantisipasi jauh-jauh bulan atau tahun? [PUR]