Koran Sulindo – TANGGAL 1 Oktober 1965, seorang perwira TNI Angkatan Darat bernama Letnan Kolonel Oentoeng menyampaikan pengumuman melalui Radio Republik Indonesia.Komandan Batalyon I Resimen Pengawal Presiden Tjakrabirawa itu, atas nama kesatuan-kesatuan yang terlibat, mengumumkan bahwa dirinya memimpin suatu gerakan untuk menyelamatkan Presiden Soekarno dari kemungkinan kudeta yang dilakukan sekelompok jenderal TNI Angkatan Darat, yang dikenal sebagai Dewan Jenderal. Oentoeng menyatakan juga presiden dalam keadaan selamat dan diamankan di suatu tempat yang dirahasiakan. Diumumkan pula, pemerintahan Soekarno telah dibubarkan dan diganti oleh suatu dewan revolusioner.
Beberapa jam setelah pengumuman pertamanya itu, Oentoeng kemudian mengeluarkan suatu keputusan tentang pembentukan Dewan Revolusi. Ada lima orang yang duduk di jajaran kepemimpinannya, yang diketuai Oentoeng. Merejka adalah wakil para perwira dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Adapun 40 orang anggotanya dianggap mewakili berbagai kelompok politik.
Ketika itu, mantan Ketua MPR, Taufiq Kiemas, masih mahasiswa dan menjadi Ketua Cabang Palembang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Ia mendengarkan pengumuman Oentoeng tersebut lewat radio.
Kemudian, ia berkumpul dengan aktivis lain GMNI, mendiskusikan pengumuman itu. Namun, mereka bingung tak tahu harus berbuat apa. Karena, informasi yang sampai ke Palembang simpang-siur. Siapakah Oentoeng ini sebenarnya? Dari kelompok mana dia? Apa tujuan gerakan-nya? Para aktivis GMNI Palembang sama sekali tidak punya bayangan tentang Oentoeng dan gerakan 30 September 1965.
Seperti diungkap dalam buku biografinya, Jejak Langkah 60 Tahun Taufiq Kiemas, Taufiq dan kawan-kawan hari itu juga mendatangi rumah mentor politik mereka: A.K. Gani. Begitu bertemu langsung saja Taufiq bertanya, “Menurut Pak Gani, G30S ini gerakan siapa?“
Yang ditanya tak segera menjawab, tampak sedang berpikir keras. Tapi, sejenak kemudian, Gani menjawab: “Saya sendiri tak tahu persis. Tapi, kalau melihat dari tokoh-tokoh utamanya, Oentoeng dan kawan-kawan, G30S ini pekerjaan PKI.”
Gani, Taufiq, dan para aktivis GMNI Palembang pun berembuk untuk mengatur strategi mengantisipasi perkembangan politik yang bakal terjadi. Insting politik politisi senior itu sudah memperkirakan, Peristiwa G30S akan membuat suhu perpolitikan nasional mendidih. Sebuah pergulatan politik sedang terjadi di Jakarta dan berefek sampai ke darah-daerah.
Perkiraan Gani ternyata tidak meleset. Tak lama kemudian, Angkatan Darat melakukan serangan balasan, dipimpin Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. Pelan tapi pasti, PKI—yangtelah dicap sebagai dalang G30S—mulai ditumpas secara sistematis Soeharto juga kemudian membubarkan PKI, kemudian menumpas kekuatan PKI serta melemahkan kelompok pro-Soekarno. Keputusan dan tindakan Soeharto itu membuat aksi-aksi antikomunis yang dilakukan Front Pancasila, KAMI, KAPPI, dan organisasi lain semakin marak. Di Palembang pun hampir setiap hari terjadi demonstrasi “mengganyang“ PKI.
Para aktivis GMNI Palembang, meskipun tidak ikut bergabung dalam KAMI, juga melakukan gerakan “pembersihan“ tokoh-tokoh PKI di Sumatera Selatan. “Tugas kami terutama memberitahukan siapa saja aktivis PKI dan organisasi onderbouw-nya kepada aparat keamanan,“ kata Djohan Hanafiah, teman Taufik Kiemas, dalam buku itu. Garis politik GMNI ketika itu adalah membela Presiden Soekarno dari berbagai kekuatan politik yang berusaha merongrong kekuasaannya. Tak peduli apakah itu dari kalangan komunis, tentara, atau kekuatan politik lain. “Pokoknya, siapa saja yang menyerang Bung Karno waktu itu kami anggap musuh,” tutur Djohan Hanafiah.
Itulah sebabnya ketika koran Noesa Poetra—surat kabar lokal milik Partai Syarikat Islam Indonesia—edisi 9 Maret 1966 memberitahukan Bung Karno terlibat G30S, emosi aktivis GMNI Palembang meledak. Mereka tidak menerima tuduhan terhadap tokoh proklamator yang juga Presiden Republik Indonesia itu. Dalam pemberitaan Noesa Poetra itu disebutkan pula bahwa PNI Ali-Surachman berafiliasi dengan PKI. Maka, pagi-pagi sebelum koran Noesa Poetra beredar di masyarakat, seluruh edisi hari itu dirampas dari percetakan CV Rambang. Lantas, tanpa berpikir panjang, anak-anak GMNI Palembang membakar seluruh koran itu.
Siangnya, Taufiq yang tak tahu-menahu mengenai pembakaran itu baru dilapori anak-anak GMNI. “Kak Taufiq, kami sudah bakar koran yang memfitnah Bung Karno. Sekarang apa yang harus kita lakukan? Siapa yang harus bertanggung jawab?“ tanya salah seorang di antara mereka. Tanpa pikir panjang, Taufiq menjawab akan mengambil alih tanggung jawab. Sebagai Ketua GMNI Palembang, ia merasa harus berani bertanggung jawab atas perbuatan anak buahnya. “Saya pikir, kalau saya enggak berani bertanggung jawab hari ini, saya tidak akan berani bertanggung jawab sampai kapan pun selama hidup saya,” kata Taufiq.
Padahal, suhu politik saat itu sedang panas. Isu anti-PKI mulai beralih menjadi anti-Soekarno. Kekuatan anti-Soekarno dan pro-Soekarno sudah berhadap-hadapan, bahkan sampai ke jalanan. Akan halnya tentara, terutama Angkatan Darat, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, memihak kalangan yang anti-Soekarno.
Tak lama setelah peristiwa pembakaran koran Noesa Poetra, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD, melakukan kunjungan ke Sumatera Selatan. Taufiq dan puluhan aktivis GMNI Palembang pun kemudian dipenjarakan di markas CPM Kodam Sriwijaya di Jalan Merdeka, Palembang.
Di luar penjara, keluarga Taufiq terkena imbasnya. Sang ayah, Tjik Agus Kiemas, dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Jawatan Perdagangan Sumatera Selatan. Adiknya, Santayana Kiemas, dikeluarkan dari sekolahnya di SMA Negeri II Palembang.
Lepas dari penjara, Taufiq Kiemas pindah ke Jakarta. Namun, ia tetap melakukan melakukan aktivitas politiknya dan kerap berinteraksi dengan Guntur Soekarnoputra, anak sulung Bung Karno. Juga kerap berdiskusi dengan aktivis GMNI dan para soekarnois yang lain. Namun, aktivitasnya terendus aparat keamanan rezim Orde Baru. Maka, tahun 1968, Taufiq kembali ke hotel prodeo. Ia dipenjarakan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta. Ternyata di rumah tahanan itu juga sudah banyak kaum nasionalis dan soekarnois yang juga dipenjarakan, termasuk Panda Nababan, wartawan yang mantan anggota DPR, yang ketika itu adalah mahasiswa Universitas Bung Karno, Jakarta. [Purwadi Sadim]