Kisah Pulau Onrust di Kepulauan Seribu

Foto udara Pulau Onrust, 1925.

PEMERINTAH telah menetapkan adanya Taman Arkeologi Onrust. Secara teknis taman tersebut meliputi empat pulau yang saling berdekatan yaitu Onrust, Cipir, Kelor dan Bidadari.

Wilayah Pulau Onrust tidak terlalu besar. Menurut Edi Dimyati (2010: 293) dalam buku 47 Museum Jakarta: Panduan Sang Petualang, pulau ini hanya memiliki luas 7,5 hektar. Namun, Onrust punya banyak cerita dan rekam jejak panjang, yaitu sejak masa kerajaan sampai setelah era kemerdekaan Indonesia.

Pulau Onrust pada kenyataannya pernah memberikan keuntungan besar bagi Belanda dalam upaya menancapkan pengaruhnya di Nusantara, terutama di wilayah barat Jawa. Tidak hanya untuk perang melawan Banten, pulau ini juga menjadi benteng pertahanan VOC dalam persaingan menghadapi kongsi dagang Inggris pada 1618. Di bawah pengelolaan VOC, pembangunan Pulau Onrust digalakkan terutama untuk menguatkan posisinya sebagai pangkalan militer sekaligus benteng Belanda yang berfungsi sebagai garda depan pertahanan sebelum musuh memasuki Jayakarta atau Batavia.

Kilas Sejarah Pulau Onrust

Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van der Capellen (19 Agustus 1816 – 1 Januari 1826) lah yang pada awalnya berencana membangun galangan kapal di Pulau Onrust berikut sistem pertahanannya.

Baru pada tanggal 21 Januari 1849, Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen memutuskan untuk membangun sistem pertahanan pulau yang dilengkapi meriam. Walaupun baru terealisasi pada tahun 1850. Benteng Martello pun dibangun di Pulau Onrust, Pulau Bidadari, Pulau Kelor, dan Pulau Cipir, di kawasan Kepulauan Seribu.

Benteng Martello merupakan jenis benteng menara yang berkembang di Eropa pada abad ke-18 hingga ke-19 . Bangunan ini mengadaptasi gaya benteng menara yang terletak di Mortella Point, Prancis. Ciri khas dari benteng menara ini adalah berbentuk tabung dengan dinding yang tebal dan terbuat dari bata. Bangunan ini terdiri dari dua hingga tiga tingkat, dan dikelilingi oleh parit. Atap dari benteng dibuat datar untuk meletakkan meriam. Di lantai pertama akan ada dapur, ruang perbekalan, gudang mesiu dan persenjataan, serta tempat penampungan air.

Benteng ini pada awalnya hendak dibangun di enam pulau yang ada di utara Jakarta, yakni Pulau Onrust, Cipir, Bidadari, Kelor, Batu Karang Mathilde, dan Trigosson. Namun, pembangunan benteng menara di Batu Karang Mathilde dan Trigosson dihentikan. Menara-menara tersebut kemudian berubah fungsi menjadi gudang penyimpanan semenjak tahun 1871. Menara yang ada di Pulau Kelor juga telah  dipugar pada tahun 1908.

Umumnya nama-nama pulau di Kepulauan Seribu memang berbau kolonial. Sebut saja Pulau Amsterdam (Untung Jawa), Middbur (Pulau Rambut), Rotterdam (Pulau Ubi Besar), Schiedam (Pulau Ubi Kecil), Purmerend (Pulau Bidadari), Kerkof (Pulau Kelor), Pulau Kuiper (Pulau Cipir) hingga Pulau Onrust atau Pulau Sibuk.

Menjadi Rebutan

Keluarga istana dari Kesultanan Banten bahkan pernah menjadikan Pulau Onrust sebagai salah satu tempat peristirahatan paling favorit pada abad ke-16 (Bambang Budi Utomo, Warisan Bahari Indonesia, 2017:61).

Pada masa itu, Onrust ibarat permata yang paling berkilau di gugusan Kepulauan Seribu. Setelah Sunda Kelapa direbut oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon pada 1527, terjadi lah sengketa hak kepemilikan Pulau Onrust. Pulau yang semula merupakan milik Kesultanan Banten itu dipersoalkan oleh otoritas lokal penguasa baru Sunda Kelapa, atau kemudian Jayakarta.

Ribut-ribut memperebutkan pulau Onrust berlangsung berlarut-larut. Tidak ada upaya yang benar-benar serius untuk menuntaskannya (Chandrian Attahiyyat, Onrust Island, 2000:10), hingga akhirnya datang orang-orang Belanda dengan bendera VOC yang ternyata juga berminat untuk menguasai Pulau Onrust.

Akhirnya pada November 1610, VOC berupaya menjalin kesepakatan dengan wakil penguasa Kesultanan Banten supaya diizinkan menebang pohon-pohon di Pulau Onrust untuk bahan pembuat kapal, ternyata permohonan tersebut dikabulkan. Sejak saat itu, tidak sedikit kapal yang memerlukan perbaikan kemudian singgah ke Pulau Onrust sebelum melanjutkan pelayaran, atau ketika hendak menuju Jayakarta/Batavia.

Karena letak pulau Onrust yang memang strategis dan sangat fungsional, membuat VOC enggan mengembalikan Onrust kepada Kesultanan Banten. Jan Pieterszoon Coen yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC sejak 21 Mei 1619 pun menghendaki agar Pulau Onrust dijadikan koloni (Windoro Adi, Batavia 1740:Menyisir Jejak Betawi, 2010:281). Akhirnya, terjadilah pertikaian antara Belanda dengan Kesultanan Banten. Onrust pun difungsikan sebagai pangkalan militer VOC untuk melawan Banten yang notabene adalah pemilik pulau.

Berbagai  Fungsi Pulau Onrust

Pulau Onrust benar-benar memberikan keuntungan bagi Belanda tak hanya untuk perang melawan Banten, namun juga menjadi benteng pertahanan VOC dalam persaingan menghadapi kongsi dagang Inggris pada 1618.

Di bawah pengelolaan VOC, pembangunan Pulau Onrust ditingkatkan terutama untuk menguatkan posisinya sebagai pangkalan militer sekaligus benteng Belanda yang berfungsi sebagai garda depan pertahanan sebelum musuh memasuki Jayakarta atau Batavia

Belanda sempat kehilangan kendali atas Onrust pada 1800, ketika Inggris berhasil mengambil-alih pulau tersebut. Pendudukan Inggris di Pulau Onrust berlangsung hingga tahun 1816, tapi pasukan Inggris menyebabkan kerusakan yang sangat nyata. Hampir seluruh bangunan yang ada dihancurkan.

Setelah lepas dari penguasaan Inggris, Belanda lalu perlahan-lahan kembali merestorasi kondisi Pulau Onrust. Pada 1828, pembangunan digiatkan lagi. Selain itu, pulau-pulau sekitar, termasuk Pulau Bidadari, Pulau Cipir, dan Pulau Kelor, juga dihidupkan sebagai pendukung Pulau Onrust.

Kehadiran Pelabuhan Tanjung Priok yang dibangun pada 1883 meredupkan peran Pulau Onrust yang terkait perkapalan dan pelayaran. Memasuki abad ke-20, pulau ini beralih fungsi sebagai sanatorium TBC serta untuk tempat karantina jemaah haji (I.G.N. Anom, dkk., Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PJP I, 1996:78). Pada masa itu, orang-orang Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji dengan menumpang kapal harus dikarantina terlebih dulu di Pulau Onrust sebelum berangkat ke Mekkah. Demikian pula ketika pulang. Mereka harus benar-benar steril sebelum memasuki wilayah Hindia Belanda.

Nasib Pulau Onrust kemudian makin suram. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menjadikan Onrust sebagai penjara bagi para tawanannya, termasuk mereka yang ditangkap dalam peristiwa pemberontakan Zeven Provincien pada awal 1933. Bahkan Onrust sempat menjalani peran seperti penjara Alcatraz di Amerika Serikat, hingga di masa pendudukan Jepang yang menduduki Indonesia pada 1942. Pemerintah militer Jepang juga mengurung para penjahat kelas berat di pulau ini. Belanda yang datang lagi bersama Sekutu tak lama setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 pun kemudian tetap memfungsikan Pulau Onrust sebagai kamp tawanan.

Masih tetap dalam kondisi suram setelah pengakuan kedaulatan jelang tahun 1950, pulau ini kemudian digunakan untuk merawat penderita penyakit lepra yang menular, juga sebagai tempat penampungan pengemis dan gelandangan.

Kemudian di tahun 1972, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin lah yang menetapkan Pulau Onrust sebagai pulau bersejarah. Bersama sejumlah pulau lain di sekitarnya, Onrust juga dikukuhkan oleh pemerintah RI sebagai wilayah Suaka Taman Purbakala Kepulauan Seribu. [S21]