Kisah Pertempuran Lima Hari di Semarang

Ilustrasi Pasukan Jepang (Ist)

Di tengah suasana revolusi yang penuh dengan ketidakpastian dan perjuangan, kisah heroik sering kali muncul dari keberanian rakyat biasa yang bersatu melawan ketidakadilan. Salah satu peristiwa yang menggemakan semangat perlawanan itu adalah Pertempuran Lima Hari di Semarang, sebuah momen di mana rakyat, Pemuda, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bersatu mempertahankan kemerdekaan melawan pasukan Jepang yang enggan menyerahkan senjatanya. Peristiwa ini bukan sekadar pertempuran fisik, melainkan juga simbol perjuangan untuk membangun masa depan bangsa yang merdeka. Mari kita telusuri lebih dalam bagaimana peristiwa ini menjadi babak penting dalam sejarah revolusi Indonesia.

Awal Mula Konflik

Melansir laman Ensiklopedia Sejarah Indonesia, setelah Jepang menyerah dalam Perang Dunia II, dinamika baru bermunculan di Indonesia. Di tengah upaya bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya, sisa-sisa pasukan Jepang masih bertahan, menunggu kedatangan pasukan Sekutu untuk melucuti persenjataan mereka. Kondisi ini memicu salah satu peristiwa heroik dalam sejarah revolusi Indonesia, yaitu Pertempuran Lima Hari di Semarang. Pertempuran ini berlangsung dari 15 hingga 19 Oktober 1945, melibatkan rakyat Semarang, Pemuda, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melawan pasukan Jepang yang enggan menyerahkan senjata.

Penyulut pertempuran ini bermula dari peristiwa tragis yang menimpa dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Malaria PURUSARA. Pada 14 Oktober 1945, ia ditembak oleh pasukan Jepang saat hendak memeriksa laporan bahwa pasukan Jepang meracuni persediaan air di Jalan Wungkal, Candi Lama. Berita gugurnya dr. Kariadi menyebar cepat, membakar semangat perlawanan warga Semarang.

Pada 15 Oktober 1945, Mayor Kido Shinichiro memimpin sekitar 1.000 pasukan Jepang untuk menyerang pusat Kota Semarang. Perlawanan pun pecah ketika Pemuda dan TKR menghadang pasukan Jepang di berbagai titik strategis seperti Kintelan, Pandanaran, Jombang, dan Simpang Lima.

Pasukan Jepang memulai serangan mereka dari Candi Lama, melanjutkan ke markas TKR di Jombang dan Bangkong, di mana mereka menangkap dan mengeksekusi beberapa Pemuda. Sebagai balasan, pasukan Indonesia berhasil membakar gudang amunisi Jepang, menandai eskalasi besar-besaran konflik ini.

Pertempuran meluas ke seluruh penjuru kota. Jepang menduduki kawasan strategis seperti Semarang Timur, Candi Baru, dan Pandanaran. Namun, semangat perjuangan rakyat Semarang tak surut. TKR, Polisi Istimewa, dan Pemuda berhasil membebaskan beberapa tawanan di Sayangan serta menyerbu posisi Jepang di Pasar Johar.

Pada 16 Oktober 1945, pasukan Jepang merebut Penjara Bulu, melancarkan eksekusi massal terhadap para tahanan. Peristiwa ini semakin memuncak ketika Gubernur Jawa Tengah, K.R.M.T. Wongsonegoro, diundang oleh pasukan Jepang untuk menyaksikan kondisi penjara tersebut, sebagai bagian dari negosiasi damai.

Kedatangan Sekutu dan Akhir Pertempuran

Pasukan Sekutu tiba di Semarang pada 19 Oktober 1945 melalui kapal HMS Glenroy, membawa brigade Britania-India di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethell. Sekutu, yang juga disertai NICA, bertujuan melucuti senjata Jepang dan mengurus tawanan perang.

Pada 20 Oktober 1945, perundingan diadakan antara perwakilan Republik Indonesia, Jepang, dan Sekutu. Kesepakatan genjatan senjata tercapai, dengan syarat pasukan Jepang membebaskan tawanan dan dikonsinyir di markas mereka. Sementara itu, pasukan TKR dan laskar-laskar mundur untuk mengatur strategi menghadapi perkembangan situasi selanjutnya.

Pertempuran ini meninggalkan luka mendalam. Diperkirakan sekitar 2.000 orang Indonesia dan 500-850 orang Jepang gugur dalam peristiwa tersebut. Sebagai penghormatan atas perjuangan rakyat Semarang, Tugu Muda diresmikan pada 20 Mei 1953 oleh Presiden Sukarno di Simpang Lima, Semarang. Monumen ini menjadi simbol pengorbanan dan semangat perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan.

Pertempuran Lima Hari di Semarang tak hanya menjadi bukti heroisme rakyat Indonesia, tetapi juga pengingat bahwa kemerdekaan bangsa ini diraih dengan darah dan pengorbanan. Semangat persatuan yang ditunjukkan rakyat Semarang pada masa itu terus menginspirasi generasi bangsa hingga hari ini. [UN]