Kisah Misteri dari Dunia Ekonomi Indonesia

Koran Sulindo – “Terus terang ini masih misteri,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (4/8). Pernyataan Bambang itu merupakan jawaban atas penyebab melemahnya daya beli masyarakat.

Kendati demikian, menurut Bambang, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki daya beli masyarakat, antara lain melalui penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat, meski distribusi bantuan tersebut memiliki kendala tersendiri, mulai dari keterlambatan penyaluran sampai dengan tidak tepat sasaran.

Presiden Joko Widodo pun telah memanggil para pemangku kepentingan untuk menyelesaikan persoalan ini. “Presiden memanggil 18 menteri, bagaimana kita mengatasi daya beli. Apakah dorong belanja atau yang lainnya?” ujar Bambang.

Namun, Bambang sendiri tak melihat adanya penurunan daya beli di kalangan masyarakat. Apalagi, data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menunjukan adanya pertumbuhan Pajak Pertambahan Nilai yang cukup signifikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu. “Faktanya, PPN naik. Saya tahu betul, karena itu menggambarkan transaksi. Saya yakin PPN tumbuh bukan karena ekspor, tapi karena ada transaksi,” tuturnya.Pada awal Juli 2017 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menduga, melemahnya daya beli masyarakat karena imbas dari pelemahan ekonomi pada 2014-2016, yakni melemahnya komoditas dan ekspor. Pernyataan Sri itu merupakan tanggapan atas keluhan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, yang mengungkapkan hampir semua perusahaan ritel mengeluhkan turunnya daya beli masyarakat. Tahun ini, menurut Hariyadi, daya beli masyarakat memang jauh menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Diungkapkan Sri Mulyani, kontraksi yang dialami sektor pertambangan memengaruhi sektor lainnya mengalami puncaknya pada kuartal IV 2016. “Pemerintah akan melakukan belanja-belanja untuk sosial sehingga daya beli, terutama untuk 25 bahkan 40 persen masyarakat terbawah tetap terjaga,” katanya.

Ia juga mengatakan, hampir di seluruh dunia, produktivitas mengalami stagnasi dan ini memengaruhi kemampuan untuk meningkatkan daya beli melalui upah yang meningkat. Pemerintah, ungkap Sri, akan terus menggenjot investasi, terutama infrastruktur dan sumber daya manusia. Menurut dia, dua faktor itulah yang sangat menentukan peningkatan produktivitas. “Selain itu, reformasi kebijakan akan terus dilanjutkan di bawah koordinasi Menko untuk memperbaiki minat investasi,” ujarnya.

Namun, ekonom Rhenald Kasali meragukan daya beli masyarakat saat ini menurun. Menurut dia, yang terjadi sekarang adalah uang sedang berpindah (shifting) dari kalangan menengah ke atas ke ekonomi rakyat. “Dan para elit sekarang sedang sulit karena peran sebagai middleman mereka pudar akibat disruptive innovation [inovasi yang mengubah kebiasaan], lalu meneriakkan daya beli turun,” tutur Rhenald, 29 Juli 2017 lalu.

Contoh pun disodorkan Rhenald untuk memperkuat pendapatnya. Pertama: perusahaan logistik JNE, yang kini memiliki pangsa pasar (market share) di atas PT Pos dan semua perusahaan e-commerce menjalin kerja sama. Kondisi tersebut memaksa JNE untuk meningkatkan pelayanan, yang dalam beberapa bulan terakhir terus melakukan penambahan tenaga kerja sampai dengan 500 orang. “Tak banyak orang yang tahu bahwa konsumen dan pedagang beras di Kalimantan kini lebih banyak membeli beras dan minyak goreng via Tokopedia dari Surabaya, Lombok, Makasar, dan lain-lain. Juga tak banyak yang tahu bahwa angkutan kargo udara dari Solo naik pesat untuk pengiriman garmen dan barang-barang kerajinan. Juga dari kota-kota lainnya. Artinya, usaha kecil dan kerakyatan mulai diuntungkan,” katanya.

Kedua: retailer. Aprindo mengatakan, penjualan yang dicapai anggotanya pada semester pertama 2017 turun 20%. Kondisi tersebut mengikuti pola angkutan taksi yang sudah turun sekitar 30-40% pada tahun lalu. “Apakah karena daya beli? Bukan. Penyebabnya adalah shifting ke taksi online. Sama halnya ritel dan hotel yang beralih dari konvensional ke online. Artinya bukan daya beli drop, bukan juga karena keinginan membeli turun, melainkan terjadi shifting,” tutur Rhenald.

Ketiga: produsen fast moving consumer goods (FMCG), yang mengakui adanya kenaikan omzet 30-40%, mulai dari tepung terigu milik Bogasari sampai dengan produk obat-obatan milik Kalbe Farma. “Demand-nya masih naik pesat. Tetapi, produsen seperti Gulaku mengaku drop karena kebijakan harga eceran tertinggi yang mulai dikontrol pemerintah,” ujarnya.

Yang mengalamai penurunan, ungkap Rhenald, adalah grosir-grosir besar, yang biasa membayar kepada produsen mundur 45 hari hingga 3 bulan, di antaranya adalah supermarket besar yang biasa “mengerjai” usaha mikro, kecil, dan menengah dengan menunda pembayaran.  “Kini dengan munculnya dunia online, UMKM bisa langsung, maka supermarket besar kekurangan pasokan. Produsen besar juga menahan stoknya, lebih mengutamakan membuka jalur distribusi baru,” ungkapnya.Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, memang terjadi penurunan pendapatan riil, khususnya masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perkotaan, sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat. Menurut ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, inflasi yang selama semester I 2017 mencapai 2,4% membuat pendapatan riil masyarakat berpendapatan rendah tergerus 1,4%. “Buruh bangunan, misalnya, meski secara nominal rata-rata upah mereka mengalami kenaikan,” katanya, 30 Juli 2017.

Diungkapkan Faisal, data BPS tersebut mematahkan argumen pemerintah jika inflasi tahun 2017 ini terkendali. Memang benar jika inflasi bahan pangan (volatile food) tahun ini sangat rendah, lanjutnya, tapi kenaikan tarif listrik, Elpiji, dan lain-lain justru membuat inflasi meningkat dua kali lipat. “Kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang diatur oleh pemerintah, administered prices, seperti tarif dasar listrik dan gas Elpiji,‎ justru mendorong inflasi selama enam bulan pertama tahun ini lebih tinggi dua kali lipat dibanding inflasi di periode yang sama tahun lalu,” ungkapnya.

Soal penurunan daya beli itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan, memang hal itu itu terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Ini terlihat dari anjloknya pertumbuhan sektor bisnis, seperti properti, ritel, serta industri makanan dan minuman.‎ “Yang terjadi sekarang itu sebenarnya penurunan daya beli, makanya di properti tidak tumbuh, di sektor ritel pertumbuhannya minus, dan juga industri-industri basic, seperti pangan juga mengalami perlambatan,” katanya.

Salah satu faktor penurunan daya beli masyarakat, lanjutnya, adalah keterbatasan lapangan kerja. Meski tingkat pengangguran terbuka tidak naik, masyarakat banyak yang beralih ke sektor nonformal. ‎”Kenapa terjadi penurunan daya beli? Karena, keterbatasan lapangan kerja sehingga, sekalipun orang tidak masuk ke pengangguran terbuka, mereka terlempar ke sektor nonformal. Sektor ini tentu tidak menghasilkan penghasilan yang memadai sehingga, kalau penghasilannya tidak memadai, barang-barang yang mampu dibeli sangat terbatas. Itu yang disebut penurunan daya beli,” tutur Enny.

Penurunan daya beli masyarakat ini juga, tambahnya, menyebabkan harga-harga relatif tidak banyak bergejolak. Karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, inflasi nasional relatif rendah. ‎”Penurunan daya beli ini menciptakan kurva demand yang menurun, itu menyebabkan harga-harga relatif tidak mengalami gejolak sehingga, dalam tiga tahun terakhir, inflasi kita relatif rendah. Tapi, pemerintah menilai, dengan inflasi rendah berarti ada ruang untuk menaikkan harga-harga yang bisa ditentukan pemerintah, seperti listrik, tarif air minum, termasuk biaya pengurusan STNK dan BPKB, yang sebenarnya tidak signifikan, tapi berdampak pada daya beli masyarakat,” katanya.

Sebelumnya, Enny juga telah memprediksi, penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan 900 VA dapat menyebabkan efek domino. Dengan kenaikan itu, biaya produksi barang-barang kebutuhan akan ikut naik. “Terkait juga terhadap upah tenaga kerja. Untuk bisa mempertahankan daya belinya, tenaga kerja pasti meminta upah naik,” ujar Enny, 8 Juli 2017.

Dengan demikian, katanya lagi, daya beli masyarakat berada dalam tekanan. Itu bisa dilihat dari pertumbuhan sektor ritel. “Walaupun ada Lebaran, pertumbuhannya tidak lebih dari 7 persen, termasuk juga penjualan di pasar-pasar tradisional,” katanya. [RAF]