Ilustrasi: Bung Karno (dua dari kiri), Ki BagusHadikusumo (dua dari kanan), dan Bung Hatta (paling kanan) ketika berkunjung ke Jepang/istimewa

TENGGAT itu bagi Ki Bagus Hadikusumo terlalu singkat. Hanya 15 menit. Padahal, keputusan yang akan ia ambil kelak bakal memengaruhi nasib jutaan umat di masa depan dan juga nasib republik, yang ketika itu baru sehari saja diproklamasikan kemerdekaannya. Peristiwa ini memang terjadi pada 18 Agustus 1945, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Apakah ia akan bersikap mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Djakarta, yakni “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dan membiarkan Indonesia bagian timur melepaskan diri dari rangkulan Republik Indonesia? Atau sebaliknya, menerima penghapusan itu, sehingga republik yang masih bayi tak mengalami perpecahan?

Untuk keputusan yang sangat penting dan memiliki implikasi yang sangat luas, 15 menit memang rentang waktu yang sangat pendek atau sempit. Tapi, itulah kenyataan yang harus diterima Ki Bagus.

Ingatannya lalu melayang ke momen ketika Komisi Perbaikan Peradilan Agama bersepakat melakukan pemberlakuan hukum Islam namun kemudian dianulir oleh pemerintah kolonial Belanda. Ki Bagus juga ingat pada perdebatan ideologis yang terjadi di antara kaum pergerakan kemerdekaan, tentang falsafah dan konstitusi Indonesia yang menghasilkan Piagam Jakarta dan UUD 1945.

Sebulan sebelumnya, pada 16 Juli 1945, dia dan beberapa tokoh Islam sebenarnya telah mengingatkan semua anggota sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), agar berterus terang apa yang akan dijadikan dasar negara bila telah merdeka, ajaran Islam atau yang lain. Ini soal sangat penting. Karena, jika menerima Corpus Islamicum dalam Piagam Jakarta dan pasal-pasal UUD 1945, yang dibutuhkan tinggal konsistensi menjalankan serta mempertahankan keputusan politik itu. Namun, jika disepakati secara bersama tidak menggunakan ajaran Islam, seluruh kata “Islam” atau istilah yang berkaitan  dengan kata tersebut tidak perlu digunakan.

Mendekati akhir-akhir keruntuhannya, persis di hari perayaan ulang tahun Kaisar Hirohito pada 1 Maret 1945, Pemerintah Fasis Jepang di Indonesia membentuk BPUPKI. Badan itu bersidang pertama kali pada 28 Mei 1945 di Volksraad, di Pejambon, Jakarta—yang kini menjadi bagian dari gedung Kementerian Luar Negeri. BPUPKI jelas dibentuk untuk menggalang dukungan bagi Jepang yang sedang sekarat dalam palagan Perang Dunia II.

Sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo ditunjuk mewakili organisasi itu di BPUPKI. Di mata Jepang, Ki Bagus sama bahayanya dengan Soekarno dan Mohammad Hatta—itu sebabnya dia juga diterbangkan bersama Soekarno dan Hatta ke Tokyo pada November 1943, untuk menerima tanda jasa dari Kaisar Hirohito.

“Tuan-Tuan yang terhormat, tentu saja Tuan-Tuan menghendaki negara kita ini mempunyai rakyat yang kuat bersatu padu, erat persaudaraannya lahir dan batin. Kalau memang demikian, maka marilah kita bangunkan negara kita ini berdiri di atas dasar-dasar ajaran agama Islam,” kata Ki Bagus dalam pidatonya, seperti termaktub dalam Risalah Sidang Pertama BPUPKI.

Perbedaan ideologis segera mengental antara golongan nasionalis dengan kelompok Islam. Hingga akhir masa persidangan BPUPK pada 1 Juni 1945, perbedaan itu belum terjembatani.

Memasuki masa reses, Soekarno membentuk panitia kecil beranggotakan sembilan orang untuk menguatkan rumusan dasar negara yang disepakati, yang kemudian diberi nama Pancasila. Kepanitiaan ini diwakili empat orang dari kelompok nasionalis, yakni Hatta, Achmad Soebardjo Djojodisoerjo, Raden Abikusno Tjokrosoejoso, dan Alexander Andries Maramis. Dari golongan Islam diwakili Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, dan Haji Agus Salim. Ki Bagus tidak disertakan dalam kepanitian ini.

Setelah perdebatan alot, Panitia Sembilan akhirnya mencapai mufakat, melahirkan Piagam Djakarta, yang kelak bakal menjadi rujukan undang-undang dasar. Piagam ini adalah bentuk kompromi antara pendukung Islam dan nasional.

Sukses mencapai kompromi dengan Piagam Djakarta bukan berarti perumusan dasar negara benar-benar tuntas. Perdebatan kembali menggelinding dalam sidang BPUPKI kedua, yang dihelat pada 10 hingga 14 Juli 1945. Titik temu tak kunjung didapat, bahkan ketika tugas BPUPKI berakhir dan diganti dengan PPKI, yang bersidang sehari setelah proklamasi itu.

Nasib Pancasila

Sidang perdana PPKI pada 18 Agustus 1945 itu langsung buntu begitu Piagam Djakarta kembali diutak-atik. Perdebatan memanas dengan munculnya wacana pergantian kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi hanya “Ketuhanan yang Maha-esa”.

Wacana itu benar-benar mengecewakan Ki Bagus. Ia menolak bermufakat, bahkan hingga empat kali. Ki Bagus bukan semata menolak dihapusnya tujuh kata itu, namun juga mengkritik putusan sidang yang setengah-setengah dan menempuh kompromi saat membangun dasar negara.

“Kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi, nyata negara ini tidak berdiri di atas agama Islam dan negara akan netral. Itu terang-terangan saja. Jangan diambil sedikit kompromi seperti Tuan Soekarno katakan,” kata Ki Bagus.

Hanya menyisakan Ki Bagus dari kelompok Islam yang bertahan, Soekarno beberapa kali mengutus orang melakukan lobi. Dua utusan terdahulu, yakni Teuku Muhammad Hasan dan Wahid Hasyim, gagal membuat Ki Bagus luluh. Barulah ketika Kasman Singodimejo menghadap, Ki Bagus setuju.

Dengan bahasa Jawa yang sangat halus, Kasman mengatakan kepada Ki Bagus bahwa undang-undang dasar harus segera ditetapkan setelah proklamasi. “Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di Bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil [mau masuk kembali ke Indonesia] Sekutu, termasuk di dalamnya Belanda, dengan persenjataan yang modern juga,” kata Kasman dalam memoirnya, Hidup Adalah Perjuangan: 75 Tahun Kasman Singodimejo.

Mengutip janji Soekarno, Kasman juga menyebut rancangan undang-undang dasar yang dibahas itu sifanya darurat. Karena, memang, belum ada waktu untuk membuat yang sempurna dan memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi terjepit. “Kiai, tidakkah bijaksanaan jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”

Kasman menjelaskan pula perubahan yang diusulkan Hatta bahwa kata “Ketuhanan” bakal ditambah menjadi “Ketuhanan yang Maha-esa”. Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menambahkan, Ketuhanan yang Maha-esa adalah Allah S.W.T., bukan yang lainnya. “Sekali lagi bukan ketuhanan sembarang ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha-esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.

Lobi Kasman membuahkan hasil. Ki Bagus legawa tak mempertahankan tujuh kata tersebut. Walhasil, dalam hitungan kurang dari 15 menit, tujuh kata dari Piagam Djakarta dihapus.  Ki Bagus setuju kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan yang Maha-esa”. Lalu, “Ketuhanan yang Maha-esa Menurut Dasar Kemanusian yang Adil dan Beradab” menjadi hanya “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.

Harus diakui, kalau dilihat situasi ketika itu, nasib Pancasila berada di tangan Ki Bagus. Jika dia menolak usulan pencoretan itu atau bahkan lebih jauh memimpin perlawanan, bisa dipastikan jalan sejarah Indonesia bakal berbeda. Meski secara pribadi kecewa, Ki Bagus justru tampil sebagai pemimpin muslim patriotis sekaligus nasionalis tangguh yang memberikan sumbangan politik dan konstitusional luar biasa bagi bangsa ini.

“Seluruh tekanan psikologis tentang hasil atau tidaknya penentuan undang-undang dasar diletakkan di atas pundak Ki Bagus Hadikusumo,” kata Prawoto Mangkusasmito dalam bukunya, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara: Sebuah Proyeksi.

 “Tauhid,” jawab Ki Bagus singkat ketika ditanya makna dari “Ketuhanan yang Maha-esa” tersebut.

 Anak Priyayi

Lahir Senin Pahing, 24 November 1890, Ki Bagus Hadikusumo adalah anak keempat dari delapan bersaudara. Ayahnya Raden Kaji Lurah Hasyim.

Keluarganya adalah priyayi sekaligus keturunan abdi dalem Kesultanan Yogyakarta yang tinggal di Kauman. Kakeknya, Raden Kaji Lurah Ismail, juga seorang pejabat keagamaan Sultan Yogya.

Keluarganya merupakan priyayi yang mendapat kehormatan karena memiliki hubungan dekat dengan sultan. Sebagai priyayi, mereka berhak menggunakan simpbol-simbol kepriyayiannya, seperti pakaian hingga nama. Kedalaman pengetahuan agama sangat berpengaruh menaikkan status sosial dan rasa hormat dari masyarakat kebanyakan.

Menyandang nama kecil Raden Hidayat dan tumbuh di lingkungan priyayi, namun Hidayat kecil dididik dengan penuh kesederhanaan. Selain menerima pendidikan dari keluarga dan lingkungan, ia juga memperdalam Islam di tempat lain, seperti lazimnya anak-anak muda di Kauman. Dia sempat menjadi santri di pondok pesantren tradisional di Wonokromo dan Pekalongan.

Di kedua pesantren itulah Hidayat bersentuhan dengan khazanah tasawuf. Adapun pengetahuan bahasa dan kebudayaan Jawa dipelajari dari Raden Ngabehi Sosrosoegondo, penyusun buku Judhagama, yang di masa itu sangat terkenal.

Bersama beberapa saudara kandungnya, Syujak dan Fakhruddin, Hidayat  juga menimba ilmu langsung dari K.H. Ahmad Dahlan dan mulai bersentuhan dengan gagasan-gagasan pembaruan Rasyid Ridla dan Muhammad Abduh. Ia termasuk penggerak Muhammadiyah generasi pertama.

Melalui Muhammadiyah, Hidayat yang sudah bertukar nama menjadi Ki Bagus secara intens menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan dan pencerahan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad S.A.W. Dia memulai dari lingkungannya di Kauman.

Djarnawi, putra Ki Bagus, mengatakan, “Setelah ada Muhammadiyah, kebanyakan warga Kauman lebih memilih Muhammadiyah daripada terikat secara formal dalam struktur birokrasi keraton.”

Di Muhammadiyah, dia awalnya menjabat sebagai ketua tablig, yang bertugas mengembangkan dakwah–bidang yang memang ia senangi. Bagi Ki Bagus, berkeliling bertemu dan memimpin umat, menjadi ulama, guru, dan mubalig dengan memperkukuh tauhid adalah pekerjaan mulia. Sebagai pewaris Nabi Muhammad, ulama adalah obor di Bumi.

“Bila tidak ada ulama pastilah orang-orang akan berkeliaran seperti binatang,” katanya pada sebuah kesempatan.

Dia berkeliling mengembangkan jaringan dan menjelaskan Islam yang semurni-murninya berdasar Alquran dan hadis sebagai piwucal sae atau wejangan mulia, bukan Islam gugon tuhon yang penuh tahayul dan mitos. Agar tauhid yang murni bisa ditegakkan dan masyarakat tidak cupet nalare, jubel panemune, taat syariat harus diwujudkan. [TGU]