Ketum GPM Emir Moeis Usul Nama IKN Soekarnapura

bedah buku berjudul “Inche Abdoel Moeis, Pejuang Nasionalis Tanpa Pamrih” di Gedung Prof Masjaya, Universitas Mulawarman, Samarinda, Rabu 4 September 2024 - Foto: Istimewa.

Samarinda, 12 September 2024 – Polemik Ibu Kota Nusantara (IKN) yang hingga saat ini belum memiliki nama menggelitik Ketua Umum (Ketum) Gerakan Pemuda Marhaenis Izedrik Emir Moeis.

Menurut Emir Moeis, pemberian nama IKN ada baiknya dikaitkan dengan sejarah berdirinya Negara Indonesia.

“Kita harus ingat sejarah, bahwa salah satu pendiri bangsa ini adalah Soekarno. Selain sebagai presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno adalah tokoh yang merepresentasikan persatuan dan kesatuan bangsa.” kata Emir Moeis saat memberikan sambutan dalam acara bedah buku “Inche Abdoel Moeis, Pejuang Nasionalis Tanpa Pamrih” yang digelar di Ruang Theater Lantai 3 Gedung Prof Masjaya, Universitas Mulawarman, Samarinda, Rabu (4/9/2024).

“Beliau bisa diterima semua kalangan, semua agama dan semua golongan,” tambah Emir Moeis di acara yang dihadiri ratusan mahasiswa, dosen, dan undangan tersebut.

Dalam kesempatan itu, Emir Moeis mengingatkan tentang sejarah perebutan Papua Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Papua, menurutnya, mengalami beberapa perubahan ibu kota sepanjang sejarahnya.

Sebelum Papua secara resmi menjadi bagian dari Indonesia, wilayah ini merupakan bagian dari Papua Nugini yang dikuasai oleh Belanda. Pada masa kolonial Belanda, ibu kota administratif di wilayah Papua adalah Hollandia.

“Nama ini digunakan selama masa penjajahan Belanda, dan kota ini menjadi pusat administratif utama di wilayah Papua saat itu. Nama Hollandia kemudian diubah menjadi Sukarna Pura setelah Papua bergabung dengan Indonesia,” kata Emir.

Emir juga menambahkan bahwa penamaan Sukarna Pura diubah menjadi Jayapura ketika masa Orde baru dimana saat itu terjadi de-Soekarnoisasi. Begitu pula dengan dengan nama puncak Jaya, Emir mengatakan bahwa dahulu sebelum diubah nama, puncak gunung tertinggi itu adalah puncak Soekarno.

“Setelah Pemerintahan Orde baru dimana dilakukan de-Soekarnoisasi nama Sukarna Pura diubah menjadi Jayapura, demikian juga dengan puncak gunung tertinggi disana yang sebelumnya bernama puncak Soekarno, diubah menjadi Puncak Jaya,” tambahnya.

Emir menyayangkan terjadinya hal ini. Suatu catatan sejarah yang menyedihkan akibat perbuatan sekelompok anak bangsa yang melupakan sejarah dan pahlawannya.

Kemudian, selama periode awal abad ke-20, wilayah Papua bagian selatan, yang dikenal sebagai Nieuw Guinea di bawah administrasi Belanda, memiliki beberapa kota administratif yang terpisah.

Lalu, setelah penyerahan Papua dari Belanda ke Indonesia pada tahun 1963 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), nama ibu kota berubah menjadi Jayapura yang hingga saat ini tetap menjadi ibu kota provinsi Papua.

Jayapura, dengan lokasinya yang strategis di pesisir utara Papua, telah berkembang pesat sejak menjadi ibu kota provinsi dan kini merupakan pusat pemerintahan, ekonomi, dan budaya di Papua.

“Dari sejarah itulah, saya usul agar IKN sebagai ibu kota negara diberi nama Soekarnopura,” kata Emir Moeis yang disambut tepuk tangan meriah para hadirin. Sambutan meriah ini seolah menjadi persetujuan usulan Emir.

Seperti diketahui, bedah buku berjudul “Inche Abdoel Moeis, Pejuang Nasionalis Tanpa Pamrih” diulas oleh sejumlah kalangan seperti akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum yang digelar di Ruang Theater Lantai 3 Gedung Prof Masjaya, Universitas Mulawarman, Samarinda, Rabu (4/9/2024).

Bedah buku yang ditulis oleh Izedrik Emir Moeis tersebut, mendapat antusiasme oleh hadirin karena membahas sejarah perjuangan tokoh nasionalis asal Kalimantan Timur. Dari bedah buku ini, disebut Emir Moeis membuat peluang pengembangan atau tambahan referensi akan ada di buku selanjutnya.

“Total sekitar 2 tahun untuk proses pengumpulan data dan menulis buku ini. Tadi juga sempat dapat sumber sejarah dari perpustakaan di Washington DC. Makanya nanti akan banyak lagi tambahan untuk buku yang selanjutnya,” beber Emir.
Melalui buku ini Emir Moeis ingin generasi muda Kalimantan Timur memahami bahwa perjuangan pendahulu mereka tidak hanya dalam bidang fisik, tetapi juga diplomasi.

“Saya ingin supaya generasi muda Kaltim itu tahu bahwa pemuda di generasi pendahulunya berjuang keras untuk pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia. Jadi kita bukan cuma sebagai daerah yang menghasilkan hasil bumi untuk jadi NKRI, tapi kita ikut mendirikan republik ini. Jadi ada kebanggaan lah, kalian anak Kaltim, nggak usah minder, kita juga ikut mendirikan republik ini,” ucapnya.

Menurutnya, buku ini sekaligus pengingat bagi mahasiswa dan generasi muda secara umum untuk menjaga fakta sejarah dan juga kearsipan.

“Mencari fakta-fakta itu sulit. Itu mengapa mahasiswa-mahasiswa bidang sejarah terutama arsip itu penting. Sejarah itu penting karena kita tidak bisa maju ke depan kalau kita tidak tahu apa yang terjadi di belakang,” ucapnya. [KS]