Sejarah mencatat banyak peristiwa besar yang mengubah arah peradaban, mulai dari perang hingga revolusi. Namun, di balik parade tokoh besar dan kekuatan politik, terkadang justru makhluk paling kecil yang membawa perubahan paling dahsyat. Di pertengahan abad ke-6 Masehi, Kekaisaran Bizantium tengah berada dalam masa ekspansi besar di bawah pimpinan Kaisar Justinianus I.
Cita-cita untuk menyatukan kembali wilayah Romawi kuno sedang dijalankan dengan penuh semangat. Tapi, sejarah punya rencana lain. Sebuah penyakit misterius melanda ibu kota dan menyebar tanpa kendali, melumpuhkan tentara, meruntuhkan ekonomi, dan mengguncang sendi-sendi pemerintahan. Inilah kisah tentang bagaimana wabah pes, dalam bentuk paling awalnya, merusak mesin kekaisaran yang tampaknya tak terkalahkan.
Awal Mula Petaka
Pada abad ke-6 Masehi, Kekaisaran Bizantium tengah berada di bawah kepemimpinan Kaisar Justinianus I, seorang penguasa ambisius yang bertekad mengembalikan kejayaan Kekaisaran Romawi. Namun, cita-cita besar itu harus berhadapan dengan musuh tak kasat mata yang jauh lebih mematikan daripada pasukan barbar sekalipun: sebuah wabah penyakit yang kemudian tercatat sebagai salah satu pandemi paling mengerikan dalam sejarah umat manusia.
Melansir laman World History Encyclopedia, wabah ini dikenal sebagai Wabah Justinian atau Justinianus, yang pertama kali menyerang ibu kota kekaisaran, Konstantinopel, pada tahun 542 Masehi. Namun, jejak-jejak kemunculannya telah lebih dahulu terdeteksi di provinsi-provinsi timur kekaisaran hampir setahun sebelumnya. Dalam kurun waktu sekitar 225 tahun sejak kedatangannya, wabah tersebut menyebar ke seluruh wilayah Mediterania dan tidak benar-benar mereda hingga sekitar tahun 750 Masehi.
Meski membawa bencana besar bagi Eropa dan Timur Tengah, wabah ini memiliki akar yang jauh: dari kawasan Tiongkok dan India timur laut. Dari wilayah-wilayah itu, penyakit yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis ini menyebar ke Afrika Timur, melintasi jalur perdagangan yang menghubungkan darat dan laut. Mesir, sebuah pusat dagang penting kekaisaran, diyakini sebagai titik awal penyebaran wabah ke Bizantium. Di kota pelabuhan Pelusium di sepanjang Delta Nil, gelombang pertama wabah terdeteksi, sebelum menyebar ke Alexandria dan wilayah Palestina.
Sarana utama penyebaran wabah adalah tikus hitam (Rattus rattus) dan kutu-kutu yang hidup di tubuh mereka. Dalam kondisi normal, tikus tidak menjelajah jauh dari tempat asalnya. Namun ketika mereka berada dalam kereta kargo dan kapal dagang yang membawa gandum dari Afrika Utara ke Konstantinopel, mereka tanpa sadar menjadi kendaraan sempurna bagi penyebaran penyakit. Gandum, yang menjadi makanan favorit tikus, disimpan dalam gudang besar yang secara tak langsung juga menjadi sarang wabah.
Afrika Utara saat itu bukan hanya penghasil utama gandum untuk kekaisaran, tetapi juga pengirim berbagai komoditas penting lain seperti minyak, gading, budak, dan kertas. Dengan arus barang dagangan yang terus mengalir ke jantung kekaisaran, wabah pun menumpang di setiap jalur perdagangan yang terbuka.
Faktor lain yang memperparah situasi adalah perubahan iklim ekstrem. Di beberapa wilayah seperti Italia selatan, salju dan embun beku turun di tengah musim panas. Sinar matahari berkurang dan suhu menjadi jauh lebih rendah dari biasanya. Cuaca dingin berdampak langsung pada gagal panen, kekurangan pangan, dan memicu gelombang migrasi. Orang-orang yang kelaparan dan kelelahan menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Di tengah arus migrasi ini, tikus-tikus pembawa penyakit ikut berpindah, menciptakan badai sempurna bagi meledaknya epidemi.
Wabah ini sangat luas dan mematikan hingga nyaris tidak ada sudut kekaisaran yang luput dari dampaknya. Bahkan Kaisar Justinianus sendiri jatuh sakit, meskipun ia berhasil selamat. Korban berjatuhan di jalan-jalan ibu kota, dan kuburan segera kehabisan tempat. Pemerintah menggali parit besar untuk menampung jenazah, sebagian mayat dibuang ke laut atau bahkan ditumpuk di dalam bangunan yang tak terpakai. Hewan peliharaan seperti anjing dan kucing juga banyak yang mati, menunjukkan bahwa penyakit ini tidak hanya menyerang manusia.
Penyakit dan Gejala Menghantui
Jenis penyakit yang menyebar kala itu adalah pes, kemungkinan besar bentuk bubonik, dengan kemungkinan turut melibatkan bentuk pneumonik dan septikemik. Procopius dari Kaisarea, sejarawan Bizantium yang hidup sezaman, mencatat gejala-gejala yang sangat menakutkan seperti demam tinggi, halusinasi, mimpi buruk, hingga pembengkakan menyakitkan di pangkal paha, ketiak, dan belakang telinga. Beberapa orang meninggal dalam hitungan jam, sementara yang lain menderita selama berhari-hari. Procopius bahkan menuduh kaisar sebagai pembawa bencana, menyebutnya sebagai iblis atau sebagai orang yang tengah dihukum Tuhan.
Analisis modern terhadap DNA tulang-belulang dari masa itu membenarkan bahwa Yersinia pestis adalah penyebab utama wabah. Ironisnya, penyakit yang sama akan muncul kembali delapan abad kemudian sebagai Wabah Hitam yang menewaskan separuh populasi Eropa.
Kemajuan perdagangan, yang semula menjadi kebanggaan kekaisaran, berubah menjadi celah mematikan. Konstantinopel yang terletak di jalur utama antara Laut Hitam dan Laut Aegea, menjadi pintu masuk segala komoditas, termasuk penyakit. Saat Justinianus berusaha menaklukkan kembali wilayah-wilayah Kekaisaran Romawi Barat, mobilisasi pasukan dan logistik menjadi jalur baru bagi wabah untuk menyebar lebih cepat.
Dari Mesir, penyakit menyebar ke Palestina, lalu ke seluruh wilayah Mediterania. Namun wabah ini tampaknya tidak menyebar jauh ke Eropa utara atau pedesaan terpencil, yang menunjukkan bahwa tikus-tikus pembawa kutu lebih banyak berkeliaran di pelabuhan dan pusat kota dagang.
Upaya Pengobatan yang Putus Asa
Di tengah kekacauan, masyarakat mencari berbagai cara untuk bertahan hidup. Mereka yang mampu akan mencari bantuan dari para dokter yang telah mendapat pendidikan formal di pusat-pusat ilmu pengetahuan seperti Alexandria. Ilmu kedokteran kala itu masih sangat dipengaruhi oleh ajaran Galen, yang meyakini penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan “humor” atau cairan tubuh.
Namun kebanyakan rakyat jelata tidak punya akses pada pengobatan profesional. Mereka terpaksa mencoba pengobatan rumahan: mandi air dingin, memakai jimat, cincin ajaib, hingga mengonsumsi serbuk atau ramuan alkaloid. Bila semua gagal, mereka dikarantina, atau terpaksa menunggu takdir. Mereka yang berhasil selamat sering kali dianggap sebagai orang-orang yang memiliki peruntungan besar dan daya tahan tubuh yang luar biasa.
Kekaisaran yang Terpuruk
Wabah ini tak hanya menewaskan jutaan jiwa, tetapi juga melumpuhkan sendi-sendi pemerintahan. Pasukan kekaisaran kehilangan banyak tentara. Perekrutan menurun drastis, dan ketika musuh-musuh datang menyerbu, seperti bangsa Lombard di Italia Utara atau bangsa Arab di Timur, pertahanan Bizantium tak mampu menahan mereka. Kekuasaan pun mulai runtuh sedikit demi sedikit.
Perekonomian turut ambruk. Dengan populasi petani yang berkurang drastis, produksi pertanian anjlok, menyebabkan kelangkaan bahan makanan dan inflasi harga. Meski demikian, Justinianus tetap menuntut pajak tinggi dan terus melanjutkan proyek-proyek pembangunan besar, termasuk pembangunan gereja monumental Hagia Sophia.
Menurut Procopius, lebih dari 10.000 orang tewas setiap hari di Konstantinopel—angka yang kemudian dikoreksi oleh sejarawan modern menjadi sekitar 5.000. Meskipun begitu, korban jiwa di ibu kota tetap mencapai 20-40% dari populasi. Di seluruh kekaisaran, angka kematian diperkirakan mencapai 25 hingga 50 juta jiwa.
Wabah Justinianus bukan sekadar tragedi kesehatan, tetapi juga titik balik sejarah. Ia menjadi cermin betapa rentannya peradaban besar di hadapan kekuatan alam yang tak terduga. Ambisi kekaisaran, kejayaan arsitektur, dan dominasi militer tak mampu menahan laju seekor tikus kecil yang membawa bencana besar. [UN]




