Tokoh Persatuan Islam, A. Hassan (duduk kiri) [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – “ISLAM harus berani mengejar jaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?

“Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat? Lupakah kita, bahwa hukum Syariat itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau yang jaiz ini! Alangkah baiknya kalau ia ingat bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statemanship, ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang  cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh beradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern’, asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan yang paling berfaedah bagi ummat Islam, yakni berjuang menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat-kilat mengejar zaman yang  seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar jaman ke muka, perjuangan inilah yang Kemal Attaturk maksudkan, tatkala ia berkata, bawa ‘Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi’ Islam adalah perjuangan.’ Islam is progress: Islam itu kemajuan!” demikian petikan salah satu surat Bung Karno dari tenpat pembuangannya di Ende kepada tokoh Persatuan Islam, A. Hassan, yang ketika itu tinggal di Bandung. Surat itu termuat dalam buku yang ditulis Bung Karno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I (1964).

Pada tahun 1930-an itu memang banyak tokoh Islam yang berpandangan tolok ukur kemajuan Islam ada pada masa khalifah. Karena itu, mereka mengajak umat Islam untuk berperilaku seperti pada era khalifah. Dan, Bung Karno dengan tegas menentang pandangan semacam itu.

Bung Karno malah menyerukan umat Islam untuk menyerap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, walau bukan produk peradaban Islam. Sejalan dengan itu, ia pun menentang budaya taklid yang merebak di kalangan umat Islam Tanah Air

Menurut Bung Karno, taklid adalah salah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam. Sejak ada aturan taklid, ungkap Bung Karno, di situlah kemunduran Islam cepat sekali.

“Tak heran! Di mana genius dirantai, di mana akal fikiran diterungku, di situlah datang kematian,” katanya, sebagaimana termuat dalam “Surat Ende 1936” yang ada dalam buku Dibawah Bendera Revolusi Jilid I.

Lebih lanjut Bung Karno mengatakan dalam surat tersebut, dirinya sebagai seorang terpelajar baru lebih banyak menghargai Islam sesudah membaca buku-buku Islam modern dan scientific.

Dikatakan juga, penyebab kaum terpelajar Indonesia tak senang Islam karena Islam tak mau membarengi zaman, “karena salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam: mereka kolot, mereka orthodoks, mereka anti-pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, takhayul, jumud, menyuruh orang bertaklid saja, menyuruh orang percaya saja, mesum, mbahnya mesum!” Dalam pandangan Bung Karno, anti-taklidisme berarti bukan saja “kembali” kepada Qu’an dan hadis, tapi juga kembali kepada Quran dan hadis dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum.

Kepada A. Hassan, Bung Karno juga mengungkapkan, ribuan orang Eropa yang masuk Islam pada abad ke-20 mendapat pengetahuan tentang Islam justru bukan dari guru-guru  yang hanya menyuruh muridnya beriman dan percaya saja. “Bukan dari mubaligh-mubaligh yang tarik muka angker dan hanya tahu putarkan tasbih saja, tetapi dari mubaligh yang memakai cara penerangan yang masuk akal — karena berpengetahuan umum. Mereka masuk Islam karena mubaligh-mubaligh yang menghela mereka itu ialah mubaligh-mubaligh modern dan scientific dan bukan mubaligh ‘ala Hadramaut’ atau ‘ala kiai bersorban’. Percayalah bila Islam dipropagandakan dengan cara yang masuk akal dan up to date, seluruh dunia akan sadar kepada kebenaran Islam,” tulis Bung Karno.

Yang juga ditentang Bung Karno adalah kalangan Islam yang sering sekali menuding “kafir” kepada pihak lain. “Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’. Pengetahuan Barat-kafir; radio dan kedokteran –kafir; pantolan dan dasi dan topi-kafir; sendok dan garpu dan kursi-kafir; tulisan Latin-kafir; ya pergaluan dengan bangsa yang bukan Islam pun-kafir! Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya’? Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar kabar tentang aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?” tulis Bung Karno semasa di Ende dalam salah satu suratnya kepada A. Hassan.

Setelah dari Ende, Bung Karno kemudian dibuang ke Bengkulu [Foto: Istimewa]
Setelah dari Ende, Bung Karno kemudian dibuang ke Bengkulu [Foto: Istimewa]
Setelah dari Ende, Bung Karno dibuang ke Bengkulu, yang ketika itu bernama Bengkulen, sejak tahun tahun 1938 sampai 1942. Di daerah ini, Bung Karno aktif dalam organisasi Muhammadiyah dan menjadi Ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah Daerah Bengkulu. Beliau juga banyak menulis artikel tentang Islam. Salah satunya tulisannya dimuat dalam majalah Pandji Islam pada tahun 1940, dengan judul “Islam Sontoloyo”. Tulisan ini mengkritik umat Islam yang kurang memahami substansi ajaran Islam. Umat Islam yang seperti itu, menurut Bung Karno, adalah “Islam Sontoloyo”.

“Islam melarang kita memakan babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terberat, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan perbuatan, maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir! Inilah gambaran jiwa Islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi.”

Sebelum itu, tahun 1939, Bung Karno juga menulis di media yang sama dengan judul “Tabir adalah Lambang Perbudakan”. Pemicunya adalah rapat umum Muhammadiyah di Bengkulu, yang memasang tabir pemisah antara peserta laki-laki dan perempuan. Melihat itu, Bung Karno pun meninggalkan rapat umum tersebut dan kemudian menulis pandangannya, yang dimuat dalam Pandji Islam.

“Saya anggap tabir itu sebagai suatu simbol. Simbolnya perbudakan perempuan. Keyakinan saya ialah, bahwa Islam tidak mewajibkan tabir itu. Islam memang tidak mau memperbudakkan perempuan. Sebaliknya Islam mau mengangkat derajat perempuan. Tabir adalah salah satu contoh dari hal yang tidak diperintahkan oleh Islam, tetapi diadakan umat Islam,” demikian antara lain ditulis Bung Karno. [Purwadi Sadim]