SAGU memiliki potensi yang paling besar untuk digunakan sebagai pengganti beras. Keuntungan sagu dibandingkan sumber karbohidrat lainnya adalah tanaman sagu atau sagu hutan selalu sudah siap panen bila diinginkan. Pohon sagu dapat tumbuh baik di rawa-rawa dan pasang surut, dimana tanaman penghasil karbohidrat lainnya sukar tumbuh. Syarat-syarat agronominya juga lebih sederhana dibandingkan tanaman lainnya dan panennya tidak tergantung musim.
Sagu dikenal sebagai bahan makan pokok sebagian suku-suku di Jayapura, dalam acara penting Papeda merupakan salah satu menu khusus yang disajikan.
Hutan sagu di provinsi Papua luasnya sekitar 4,769,548 ha. Potensi sagu kisaran 0.33 iv 5,67 batang/ha. Penyebaran sagu terutama di wilayah Kabupaten Sorong, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kab Yapen Waropen dan sebagian besar tegakan sagu tumbuh pada daerah gambut pantai.
Luas areal tanaman sagu di dunia kurang lebih 2.187.00 hektar, tersebar mulai dari Pasifik Selatan, Papua Nugini, Indonesia, Malaysia dan Thailand. Sebanyak 1.111.264 hektar diantaranya terdapat di Indonesia. Daerah terluas ada di irian Jaya menyusul Maluku, Sulawesi, Riau, Kalimantan, Kepulauan Mentawai.
Menurut pakar sagu dari Institut Pertanian Bogor, Dr. Fredy Rumawas, bahan tepung Sagu dapat menghasilkan polimer terbaik guna membuat plastik yang bisa terurai atau plastik yang mudah hancur di alam.
Pati sagu dalam industri digunakan sebagai bahan perekat. Pati sagu juga dapat diolah menjadi alkohol. Yang digunakan untuk campuran bahan bakar mobil, spiritus dan campuran lilin. Selain itu dapat juga digunakan untuk makanan ternak, bahan pengisi dalam industri plastik, diolah menjadi protein sel tunggal, dekstrin ataupun siklodekstrin untuk industri pangan, kosmetik, farmasi, pestisida dan lain-lain.
Selain untuk bahan bangunan dan bahan bakar, limbah batang sagu dapat diolah menjadi briket untuk industri kimia. Ampasnya dapat pula menjadi bahan bakar, media jamur, hardboard dan lain sebagainya.
Sagu Pernah Sebagai Bahan Komoditi Ekspor
Permintaan komoditi pati sagu selain untuk konsumsi dalam negeri juga berpotensi menjadi komoditi ekspor. Permintaan pasar di luar negeri terhadap sagu asal Indonesia cukup besar jumlahnya. Pada tahun 1985, jumlah permintaan pasar di luar negeri telah dipenuhi sebesar 50 ton, kemudian pada tahun 1987 sebesar 80 ton. Pada tahun 1988 naik tajam menjadi 120 ton. Permintaan pasar luar negeri tersebut berasal dari Singapura, Belanda, jepang, Amerika Serikat dan Australia.
Sebelum tahun 1990-an, Indonesia pada tahun 1930 sempat menggarap sagu sebagai komoditi ekspor, yakni berupa ampas serat sagu untuk makanan ternak sebanyak 15.000 ton, pati sagu kasar 9.000 ton dan pati sagu halus 27.000 ton. Tahun 1936 dikabarkan terus meningkatkan ekspor sagu. Tahun-tahun berikutnya cenderung menurun, seperti pada tahun 1954 hanya 2 ton pati sagu kasar, tetapi pada tahun 1974 melonjak pesat mencapai 115 ton.
Baca juga :