Kesenjangan dan Agenda Pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali

Presiden Joko Widodo berdialog dengan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Menjelang pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, Bali berbenah. Pulau eksotik yang menjadi tujuan turis baik lokal maupun asing ini akan mulai memperbaiki infrastruktur seperti bandara, jalan hingga jembatan.

Itu semua demi suksesnya pertemuan “IMF-Bank Dunia Annual Meetings 2018”. Kendati acaranya masih setahun lagi, perbaikan berbagai infrastruktur itu dianggap wajar. Terlebih bankir, menteri keuangan, gubernur bank sentral hingga pimpinan-pimpinan perusahaan dari seluruh dunia akan hadir dalam acara tersebut.

Bahkan para delegasi mulai memesan kamar-kamar hotel untuk menginap. Itu yang dilakukan Bank of America. Perusahaan ini, kata Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Panitia Nasional Annual Meeting 2018, sudah memesan 200 kamar.

Momentum itu akan dijadikan kesempatan sebagai ajang promosi bisnis dan pariwisata. Dengan demikian akan menjadi devisa untuk negara. Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, sekitar 15 ribu delegasi dari berbagai negara akan hadir dalam pertemuan tersebut. Nanti akan ada tiga ribu pertemuan dengan berbagai macam topik yang dibahas.

Berdasarkan laman resmi IMF, pertemuan tahunan itu akan menghadirkan para pimpinan bank sentral, menteri keuangan, pemimpin perusahaan, masyarakat sipil, media dan akademisi untuk membahas berbagai isu. Semisal, prospek ekonomi dunia, stabilitas keuangan global, pemberantasan kemiskinan, lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, serta perubahan iklim.

Atas kesediaan Indonesia menjadi tuan rumah, Direktur IMF Christine Lagarde mengucapkan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo dan masyarakat Indonesia. Menurutnya, itu menjadi kesempatan Indonesia untuk menunjukkan prestasi Indonesia di bidang ekonomi dan sosial yang mengesankan. Juga kesempatan untuk menunjukkan keindahan dan kebudayaan negara ini.

Pernyataan Lagarde itu mengesankan bahwa keadaan ekonomi, sosial dan kebudayaan Indonesia sedang baik-baik saja. Padahal, penelitian International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) bersama Oxfam akhir bulan Februari 2017 menunjukkan hasil yang berbeda.

Kesenjangan
Kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 masuk dalam tiga besar di antara negara-negara G20, tidak serta merta menyelesaikan berbagai persoalan. Justru pertumbuhan ekonomi sejak 2000 itu, pada saat yang sama memicu dan meningkatkan ketimpangan sosial, bahkan lebih cepat dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara sejak dua dekade terakhir.

Laporan Infid dan Oxfam menyebutkan empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih dari 100 juta penduduk termiskin. Ketimpangan itu, demikian Infid, tidak saja memperlambat pengentasan kemiskinan, tapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial.

Survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse juga menunjukkan hasil yang tak jauh berbeda. Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.

Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) tentang laporan Pembangunan Manusia 2016 yang berjudul “Pembangunan Manusia untuk Semua” menyebutkan pembangunan ekonomi tidak memberikan manfaat bagi semua orang. Bahkan pembangunan memicu kesenjangan terutama kepada kelompok perempuan.

Di Indonesia, kendati terjadi penurunan kemiskinan secara tajam dalam dua dekade terakhir, 140 juta warga masih hidup dengan kurang dari Rp. 20.000 per hari. Berdasarkan ini, IPM Indonesia pada 2015 adalah 0.689. Ini menempatkan Indonesia dalam kategori pembangunan manusia menengah, dan peringkat 113 dari 188 negara dan wilayah.

Jika merujuk kepada fakta ini, lalu apa yang harus dibanggakan dalam pertemuan itu Christine Lagarde? [KRG]