Koran Sulindo – Maskapai penerbangan pembawa bendera kebangsaan, Garuda Indonesia, benar-benar terpuruk. Pada tahun 2017 lalu, PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) mencatatkan kerugian sebesar US$ 213,4 juta atau kurang-lebih Rp 2,88 triliun. Padahal, perseroan tersebut pada tahun 2016 masih berhasil meraih laba US$ 9,4 juta atau kurang-lebih Rp 126,9 miliar.

“Memang, untuk laba di kuartal IV 2017 saja juga lebih rendah dari kuartal IV 2016, yang membukukan laba karena melakukan efisiensi dari karyawan,” ungkap Direktur Utama Garuda Pahala N. Mansury di Kantor Garuda Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta, Senin (26/2). Pada kuartal IV-2017, Garuda Indonesia hanya mampu mengantongi laba bersih US$ 8,5 juta, turun 83,9% dari capaian laba bersih di kuartal IV-2016 yang sebesar US$ 53 juta.

Laba perseroan di kuartal IV-2017 itu tak mampu menutupi kerugian pada kuartal-kuartal sebelumnya. Pada kuartal I-2017, perseroan rugi US$ 99,1 juta, kuartal II-2017 rugi US$ 184,7 juta, meskipun di kuartal III-2017 perseroan mampu mengantongi laba bersih US$ 61,9 juta.

Sungguhpun begitu, pendapatab operasi Garuda Indonesia tercatat naik 8,1%, dari US$ 3,86 miliar menjadi US$ 4,17 miliar. Pendapatan itu paling besar masih disumbang dari pendapatan penerbangan berdjawal sebesar US$ 3,4 miliar.

Namun, total pengeluaran perseroan naik 13%, dari US$ 3,7 miliar menjadi US$ US$ 4,25 miliar. Kenaikan yang paling besar berasal dari biaya bahan bakar, yang naik 25%, dari US$ 924 juta menjadi US$ 1,15 miliar. “Biaya fuel memang naik cukup signifikan. Jadi, di luar biaya fuel masih bisa kami tekan. Di luar itu, pendapatan kami juga terpengaruh dari adanya disrupsi, seperti erupsi Gunung Agung, yang tentunya memengaruhi jumlah penumpang,” tutur Pahala.

Selama tahun 2017, penumpang Garuda secara grup mencapai 36,2 juta penumpang: penumpang Garuda Indonesia sebanyak 24 juta dan penumpang Citilink 12,2 juta penumpang. Penumpang itu naik sedikit daripada tahun 2016.

Pada pertengahan 2017 lalu, mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli suda mengatakan krisis yang dialami Garuda Indonesia. Bahkan, katanya, ia telah mengutarakan masalah ini sebelum dirinya menjabat sebagai menteri di kabinet kerja Jokowi-Jusuf Kalla.

“Jadi, satu setengah tahun lalu, sebelum masuk kabinet, saya bertemu dengan Pak Jokowi. Saya bilang, ‘Mas, ini hati-hati. Saya enggak mau, saya masuk selametin Garuda lagi seperti 16 tahun yang lalu, karena ini pasti bermasalah’,” ungkap Rizal 15 Juni 2017.

Rizal berkata begitu karena Garuda membeli sejumlah pesawat jenis Airbus A350 yang memiliki ukuran cukup besar dan dianggap berbahaya bagi kelangsungan bisnis penerbangan Garuda. “Garuda beli pesawat A350 yang hanya cocok untuk rute luar negeri, Eropa. Pengalaman selama ini, di kelas itu, bisnisnya paling keras. Dulu paling jagoan Singapore Airlines. Akhirnya kalah juga sama Fly Emirates dan Qatar Airways,” kata Rizal.

Padahal, tambahnya, Fly Emirates itu bisa sebesar sekarang karena avtur-nya disubdisi oleh pemerintah Uni Emirat Arab. Karena itu, Fly Emirates bisa banting harga dengan sangat murah hingga membuat Singapore Airlines kalang kabut.

“Jadi, langkah Garuda beli Airbus A350 untuk jangka panjang berbahaya sekali. Sok-sokan sekali. Kami sudah lakukan analisis. Kebanyakan untuk rute jarak jauh, Garuda rugi semua. Loosing money. Ibaratnya, Garuda terbang itu membakar duit saja,” ujarnya. “Ngapain cuma sok gagah-gagahan? Mewah, first class semua. Air Asia saja cari yang murah, yang promo, pesawat itu kini dijual juga enggak bisa.”

Itu sebabnya, lanjutnya, setelah dilantik menjadi Menko Bidang Kemaritiman, dirinya meminta kepada Presiden Jokowi agar menghentikan ulah Garuda membeli sejumlah pesawat Airbus A350 tersebut. “Saya bilang, ‘Mas, kita harus setop. Saya enggak mau harus selametin Garuda lagi.’ Makanya, pada waktu dilantik, saya meminta Garuda tinjau lagi pembelian pesawat itu. Tapi, saya malah dikritik banyak orang. Padahal, kami sudah analisis semua,” kata Rizal.

Ia pun menyarankan Garuda fokus menguasai pasar domestik dan Asia-Pasifik. Apalagi, Garuda terkenal aman, dengan kualitas pelayan yang bagus.

“Garuda lumayan, service bagus, makanan enak, kualitas diakui. Jadi, kalau kita lawan Qantas punya Australia menang, New Zealand pun kalah mereka. Lawan Jepang, mereka kalah karena kemalahan. Pasti Garuda menang,” tutur Rizal. “Ya, yang tidak bisa kalah lawan Cina. Nanti sepuluh tahun kuasai regional, baru kuasai jarak jauh. Emirates bisa babak belur sama Garuda. Saran saya sangat rasional ketika itu,” ungkap Rizal.

Beberapa bulan kemudian,  Agustus 2017, sejumlah anggota Komisi VI DPR juga bersuara soal masalah yang membelit Garuda. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR berjanji akan menindaklanjuti soal tersebut. “Kalau keputusan investasi salah akan timbul kesalahan serius,” tutur Sri Mulyani, 30 Agustus 2017.

Menurut Sri, dengan kerugian yang dialmi Garuda dipastikan maskapai penerbangan pelat merah itu tidak akan menyetor dividen kepada negara pada tahun 2018. Selain Garuda Indonesia, BUMN yang juga tidak akan menyetor dividen karena mengalami kerugian antara lain Perum Bulog, PT Krakatau Steel, PT PAL, PT Dok Perkapalan Surabaya, PT Indofarma, PT Balai Pustaka, PT Boma Bisma Indra, Perum PEN, dan PT Berdikari. [RAF]