MENILIK berita akhir-akhir ini dipenuhi dengan adegan kekerasan yang dilakukan aparat negara contohnya kasus panas dari seorang mantan Jenderal sekaligus mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, kekerasan dan mutilasi 4 orang warga Papua yang dilakukan oleh anggota TNI dan [semoga] yang terakhir adalah tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
Menurut Catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS, setidaknya ada 61 kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI dalam periode Oktober 2021-September 2022.
Polri bahkan mendapatkan peringkat teratas dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara. Setidaknya ada 677 kasus kekerasan yang dilakukan anggota Polri dalam kurun waktu Juli 2021 hingga Juni 2022 menurut catatan KontraS.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Evaluasi penyelesaian masalah atau pendekatan melalui kekerasan sudah sepatutnya tidak boleh dilakukan oleh siapapun apalagi oleh aparat negara yang para korbannya mayoritas adalah masyarakat sipil. Baik kepolisian maupun TNI harus segera menghapus kultur atau budaya kekerasan yang masih lekat dalam institusi Polri dan TNI.
Kasus pembunuhan berencana Ferdy Sambo
Masih teringat jelas pada tanggal 8 Juli 2022 media sangat sibuk memberitakan sebuah adegan tembak-menembak yang dilakukan oleh sesama anggota Polri, antara Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan Bharada Eliezer di rumah dinas mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo di Komplek Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Insiden tersebut terjadi diduga karena Brigadir J melakukan pelecehan seksual terhadap istri Ferdy Sambo, yaitu Putri Candrawathi. Jenazah pun dibawa ke RS Bhayangkara Polri. Namun bau busuk kejahatan pun tercium, keluarga Brigadir J hanya diizinkan untuk melihat separuh badan. Akhirnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit pun membentuk Timsus atau tim khusus untuk mengungkap peristiwa yang terjadi. Listyo Sigit pun memutuskan menonaktifkan jabatan Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam Polri. Autopsi kedua pun digelar pada 20 Juli 2022.
Skenario pun akhirnya terbongkar, setelah sebelumnya tersangka hanyalah Bharada E ternyata otak pembunuhan berencana ialah Ferdy Sambo sendiri. Pengakuan awal ternyata hanyalah sebagai pengalihan isu bahwa ada motif yang besar dalam kasus tersebut. Sang Jenderal akhirnya mengakui segala perbuatannya. Ia memerintahkan Bharada E untuk menembak Brigadir J dan merekayasa segala sesuatunya sejak awal.
Ajaibnya tersangka bukan hanya berjumlah 4 (Ferdy Sambo, Bharada E, Bripka R, Kuat Maruf dan yang terakhir Putri Candrawathi) namun sebanyak 83 anggota Polri diduga terlibat dalam skenario yang dibuat oleh sang atasan. Masing-masing mereka mempunyai tugas masing-masing. Namun mayoritas adalah pelaku obstruction of justice, dari penghilangan HP milik Brigadir J hingga merusak TKP dan CCTV. Kasus ini pun semakin memanas ke permukaan tatkala beredar isu Konsorsium 303 atau kasus judi online kelas atas yang diduga diketuai oleh Ferdy Sambo sendiri hingga beberapa nama di Kepolisian ikut terseret.
Hingga kini semua orang mulai dari DPR RI hingga Menko Polhukam mencari-cari kebenaran terkait motif Ferdy Sambo membunuh bawahannya tersebut. Bukankah seharusnya terlebih dahulu mencoba memikirkan ulang bagaimana bisa seorang Jenderal bintang 2 memiliki pemikiran membuat sebuah skenario pembunuhan berencana terhadap anak buahnya sendiri.
Bagaimana jika ini terjadi pada masyarakat sipil? Apakah akan ditutupi dengan sebatas mediasi? Bahkan bisa jadi publik tidak mengetahui apakah ini adalah kekerasan pertama yang dilakukan Ferdy Sambo selama menjadi anggota Polri atau tidak.
Kasus Mutilasi 4 orang di Papua oleh Anggota TNI
Pada Agustus lalu, kasus pembunuhan serta mutilasi terhadap 4 orang warga sipil Kabupaten Nduga terjadi di Satuan Pemukiman 1, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika, Papua. Keempat korban tersebut adalah Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniel Nirigi dan Atis Tini. Mereka diduga dibunuh dan dimutilasi oleh 6 oknum prajurit TNI AD yang bernama Mayor Hf, Kapten Dk, Praka Pr, Pratu Ras, Pratu Pc dan Pratu R dan ada 4 tersangka warga sipil.
Menurut investigasi hal ini bermula dari para korban tertarik ingin membeli senjata api dari para tersangka seharga Rp250 juta. Naas pada 22 Agustus 2022 sekitar pukul 21.50 WIT, di SP 1, Distrik Mimika Baru, para tersangka bertemu dengan korban dan membunuh mereka. Untuk menghilangkan jejak, para pelaku lantas memutilasi dan memasukan jenazah ke karung dan dibuang ke Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka.
Sebelumnya beredar bahwa para korban mutilasi dijebak karena diduga simpatisan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Namun keluarga membantah hal tersebut menurut mereka, para korban hendak membeli barang bangunan. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Bupati Nduga bahwa para korban adalah warga sipil.
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menegaskan akan memproses hukum bagi semua pelaku yang terlibat tanpa pandang bulu. Ia memastikan tidak ada satupun yang akan lolos dari jerat hukum. Tentu saja para pelaku akan diadili dalam pengadilan biasa bukan militer. Kekerasan di tanah Papua bukan hanya terjadi sekali, berpuluh-puluh tahun kekuatan militer terus digerakan di bumi Cendrawasih. Berganti Jenderal, pasukan masuk keluar namun tidak ada penyelesaian konflik kekerasan di Papua, lalu untuk apa hadirnya para prajurit?
Masyarakat asli Papua atau warga sipil selalu menjadi korban. Pendekatan yang digunakan berdasar kekerasan tidak akan menghasilkan apapun. Panglima TNI harus membenahi dan memutus segala bentuk rantai kekerasan yang dilakukan oleh para pasukan TNI di Papua.
Tragedi kanjuruhan 1 Oktober
Keberingasan aparat juga dipertontonkan terbuka di hadapan puluhan ribu pasang mata pada 1 Oktober lalu di stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Pertandingan sepakbola berubah menjadi pertunjukan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian dibantu oleh tentara.
Sejumlah aksi brutal berupa pemukulan, penyiksaan, ‘tendangan kungfu’, hingga penembakan gas air mata mengakibatkan korban ratusan orang bahkan menurut data pemerintah 131 orang diantaranya tewas mengenaskan termasuk puluhan anak.
Pemerintah memang sudah membentuk tim pencari fakta untuk menyelidiki kasus tersebut. Namun dengan mata telanjang dan video yang di publikasikan penonton sudah jelas berbagai pelanggaran oleh aparat dalam menangani keadaan sehingga jatuh korban.
Agar tindak kekerasan oleh aparat negara tidak meluas dan berulang, maka seluruh pelaku kekerasan harus dijerat hukum yang setimpal agar memberikan efek jera bukan menormalisasikan kekerasan sebagai bentuk penyelesaian masalah.
Mungkin sudah saatnya Pemerintah segera membentuk lembaga pengawasan eksternal yang mampu mengawasi kinerja Polri dan TNI secara transparan dan akuntabel. [NS/FTM]