Ilustrasi/dokumen polisi

Koran Sulindo – Laporan itu ditulis dengan kalimat pendek-pendek dan tersebar di media sosial. Sebanyak 8 orang personil tim Gabungan Inafis Bareskrim Polri dan Inafis Polda Metro Jaya dibawah Pimpinan Kompol Suyamta. SH dan Kompol Mumuh Saepuloh. SH, melaporkan setelah melaksanakan kegiatan identifikasi dan pengambilan sidik jari serta pengambilan foto korban kasus kerusuhan di rumah tahanan Salemba cabang Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Dari hasil Identifikasi terhadap 5 jenazah anggota Polri korban kasus kerusuhan Napi Teroris di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua dapat dilaporkan sebagai berikut:

  1. Lebel mayat RS POL/V/001, korban: an. Briptu Fandi Setio Nugroho, Penyidik Densus 88.

Luka: luka gorok pd leher tembus dari leher belakang s/d tenggorokan, luka lecet pada alis kiri, luka terbuka pada pipi kanan.

  1. Lebel mayat RS POL/V/002, korban: an.Syukron Fadhli, lahir 1977.

Luka: luka tembak pada kepala bagian kiri atas kuping tembus kepala sebelah kanan, luka lecet paha kanan.

  1. Lebel mayat RS POL/V/003, korban: an. Wahyu Catur Pamungkas, lahir 1994,

Luka: luka gorok pada keher kanan sampai pipi kanan bawah, luka pada dagu kanan, luka tembak pada dahi sebelah kiri.

  1. Lebel mayat RS POL/V/OO5, Korban: an. Yudi Rospuji Siswanto, lahir 1977,

Luka: luka tusuk pada kaki kanan, luka sobek lutut belakang, luka sayat pada kaki kiri, luka sobek pada punggung telapak kaki, Jempol kaki kiri robek, pelipis kanan robek, mata kanan dan kiri luka bacok, leher luka bacok, dada kiri kanan luka tusuk, tangan kanan luka bacok, siku kanan luka bacok, tangan kanan atas luka.

  1. Lebel mayat RS POL/V/006, korban an. Denny Setiadi, SH, lahir 1985,

Luka: pipi kiri luka bacok, bibir bengkak, gigi atas lepas, leher belakang luka bacok, luka tembak pada dada kanan.

Demikian dilaporkan.

Catatan: Semua luka yg sebabkan kematian dilakukan dari jarak dekat atau krn dalam kondisi korban tidak bisa melawan.

Banyaknya luka menandakan seluruh korban disiksa diluar batas perikemanusiaan sebelum dihabisi dengan cara ditembak atau digorok hidup-hidup.

Jasad 5 orang polisi yang gugur itu mayoritas luka dalam di bagian leher, luka pada bagian kepala, dan beberapa tembakan di sekujur tubuh. Mereka disandera narapidana teroris di Mako Brimob.

Dalam peritiwa pemberontakan narapidana teroris itu, akhirnya 155 napi teroris menyerah, dan kini dipindahkan ke penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Autopsi enam jenazah korban kerusuhan Mako Brimob itu di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, itu dijaga ketat. Selain akses ditutup, juga dipasang garis sekitar 250 meter dari ruang jenazah.

Identifikasi terhadap mayat yang menjadi korban kericuhan di Rutan Mako Brimob itu menggunakan alat berupa kamera, handycam, mambis, kartu AK 23 milik RS Polri Kramatjati, Jakarta Timur.

“Mayoritas luka akibat senjata tajam di leher. Saya ulangi, akibat senjata tajam di leher. Luka itu sangat dalam. Silahkan rekan-rekan menyimpulkan apakah perbuatan itu manusiawi atau tidak?” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen M Iqbal, di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Iqbal, dalam kerusuhan itu para napi menyandera 10 orang polisi penjaga, membunuh 5 orang, 4 orang disiksa, dan seorang tetap dijadikan sandera sampai detik-detik akhir.

Sebanyak 5 anggota Polri tewas dalam kerusuhan di Rutan Salemba cabang Mako Brimob sejak Selasa (8/5/2018) malam hingga Kamis (10/5/2018)pagi, ketika dapat ditanggulangi. Mereka adalah Inspektur Satu Yudi Rospuji Siswanto, Brigadir Fandy Setyo Nugroho, Brigadir Satu Syukron Fadhli, Brigadir Satu Wahyu Catur Pamungkas, dan Ajun Inspektur Dua Denny Setiadi.

Menko Pulhukam Wiranto mengatakan para napi teroris memegang 30 pucuk senjata yang dirampas dari polisi dan dari ruang bukti di samping rutan.

“Mereka melakukan kekejaman dengan menguasai senjata, menawan sandera, menyiksa bahkan membunuh polisi dengan sadis dan keji, di luar batas kemanusiaan,” kata Wiranto.

Nusakambangan

Drama kebiadaban di Mako Brimob itu akhirnya dapat diatasi polisi pada Kamis dini hari, setelah berlangsung sekitar 36 jam. Sebanyak 5 anggota Brimob tewas, 5 anggota lainnya luka-luka, dan satu teroris tewas dalam peristiwa tersebut. Setelah menyerah dan dilakukan penggeledahan, para napi dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Jawa Tengah.

Di Nusakambangan, konon mereka akan disel masing-masing satu orang.

Mereka yang gugur itu sebenarnya bukan tim penindak, mereka adalah tim pemberkasan. Saat itu mereka sedang memeriksa 3 tersangka teroris yang baru ditangkap 2 hari sebelumnya di Bogor.

Kerusuhan itu konon dipicu masalah sepele, kiriman makanan ke seorang napi teroris tidak sampai. Para tahanan protes, berteriak-teriak, lalu mendorong jeruji penjara hingga roboh, mengambil persenjataan laras panjang, dan mendobrak ruang tim pemberkasan, di samping ruang tahanan, tempat barang bukti yang masih dipakai belum disimpan di gudang. Setelah itu tembak-menembak antara tahanan dengan polisi terjadi.

Presiden Joko Widodo menyampaikan rasa duka yang mendalam atas gugurnya 5 orang anggota polisia yang sedang melaksanakan tugas negara itu.

“Perlu saya tegaskan bahwa negara dan seluruh rakyat tidak pernah takut dan tidak akan pernah memberikan ruang sedikit pun pada terorisme dan juga upaya-upaya yang mengganggu keamanan negara,” kata Presiden Jokowi, dalam keterangan pers di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pekan lalu, seperti dikutip setkab.go.id.

Mengapa Lama?

Mengapa operasi menanggulangi kerusuhan itu lama dan seolah berlarat-larat? Sampai Kamis dinihari, memang masih ada seorang polisi yang dijadikan sandera para napi teroris. Sandera terakhir, Bripka Iwan Sarjana, bisa dibebaskan dalam kondisi selamat pada detik-detik akhir.

“Tentu ada kalkulasi yang harus dihitung. Apalagi saat itu masih ada satu anggota polisi yang masih hidup dan jadi sandera,” kata Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, di kantor KSP, pekan lalu.

Moeldoko menceritakan, bagaimana detik-detik pembebasan sandera yang ditawan itu. Saat itu terbuka 2 alternatif tindakan yang bisa diambil. Pertama, serbu langsung. Kedua, memberikan tekanan terlebih dulu.

Keputusan yang diambil adalah melakukan tekanan-tekanan lebih dulu, beberapa di antaranya mematikan listrik, air, dan menghentikan pasokan makanan.

“Setelah ada keluhan dari mereka, satu anggota kita dilepas. Maka secara terbatas makanan kita berikan,” kata Moeldoko.

Polisi kembali memberikan tekanan, 145 narapidana terorisme menyerah, dan menyisakan 10 napi kasus terorisme yang bertahan.

“Waktu itu kita ikuti melalui CCTV. Di situlah ada perintah melakukan serbuan. Kemarin ada suara ledakan-ledakan itulah serbuan,” katanya

Akhirnya 10 napi terorisme ngotot itu, diduga anggota Jamaah Anshorut Daulah (JAD), menyerah.

Menurut Moeldoko, sesuai Konvensi Jenewa 1949 yang telah dimodifikasi dengan tiga protokol amandemen, korban luka dan korban sakit dalam konflik militer wajib dikumpulkan dan dirawat serta diperlakukan dengan respek.

“Mengapa tidak dihabisi semua? Karena ada konvensi Jenewa, kalau lawan sudah menyerah itu tidak boleh dibunuh,” kata Moeldoko.

Itulah yang membedakan penegak hukum dengan teroris, ada konvensi yang dipegang, bahkan misalnya dalam perang paling brutal sekalipun. Polisi masih membuktikan diri dalam kasus ini bertindak manusiawi, justru ketika personel mereka dihabisi secara biadab. [Didit Sidarta]