(foto: islamramah.co)

Suluh Indonesia – Hari-hari besar keagamaan di Indonesia terbukti menjadi pemberi warga keragaman sekaligus perekat persatuan dan kebersamaan di antara warga. Fakta ini menggembirakan dan memang sungguh diperlukan. Mengingat, Indonesia dihuni oleh hampir 270 juta penduduk dari seribu suku.

Masyarakat Indonesia menganut enam agama dan ratusan aliran kepercayaan, serta memiliki hampir seribu bahasa. Persatuan, oleh karenanya, perlu terus dibingkai dalam semangat persaudaraan, kerukunan, kemajemukan, keragaman dan kebersamaan. Persatuan ini harus terus dijaga tak kenal lelah.

Salah satu wujud upaya menjaga persatuan yang sederhana adalah saling membantu dalam acara-acara besar hari raya keagamaan. Misalnya, setiap tahun, sejumlah gereja di Jakarta dan daerah-daerah lain yang hendak dijadikan tempat perayaan Natal selalu dijaga oleh para pemuda muslim secara sukarela bersama aparat keamanan.

Sebagaimana yang terlihat pada beberapa kali Natal tanggal 25 Desember, di sekitar Katedral Jakarta, puluhan pemuda muslim ikut menjaga keamanan pelaksanaan misa malam Natal. Mereka sudah terbiasa menjaga gereja saat hari raya Natal dan tahun baru yang berlangsung setiap tahun. Hal itu dilakukan agar di antara umat beragama bisa saling menjaga kebersamaan.

Hal serupa dilakukan para pemuda muslim selama perayaan tahun baru Imlek. Bersama pihak kepolisian, mereka ikut menjaga keamanan sekitar klenteng yang menjadi pusat pelaksanaan perayaan Imlek. Dengan demikian, warga etnis Tionghoa merasa tenang dan aman melaksanakan sembahyang dan memanjatkan doa di dalam klengteng mereka untuk menyambut malam pergantian tahun baru Imlek.

Perayaan keagamaan di Indonesia memang begitu banyak dan sangat beragam. Perayaan-perayaan itu datang silih-berganti di antara keenam agama resmi yang diakui; masing-masing menggunakan perhitungan kalender yang berbeda-beda. Terkadang, dua agama melakukan perayaan masing-masing di waktu bersamaan atau berhimpitan.

Malah, dua perayaan suatu agama terjadi di satu waktu secara bersamaan. Di kalangan umat Islam, sudah biasa terjadi perbedaan pelaksanaan satu hari raya. Misalnya, hari raya Idul Fitri atau hari raya Idul Adha bisa dilaksanakan pada dua atau tiga hari berbeda oleh beberapa komunitas muslim dikarenakan perbedaan cara penghitungan kalender. Untunglah, sebagian besarnya, seluruh komunitas muslim dapat merayakan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha secara berbarengan, hingga tercipta semangat persaudaraan, kebersamaan dan kerukunan, betapa pun beragamnya mereka.

Hal yang sama terjadi pada umat Hindu. Bahkan, mereka pernah merayakan hari raya istimewa. Pasalnya, mereka melangsungkan pesta hari raya Nyepi dan hari raya Saraswati secara bersamaan, misalnya yang terjadi pada 17 Maret 2018. Perayaan langka ini hanya terjadi tiap seratus tahun sekali. Dan berdasarkan perhitungan kalender wuku dan pesasihan, pada 2079 juga akan terjadi Nyepi berbarengan dengan Pagerwesi.

Umat Hindu di Bali, yang jumlahnya mayoritas, hidup berdampingan dengan umat Muslim, Kristiani, dan Budha. Pada sejumlah titik di Bali, bisa ditemukan rumah ibadah beda agama yang didirikan dalam satu area. Di kompleks Puja Mandala, Nusa Dua, misalnya, Masjid Agung Ibnu Batutah berdiri gagah di samping Gereja Katolik Paroki Maria Bunda Segala Bangsa, Vihara Buddha Guna, Gereja Protestan Jemaat Bukit Dua, dan Pura Jagatnatha.

Di jalan lintas Bandara Ngurah Rai, tampak Masjid Nurul Huda berdiri bersebelahan dan berhadapan dengan gereja dan pura. Tak ada saling usik di antara umat beragama yang berbeda keyakinan. Di Banjar Padang Udayana, tiga rumah ibadah berdiri tak berjauhan. Ketiganya adalah Pura Dharma Kerti, Vihara Buddha Sakyamuni, dan Musala Nurul Iman.

Tiga kali setiap hari terdengar Puja Trisandya di pura berkumandang susul-menyusul dengan adzan Subuh, Dzuhur, dan Maghrib di masjid atau musala. Puja Trisandya adalah mantram dalam ibadah Hindu yang dilaksanakan untuk tiga kali persembahyangan yaitu pagi, siang dan petang.

Selama bulan puasa hingga menjelang hari raya Idul Fitri, di Pasar Badung tampak para pedagang takjil yang menjual aneka jajanan untuk berbuka puasa duduk bersebelahan dengan para pedagang yang menjual bunga, dupa, dan buah untuk perlengkapan sembahyang di pura. Sungguh suatu keindahan dalam perbedaan.

Para pecalang, petugas pengaman desa adat, selalu menjaga kaum muslimin menunaikan shalat Jumat, shalat Tarawih, shalat Idul Fitri, Idul Adha, serta kegiatan besar keagamaan lainnya. Mereka tak hanya berjaga di pintu gerbang masjid atau mushala, melainkan juga ikut mengatur lalu lintas menuju rumah ibadah, membantu merapikan susunan kendaraan di kantong parkir. Tak ketinggalan, bertutur salam dan sapa kepada Muslim yang lewat.

Setiap hari raya Galungan tiba, warga Hindu selalu mengantarkan makanan dalam tradisi ngejot yang dibuat dan dipastikan berbahan dasar halal, ke rumah-rumah tetangganya yang muslim. Ngejot adalah tradisi Bali ketika seseorang menyampaikan hantaran makanan yang bisa berupa nasi, lauk pauk, buah-buahan, atau kue ke rumah saudara, sahabat, tetangga, atau umat lain yang berbeda keyakinan.

Tradisi ngejot lama-kelamaan juga familiar di kalangan Muslim Bali. Mereka pun membalas hantaran makanan untuk saudara, sahabat, atau tetangga mereka yang beragama Hindu pada saat hari raya Idul Fitri tiba. Isi hantarannya bisa berupa opor ayam, lontong sayur, atau aneka kue lebaran. Itulah bentuk toleransi yang dijunjung tinggi oleh orang-orang Bali dan para pendatang yang tinggal di sana.

Masyarakat Hindu mengenal ajaran tat twam asi. Filosofi ini berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti ”Aku adalah Engkau, dan Engkau adalah Aku”. Filosofi ini mengajarkan mereka bagaimana cara berempati kepada orang lain. Ajaran ini menjadi dasar bagi umat Hindu dalam bersikap dan bertingkah laku. Inilah sebabnya toleransi di Bali begitu tinggi.

Ajaran serupa terdapat dalam Islam yang berbunyi bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Kalimat yang berasal dari ayat suci al-Qur’an ini tidak mempermasalahkan apa pun agama yang dianut seseorang, asalkan masing-masing tetap menjalankan ajaran agama yang diyakininya dan tidak saling mengganggu. Gangguan itu misalnya dengan memberi pemahaman tersendiri kepada ajaran agama orang lain.

Masalahnya, tak jarang timbul perbedaan paham di kalangan umat beragama dalam menyikapi kegiatan sesama saudaranya yang berbeda agama. Misalnya, di kalangan muslim, terjadi diskusi tentang boleh-tidaknya memberi ucapan selamat kepada saudaranya non-muslim yang sedang mengadakan perayaan Natal. Akhirnya, para ulama pun memutuskan bahwa ucapan demikian dibolehkan karena tidak mengganggu akidah.

Interaksi antara masyarakat muslim dan umat Kristiani relatif kuat di Indonesia karena mereka hidup saling membutuhkan baik sebagai tetangga, keluarga, atau bagian penting dari masyarakat lingkungannya. Dalam komunitas seperti ini, penyampaian ucapan selamat kepada satu penganut agama dengan agama lain bukanlah hal yang aneh, bahkan sudah lumrah dan biasa.

Jika umat Islam sedang merayakan hari raya Idul Adha, maka umat lainnya dengan senang hati turut bergembira menyampaikan ucapan selamat. Demikian pula sebaliknya, jika umat agama lain sedang merayakan hari besarnya, maka sungguh lumrahlah seorang muslim menyampaikan ucapan selamat kepada tetangganya. Bahkan, turut memeriahkannya dengan memberikan hadiah yang layak.

Di Indonesia, hubungan persaudaraan dengan semua agama terjalin baik. Maka, sungguh aneh jika seseorang tak sudi menyampaikan ucapan selamat atau saling membantu saat memperingati hari-hari raya masing-masing. Apalagi, dalam kehidupan sehari-hari, manusia memang memiliki ketergantungan satu sama lain. Sudah seharunyalah mereka terus berusaha menjaga hubungan baik dan selalu memupuk kebersamaan. (ahmadie thaha)

Baca juga