Koran Sulindo – Nilai keadilan sosial sebagai sebuah cita-cita kemasyarakatan merupakan salah satu pilar penting yang tidak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Di bawah penindasan kolonialisme asing yang berlangsung selama ratusan tahun telah membuat bangsa ini menyadari arti penting keadilan sosial. Oleh sebab itu pula, nilai keadilan sosial menempati kedudukan yang cukup sentral dalam Pembukaan UUD 1945.
Pentingnya nilai keadilan sosial yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945 itu ditegaskan melalui rumusan: memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Penegasan ini diperkuat oleh Pasal 33 UUD 1945 terkait dengan pengelolaan serta tujuan perekonomian nasional di mana kesejahteraan dan kemakmuran rakyat menduduki posisi sentral. Dengan demikian, nilai keadilan sosial—sebagaimana yang telah diamanatkan oleh the founding fathers itu—menjadi salah satu tujuan dan cita-cita resmi kehidupan bernegara Indonesia. Ini berarti bahwa upaya mewujudkan keadilan sosial tidak saja merupakan tugas konstitusional dari para penyelenggara negara.
Gagasan keadilan sosial sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, sebagaimana telah disinggung di atas, berakar sejarah penderitaan bangsa Indonesia. Formulasi gagasan ini mulai terbentuk pada dekade 1920-an di masa pergerakan. Dipelopori oleh Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka serta para pemimpin pergerakan nasional lain di masa itu gagasan keadilan sosial muncul sebagai bentuk tolakan terhadap sistem kolonial yang menghisap dan menindas. Dapat dikatakan bahwa tidak satupun pemimpin pergerakan nasional yang tidak setuju pada gagasan ini.
Pengaruh pemikiran kaum sosialis terhadap para pemimpin pergerakan, oleh karenanya, cukup besar. Salah satu di antaranya adalah pemikiran Karl Marx. Namun demikian, para pemimpin pergerakan nasional secara kreatif juga melakukan upaya-upaya untuk menyesuaikan gagasan sosialisme yang datang dari Barat itu sejalan dengan kondisi objektif Indonesia. Dengan demikian, nilai-nilai dasar keadilan sosial sebagimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 itu dapat dikatakan sebagai refleksi panjang perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Sebagaimana yang sering ditunjukkan oleh kaum sosialis, sekalipun pemerintah dibatasi agar tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaannya, namun problem sosial dan ekonomi seperti perbudakan, kemiskinan, kebodohan, diskriminasi, dan eksploitasi ekonomi tidak bakal bergeming karenanya. Dengan demikian, sejak tampilnya Karl Marx, gerakan bagi perubahan sosial mulai menaruh kepedulian besar terhadap masalah-masalah sosial dan ekonomi ini.
Sarana untuk menyalurkan pelayanan-pelayanan publik yang dituntut oleh norma ini adalah negara kesejahteraan modern, suatu sistem politik yang menggunakan kewenangan perpajakannya atau kontrol ekonominya untuk mengumpulkan sumber-sumber yang dibutuhkan guna memasok pelayanan-pelayanan kesejahteraan yang esensial bagi seluruh penduduk yang memerlukannya.
Salah satu dari keyakinan tentang keadilan sosial adalah bahwa kemiskinan; eksploitasi, dan diskriminasi merupakan ancaman bagi kesejahteraan dan martabat manusia, adalah sama seriusnya dengan pelanggaran secara sengaja terhadap hak-hak politik tradisional.
Keyakinan kedua adalah bahwa penderitaan manusia dan ketimpangan yang parah bukan merupakan hal yang tak terhindarkan, melainkan merupakan hasil yang lahir dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang dapat diubah sehingga dapat dikenai kontrol moral atau politik. Salah satu dasar bagi pandangan optimis ini adalah tingginya tingkat kemakmuran yang dapat dicapai di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia serta kemunculan sistem yang secara politis efektif untuk memberlakukan hak-hak kesejahteraan sosial di negara-negara ini.
Keyakinan terakhir adalah bahwa sistem politik, ekonomi, dan sosial benar-benar tidak dapat dipisahkan—atau bahwa kekuasaan pemerintah sering diperalat untuk menciptakandan mempertahankan institusi-institusi ekonomi dan sosial yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Jika negara ikut mendukung suatu sistem ekonomi yang memberikan kekayaan berlimpah bagi segelintir orang dan sebaliknya membiarkan sejumlah besar orang berada dalam kesengsaraan, dan jika sistem semacam itu sebenarnya bukannya tak terhindarkan dan sebaliknya dapat digantikan oleh sistem yang jauh lebih mendukung bagi kesejahteraan dan martabat setiap orang, maka sangat masuk akal tampaknya bila negara dapat dituduh atas keterlibatannya dalam kejahatan-kejahatan yang lahir dari sistem yang ada.
Karena keyakinan-keyakinan semacam ini sudah mulai meluas, negara dibebani tugas untuk menyediakan perbaikan-perbaikan lewat pemanfaatan sumberdaya dan kewenangan redistributifnya. Dengan demikian, negara, dalam perspektif ini, tidak dapat tinggal diam/pasif sebagaimana konsep liberal-klasik tentang negara yang hanya bertastus sebagai ‘penjaga malam’. Demi keadilan, negara—sampai batas tertentu—dimungkinkan untuk melakukan intervensi melalui kebijakannya.
Keadilan Distributif
Secara umum persepektif pemikiran di atas dikenal sebagai keadilan distributif. Konsep keadilan distributif memandang bahwa perbedaan-perbedaan potensi dan kemampuan setiap orang tidak dapat semata-mata dikatakan sebagai sebuah fakta natural. Tidak sedikit contoh di mana aneka jenis perbedaan potensi dan kemampuan manusia itu justru merupakan produk dari konstruksi sosial tertentu. Oleh karena itu, menciptakan keadilan juga merupakan upaya mengubah konstruksi sosial.
Prinsip ini memandang bahwa perbedaan sosial dan ekonomi sedemikian rupa harus diatur melalui kebijakan negara agar dapat memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Atau dengan kata lain, prinsip ini pada dasarnya ingin kenunjukkan bahwa mereka yang paling kurang mempunyai peluang/kesempatan untuk mencapai prospek kesejahteraan. Oleh karenanya, prinsip ini membela sistem perlindungan khusus bagi kalangan yang kurang beruntung.
Logika yang bekerja dalam prinsip ini adalah bahwa tidak dapat dibenarkan jika pengorbanan pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat. Oleh karenanya, program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan (sosial) haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan. Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas dan sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali (meredistibusi) kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.
Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek dalam mencapai tingkat kesejahteraan umum dapat dicapai oleh orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti bahwa keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal. Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang dapat memberdayakan mereka. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
Dilihat dari sisi ini, maka konsep keadilan distributif cenderung lebih dekat dengan konsep keadilan sosial versi konstitusi RI. Dengan kata lain, paradigma keadilan yang dianut okeh para pendiri bangsa adalah jenis keadilan distributif, dan oleh karenanya, mereka menolak perspektif keadilan proporsional. Perspektif keadilan sosial menurut konstitusi jelas mengandaikan adanya semacam campur tangan aktif dari negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Dengan kata lain, konsep keadilan sosial versi konstitusi mengandung pengertian bahwa negara merupakan ‘distributor’ utama atas berbagai sumber daya strategis yang dapat digunakannya untuk mencapai masyarakat sejahtera.
Keadilan sosial membutuhkan para penyelenggara negara yang mampu mengolah masa depan serta menumbuhkan harapan publik dengan cara yang masuk akal. Kepemimpinan yang dibutuhkan untuk mengantarkan Indonesia menuju keadilan sosial adalah kemampuan untuk menunjukkan tentang apa dan bagaimana strategi yang harus ditempuh. Kepemimpinan politik semacam inilah yang dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Dasar pertaruhan poltiknya adalah bukan untuk hari ini, melainkan untuk jutaaan generasi mendatang. Untuk keperluan ini, penyelenggara negara yang hanya terikat dengan keperluan pemilu yang satu ke pemilu yang lain jelas bukan sosok yang relevan untuk menganggendakan keadilan sosial.
Penting untuk digarisbawahi bahwa keadilan sosial tidak saja harus dipahami sebagai tuntutan etis—dan oleh karenanya, ia diterima secara moral oleh banyak orang yang berakal sehat, tetapi juga dipahami secara empiris—dengan mengacu pada bukti-bukti tentang terwujudnya negara kesejahteraan (welfare state) di sebagian belahan dunia. Di sisi lain, potensi mewujudkan keadilan sosial di Indonesia juga masuk akal, setidaknya berdasarkan modal natural kita yang cukup melimpah. Dengan demikian, cita-cita mengejar keadilan sosial bukanlah sebuah angan-angan kosong yang tidak memiliki dasar apapun.
Jika hari ini kita masih mendapati sebagian masyarakat yang kehilangan harapannya untuk mengubah nasib, itu berarti bahwa institusi-institusi negara gagal mengolah masa depan, tidak mampu menumbuhkan harapan publik serta gagap menyusun road map yang masuk akal menuju masyarakat berkeadilan sosial. [Imran Hasibuan]