Monas sekitar tahun 1960-an.

Koran Sulindo – Sebagai Presiden RI, Bung Karno aktif memajukan bidang kebudayaan. Jejak diplomasi budayanya tampak dalam ekspresi seni-budaya.

Sepanjang koridor jalan Kebayoran Baru-Thamrin Jakarta masih relatif lapang pada awal tahun 1960-an itu. Jajaran bangunan modern bertingkat tinggi dalam beragam karakter, karena itu menyerupai ‘pentas’ karya arsitektur, menjadi buah bibir di lingkungan Jakarta serta meluas ke seluruh negeri.

Karya-karya karya arsitektur ‘Projek Mercusuar’ itu melekat sebagai karya Soekarno. Jejaknya masih tergelar di kota Jakarta meski telah melampaui zamannya, dan dikenang masyarakat sebagai upaya Soekarno dalam menggapai kedudukan terkemuka di antara sesama negara-negara bangsa baru bekas koloni di Asia-Afrika. Meski bukan didanai secara murni oleh bangsa sendiri, karena Indonesia tengah didera kesulitan perekonomian, namun berkat lobi Soekarno kepada Uni Soviet dan beberapa negara yang tergabung sebagai NEFO atau New Emerging Forces, proyek mercusuar itu akhirnya rampung.

Karya arsitektur yang sarat dengan gagasan politik Soekarno itu jika dihimpun beberapa saja, bermula dari Jakarta City Planning, dengan karya fenomenal Jembatan Semanggi. Lalu Gedung Pola yang digagas sebagai wadah pameran pembangunan. Yang terlihat menonjol adalah kompleks Stadion Utama Asian Games sebagai venue pentas olah raga. Kini tempat itu memakai nama penggagasnya: Gelora Bung Karno.

Di tengah-tengah Jakarta, semacam titik nol imajiner terdapat Hotel Indonesia sebagai penerima tamu dan turis manca, lalu Masjid Istiqlal sebagai panggung pentas religi.

Di dekat Hotel Indonesia dibangun gedung menjulang, Wisma Nusantara, yang dirancang sebagai pentas komoditi internasional, dan sekitar 100 meter di utara berdiri Sarinah Departement Store sebagai wadah komoditas nasional. Di wilayah timur, di bekas kebun binatang yang berdiri di atas tanah milik pelukis Raden Saleh berdiri Planetarium, sebagai pentas perolehan ilmu pengetahuan astronomi. Di wilayah barat didirikan Gedung ex Conefo yang berbentuk seperti kura-kura, sebagai pentas persatuan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Kini gedung itu dipakai untuk anggota DPR MPR.

Ke utara lagi ada Tugu Nasional sebagai prasasti tanda kebesaran bangsa.

Selain bangunan mencakar langit, di sudut-sudut kota juga didirikan patung-patung realis sebagai penunjuk lokasi sekaligus elemen memperindah kota.

Menurut Yuke Ardhiati dalam disertasi doktor bidang arsitektur di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, yang diberi judul “Panggung Indonesia: Khora Pesona Karya “Arsitek” Soekarno 1960-an”, keseluruhan tata kota cantik itu berpuncak pada Tugu Nasional  yang membasiskan diri pada budaya Jawa Kuno sebagai dasar rancangan arsitektur modern.

Tentang Tugu Nasional, harian Suluh Indonesia edisi Rabu 16 Agustus 1961 menampilkan sebagai head-line di halaman satu  karya arsitektur Bung Karno tersebut, yang kelak diubah namanya menjadi Monumen Nasional itu. Judul beritanya adalah: “17 Agustus 1961 Arsitek Besar Sukarno akan pantjangkan tiang pertama TUGU NASIONAL. Projek jang akan berbitjara dalam bahasa badja, beton bertulang, batu, & perunggu.”

Memajukan Seni-Budaya

Namun, arsitek besar itu tidak hanya mendirikan bangunan teraga saja, yang bisa dilihat dan diraba-raba. Soekarno juga mengawali diplomasi kebudayaan melalui eksplorasi keindonesiaan di segala lini dan ragam budaya. Dalam arsitektur, Soekarno menggelar karya arsitektur modern yang berbasis budaya Jawa Kuno, dan pada tataran ini, Soekarno telah mengantarkan Tugu Nasional sebagai prasasti diplomasi budaya kelas dunia yang menyejarah.

Selain itu, terjejak sejumlah beksan/tarian indah yang mengemuka dalam sajian tari lepas berpasangan dan sendratari.

Di awal kemerdekaan, geliat kecintaan Soekarno pada Indonesia telah menempatkannya bukan sekadar ”arsitek” bagi terwujudnya peradaban modern, karena bukan hanya berupa karya artefak teraga saja melainkan meluas pada yang tak teraga seperti batik dan tari daerah.

Dalam kesenirupaan Soekarno juga menjadi patron, sosok yang memayungi cerahnya dunia seni rupa di awal kemerdekaan melalui kepeduliannya terhadap tema serta kehidupan para seniman Indonesia. Karya-karya unggulan di bidang kesenirupaan terjejak di kawasan Hotel Indonesia yang bagaikan museum hidup bagi keberagaman karya seni rupa di masa Soekarno.

Karya-karya mestro Indonesia digelar secara permanen di hadapan publik manca yang bertandang ke Indonesia. Hotel itu menjadi semacam ‘Diplomat Budaya’ yang teraga (tangible).

Hotel Indonesia ini digadang-gadang Soekarno sebagai Wajah Muka Indonesia. Perannya diartikan sebagai ‘gerbang’ untuk memahami Indonesia. “Hotel Indonesia yang tadi dikatakan oleh Presiden Hotel Indonesia Sdr. Iskandar Ishak untuk accelerate kepariwisataan ke Indonesia. Sehingga dus, sebenarnya jikalau saya membuka Hotel Indonesia pada saat sekarang ini boleh saya katakan saya membuka Wajah Muka Indonesia,” kata Soekarno ketika meresmikan hotel itu pada 5 Agustus 1962.

Kehadiran Hotel Indonesia di masa itu adalah karya kebanggaan, bangunan modern bertingkat 14 lantai yang pertama dimiliki Indonesia. Untuk mewujudkan rancangan hotel ini Soekarno belum melibatkan arsitek negeri, tapi menunjuk Abel dan Windy Sorenson– pasangan arsitek dari Amerika Serikat. Namun, dalam proses rancangannya Soekarno terlibat intensif. Bahkan selalu diutarakan keinginannya melalui cara khas Soekarno yaitu dengan menyampaikan hasrat, intervensi, dan rasa seninya, sehingga tak jarang terjadi perdebatan antara Abel Sorenson dengan Soekarno. Untuk meneguhkan perannya, sempat Soekarno menghentak bule itu, “Jangan lupa saya juga seorang insinyur, jadi Hotel Indonesia juga dibangun oleh seorang Presiden.”

Pembangunan Hotel Indonesia itu dibiayai dari dana pampasan Jepang. Selain Hotel Indonesia, dana tersebut juga digunakan untuk membangun Hotel Indonesia Group, antara lain: Hotel Samudera Beach di Pelabuhan Ratu, Hotel Ambarukmo Yogyakarta, dan Hotel Bali Beach di Denpasar.

Bali Room di Hotel Indonesia adalah satu rancangan ballroom yang digagas Soekarno untuk mengakomodir 1.000 orang tamu, dengan bentuk dasar oval, berlatar ukiran kayu bernuansa persawahan di Bali dan hiasan ornamen batang bambu, sebagai satu-satunya ballroom berbentuk oval di Indonesia.

Ruangan megah inilah yang mengantar seniman performing art Indonesia menjadi maestro. Soekarno membuka jalan bagi Bing Slamet, Teguh Karya, Rima Melati, Titik Puspa, dan masih banyak tokoh lainnya, sebagai diplomat budaya yang mengekspresikan ke-indonesiaan. Juga para perupa yang kelak menjadi legenda seperti Harijadi, Trubus, Soerono, G. Darta, dan Lee Man Fong.

Soekarno juga mendirikan panggung untuk karya seni tari nusantara yang diunggulkannya sebagai suguhan bergengsi yang mengisi ajang pertemuan kenegaraan. Awalnnya di Istana Tampak Siring, dengan membangun Pendapa Agung di sana. Lalu juga membangun Panggung Teater Sendratari Ramayana di Prambanan, dan Gedung Wayang Orang di Taman Sriwedari Solo.

Diplomasi budaya melalui kesenian ala Soekarno berpuncak pada delegasi Misi Kesenian Indonesia ke mancanegara yang melibatkan penari-penari unggulan seluruh Indonesia. Di saat persiapan lawatan ke mancanegara, perhatian Soekarno sangat besar dan tidak segan-segan ia menyediakan rumah pribadinya di Jl. Pegangsaan Timur Jakarta sebagai tempat berlatih.

Rangkuman kisah diplomasi kebudayaan ala Soekarno itu meliputi misi kesenian kenegaraan, sebagai misi pemerintah yang merangkum seniman dari berbagai daerah di Indonesia. Hampir seluruh penjuru dunia pernah dikunjungi misi kesenian kenegaraan Soekarno itu.

Selain menggalang kemampuan para penari nusantara, Soekarno-pun turut menggairahkan terciptanya batik Indonesia melalui karya Go Tik Swan, serta mengangkat tari lenso sebagai tari pergaulan untuk mengimbangi tarian ala Barat yang dinilainya kurang membumi.

Kekuatan diplomasi budaya ala Soekarno, tersebab oleh keinginan negara baru yang ingin menjadi ‘ada’ di kancah percaturan dunia manca.

Satu pernyataan Soekarno tentang kebudayaan yang mendasarinya mencipta kebudayaan di Indonesia telah sering dikutip: “Sesuatu djaman adalah selalu kebudajaan daripada kelas jang berkuasa”.

Dan kelas berkuasa di Indonesia pada pertengahan 1960-an itu sungguh-sungguh seorang budayawan besar. [Didit Sidarta]