Kaum Tionghoa-Nasionalis

Tahanan politik di kamp Tanah Merah, Boven Digoel, Papua - Istimewa

INI terjadi pada 1932. Salah seorang tokoh Tionghoa, Liem Koen Hian dengan gigih melawan para jurnalis Belanda yang rasis dan melarang wartawan non kulit putih untuk meliput berita. Ia pun mengorganisir pers berhaluan nasionalis untuk bersama-sama menolak memberitakan pertandingan yang digelar Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), asosiasi sepakbola yang menghimpun klub-klub orang Eropa.  Liem Koen Hian tidak sudi koran yang dipimpinnya, Sin Tit Po, memberitakan hal tersebut.

“Pemboikotan tersebut tidak terlepas dari pandangan bangsa Tionghoa (di Indonesia) yang diperjuangkan Liem. Indonesia adalah tanah air dan kebangsaan orang-orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda,” tulis Rojil Nugroho Bayu Aji dalam Tionghoa Surabaya dalam Sepakbola (2010).

Liem rupanya tak sendiri. Jurnalis non kulit putih lain di Surabaya juga mendukung pendiriannya saat itu.

Partai Tionghoa Indonesia dan Koran Sin Tit Po

Liem Koen Hian adalah Tionghoa yang berpihak pada pergerakan nasional Indonesia. Ia mendirikan PTI (Partai Tionghoa Indonesia) dan juga merupakan tokoh utama surat kabar Sin Tit Po yang berdiri pada 1929. Yang merupakan surat kabar orang-orang Tionghoa berbahasa Melayu (cikal-bakal Bahasa Indonesia).

Menurut Leo Suryadinata dalam Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, 1965-2008 (2010), pelanggan koran Sin Tit Po tak hanya orang-orang Tionghoa, tapi juga kaum bumiputera. Jadi pengaruh koran ini juga luas tidak semata-mata hanya pada kaum peranakan.

Walau pun merupakan koran Tionghoa, namun pada daftar redaksi Sin Tit Po terdapat nama-nama J.D. Syaranamual dan Abdul Rahman (A.R) Baswedan. Menurut Budi Santoso dalam Peranan keturunan Arab dalam Pergerakan Nasional Indonesia (2003), di kemudian waktu A.R. Baswedan malah mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI) pada 5 Oktober 1934 di Semarang.

“Ketika pada 25 September 1932 Partai Tionghoa Indonesia (PTI) didirikan, Liem Koen Hian diangkat sebagai ketuanya dan sejak itu Sin Tit Po menjadi corong tidak resmi PTI,” tulis Benny Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2008).

Sin Tit Po sebagai corong PTI kerap menyiarkan berita-berita yang menguntungkan pergerakan nasional Indonesia. Bahkan dalam Mohammad Hatta Indonesian Patriot: Memoar (1981), diakui bahwa “Partai Tionghoa Indonesia peranakan di bawah pimpinan Liem Koen Hian juga berjuang untuk kemerdekaan Indonesia; para anggotanya ingin meninggalkan kewarganegaraan Cina-nya dan menjadi warga negara Indonesia begitu Indonesia Merdeka.”

Jelas-jelas keberpihakan PTI kepada pergerakan nasional guna ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka menjunjung tinggi tanah kelahirannya, yaitu Hindia Belanda yang kelak menjadi Indonesia, bukan lagi tanah kelahiran nenek moyang mereka di daratan Tiongkok.

Koran Sin Po

Selain Sin Tit Po, ada koran lain yang juga penting dalam pergerakan nasional, yaitu Sin Po. Menurut Leo Suryadinata, dan Matu Mona dalam Pengidoepan WR Soepratman (1952), Sin Po berkaitan erat dengan para pemimpin dan para penggerak gerakan nasional Indonesia. Bahkan W.R. Soepratman, sang pencipta lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’, menjadi wartawan Sin Po sejak September 1925.

Setelah Kongres Pemuda II, koran Sin Po bahkan “memuat lagu ‘Indonesia Raya’ ciptaan Soepratman itu lengkap dengan not angka dan not-balok,” tulis Bambang Sularto dalam Wage Rudolf Supratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (1983). Sin Po boleh disebut sebagai surat kabar pertama yang menyajikan lirik lagu kebangsaan Indonesia itu.

Orang Tionghoa di Pergerakan Kiri

Di masa pergerakan nasional, terjadi perbedaan pandangan adalah hal yang biasa. Bahkan di kalangan bumiputera sendiri, terjadi kondisi dimana tidak semua sependapat mengenai cita-cita kemerdekaan.

Hal yang sama terjadi di kalangan Tionghoa. Ada orang-orang Tionghoa yang mendukung dan setia pada pemerintah kolonial Belanda. Selain ada yang orang-orang Tionghoa yang masih mempunyai kesetiaan tinggi kepada nasionalisme Tiongkok. Masih banyak dari mereka yang masih merasa tanah airnya merupakan dataran  di Tiongkok.

Bagi sebagian orang Tionghoa, masuk ke kancah pergerakan nasional memang tidak mudah. Menurut Leo Suryadinata dalam Dilema Minoritas Tionghoa (1986), “Keberadaan dan eksistensi orang Tionghoa sedikit tersisih dalam pergerakan nasional karena perbedaan etnis dengan bumiputera.”

Dan Leo juga sempat mencatat bahwa: “PKI menarik sejumlah orang Tionghoa peranakan yang dikecewakan oleh partai-partai nasionalis yang tidak bersedia menerima mereka sebagai anggota.”

Partai Tionghoa Indonesia, bagi sebagian orang Tionghoa tidak memuaskan karena isinya yang homogen. Tidak ada pembauran. Sementara Partai Komunis Indonesia membuka diri dan menawarkan pembauran kepada mereka, juga kepada siapa pun.

Perlawanan bersenjata kepada pemerintah kolonial yang digelar PKI pada 1926, juga melibatkan orang-orang Tionghoa. Menurut catatan Paul Tickell, seorang berkebangsaan Australia yang berpihak pada Indonesia, setidaknya ada nama Tjoe Tong Hin, Liem King Hien, Lie Tiang Pik, Tjan Tok Gwan, Tan Thoan Kie, Pwa Tjing Hwie, Tan Bing Bo, Sie Glimbong alias Sie Tjwan Liat, Liem Thaij Thjwan dan Lie Eng Hok—yang dibuang ke Tanah Merah Boven Digoel pada 1927. Yang paling dikenal di antara mereka belakangan adalah Liem Thaij Thjwan dan Lie Eng Hok. Nama keduanya tercatat dalam buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) yang disusun Sam Setyautama.

Para Tionghoa Nasionalis yang Dibuang ke Boven Digoel

Melalui koran-koran lawas, seperti Kaoem Muda dan Pewarta Deli, Paul Tickell mendapatkan data bahwa orang-orang Tionghoa ini, sebelum dibuang ke Boven Digoel kebanyakan pekerjaannya adalah pedagang. Dari nama-nama yang berhasil ditelusurinya itu, umumnya adalah anggota PKI di sekitaran Cepu, Blora dan Bojonegoro. Usia paling tua ketika di buang sekitar 43 tahun, yakni Pwa Tjing Hwie, bekerja sebagai pedagang di Tumpang, dekat Malang, Jawa Timur. Paling muda adalah Tan Bing Bo, berumur 20 tahun ketika dibuang ke Digoel. Ia juga pedagang di Malang.

Hampir semuanya tercatat sebagai anggota PKI angkatan 1926. Mereka adalah angkatan Partai Komunis Indonesia yang saat itu masih berteman baik dengan orang-orang Islam, beberapa ulama lokal bahkan menjadi tokoh penggerak perlawanan bersenjata yang diadakan oleh PKI pada 1926.

Data yang didapat oleh Paul Tickell, menunjukkan bahwa ada seorang Tionghoa bernama Liem Thay Tjwan dibuang ke Digoel pada usia 36 tahun. Ia ditangkap aparat hukum pemerintah kolonial di Surabaya. Karena menjadi anggota dan mempropagandakan PKI di Blitar. Ia pernah menjadi direktur di perusahaan dagang Javasch Handelmaatschappij di Surabaya sebelum dibuang ke Boven Digoel.

Data lain menyebut Liem Thay Tjwan kelahiran 9 Januari 1891 di Peterongan, Jombang, Jawa Timur,  pernah belajar di sekolah khusus Tionghoa THHK (Tiong Hoa Hwe Koan) di Mojokerto. Ia juga aktif di beberapa perkumpulan seperti Soen Thian Hwee, Tiong Hoa Keng Kie Hwee dan Po Lam Hwee Yoe.

Liem Thay Tjwan mulai mengenal komunisme sejak menetap di Surabaya. Jejaknya dalam perkembangan komunisme di Hindia Belanda dimulai ketika itu usianya baru 20 an. Yaitu sejak masuk perkumpulan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV). Setelah organisasi itu bubar, dia terlebih dahulu masuk Sarekat Rakyat sebelum akhirnya masuk Partai Komunis Indonesia .

Liem dikenal sebagai seorang yang giat mempropagandakan PKI. Meski ia tidak menyetujui Revolusi Bolshevik di Rusia. Ia juga sempat vakum di PKI sejak 1923 dan tinggal di Blitar. Kemudian setelah November 1926 ditangkap lalu dibuang ke Digoel.

Seperti halnya orang Tionghoa yang gemar berdagang, di pembuangan Liem juga sempat berdagang bahkan buka toko di sana. Sayang nasib baik tidak memihaknya. Ia bangkrut. Ketika ada pembebasan terhadap orang buangan di Boven Digoel pada 1932, Liem termasuk yang dibebaskan. Ia pun kembali ke Jawa. Sempat tinggal di Solo pada 1930 an. Setelah itu Liem menghilang, seakan ditelan bumi, tidak ada kabar sama sekali.

Ada pula sosok Tionghoa lain yang berasal dari Banten dan dibuang ke Digoel yaitu Lie Eng Hok. Menurut Yunus Yahya, dalam buku Peranakan idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (2002), ia dianggap sebagai otak pemberontakan PKI Banten. Lie Eng Hok, laki-laki kelahiran Balaraja, Tangerang 7 Februari 1893, setelah pemberontakan PKI di Banten gagal kemudian kabur ke Semarang bersama keluarganya. Sebelum ditangkap ia adalah pedagang buku di Pasar Johar. Ia berperan menjadi kurir antar kaum pergerakan di Semarang.

Setelah ditangkap di Semarang ia pun dibuang ke Boven Digoel. Lie Eng Hok hanya lima tahun di Digoel dari 1927 hingga 1932. Selama di Boven Digoel, Lie menolak bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda. Lie lebih memilih menjadi tukang sol sepatu. Setelah dibebaskan dari Digoel, Lie kembali ke Jawa dan menekuni kembali bisnis buku bekasnya.

Ketika Republik Indonesia sudah berdiri, Lie Eng Hok juga ikut serta dalam revolusi kemerdekaan. Lie yang meninggal di Semarang, 27 Desember 1961, diakui sebagai Perintis Kemerdekaan Indonesia sebelum meninggal, berdasarkan SK Menteri Sosial RI No. Pol. 111 PK tertanggal 22 Januari 1959. Status itu membuatnya berhak menerima tunjangan Rp 400 sebulan.

Bahkan KODAM IV Diponegoro, melalui Surat Pangdam IV Diponegoro No.B/678/X/1986, memindahkan kerangka Lie Eng Hok yang semula di pemakaman umum ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.

Kemudian ada Lie Tiong Pik, yang adalah orang Tionghoa dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan kota Blora. Menurut catatan buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, pada saat pemakamannya di tanggal  22 Maret 1965, sepuluh ribu orang datang melepas Lie Tiong Pik. Peti matinya ditutup bendera merah putih dan dimakamkan dengan upacara militer.

Lie Tiong Pik yang lahir pada 1888 ini hidup di Cepu, sebagai pemilik toko kecil, sebelum dan sesudah pembuangannya ke Digoel. Ketika banyak orang Indonesia takut pada militer Jepang di masa pendudukan, ia justru terlibat gerakan anti-Jepang. Hingga dirinya harus masuk bui di Semarang.

Ketika di bui, harta benda jerih payah berdagangnya ludes dirampok. Ia juga ikut terlibat dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Tak heran jika orang-orang di Blora dan Cepu mengenalnya sebagai pejuang.

Kenyataan yang harus diterima, bahwa mereka, kaum Tionghoa ini secara nyata adalah bagian dari pergerakan nasional. Jauh sebelum Indonesia merdeka dan bahkan Orde Baru memegang kekuasaan, orang-orang Tionghoa anggota PKI ini sudah berjuang melawan Belanda. Bahkan ketika sebagian dari mereka harus menerima resiko dibuang ke wilayah terpencil di Boven Digoel, Papua. [S21]