Koran Sulindo – Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok boleh jadi membutuhkan energi lebih banyak daripada biasanya pada hari-hari belakangan ini. Ia memang telah menjalani cuti sebagai Gubernur DKI Jakarta, karena harus berkampanye terkait pencalonan dirinya sebagai gubernur lagi pada pemilihan kepala daerah, Fevruari 2017 mendatang. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya semasa aktif sebagai gubernur berbuntut panjang dan tampaknya membutuhkan energi ekstra untuk menghadapinya. Apalagi, ia juga harus menjalani kampanye.

Ia dilaporkan oleh sejumlah pihak terkait ucapannya saat melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Dalam kesempatan itu, di hadapan masyarakat dan jajaran stafnya, Ahok mengatakan soal satu ayat di dalam Kitab Suci Alquran, yang video rekamannya diunggah ke YouTube oleh staf Ahok sendiri dan kemudian menjadi viral.

Banyak pihak dari kalangan umat Islam merasa tersinggung dengan pernyataan Ahok tersebut. Bahkan, mereka menilai Ahok telah melakukan penistiaan agama. Mereka pun melaporkan Ahok ke kepolisian.

Yang menilai Ahok seperti itu bukan hanya sebagian umat Islam di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah lain. Tak hanya itu. Mereka juga kemudian menggelar aksi untuk menyatakan perasaan ketersinggungan mereka. Di Jakarta, puluhan ribu orang, bukan hanya umat Islam, pada 4 November 2016 turun ke jalan untuk mendesak aparat hukum segera memeriksa Ahok terkait dugaan penistiaan agama itu. Peserta aksi di Jakarta pun bukan hanya warga Jakarta dan sekitarnya, tapi juga banyak dari daerah lain, seperti dari Malang, Medan, Riau, dan Padang.

Meski diikuti puluhan ribu orang, aksi itu sangat tertib dan menyejukkan sampai sehabis magrib. Aksi itu baru diwarnai kericuhan ketika malam mulai menyelimuti Jakarta—suatu pilihan waktu yang biasanya memang digunakan para penyusup untuk mengacaukan aksi damai dan diduga kekacauan itu juga dilakukan oleh penyusup.  Akibatnya, sejumlah mobil dibakar dan ratusan orang luka-luka serta ada satu orang meninggal dunia akibat kericuhan itu—meski peyebab pastinya belum diketahui.

“Kalau saya lihat, demo ini terpicu oleh beberapa hal.Pertama: kelompok yang memang dari awal tidak suka terhadap gaya bicara Basuki Tjahaja Purnama.Kedua: kelompok yang terprovokasi atas nama penistaan agama. Ketiga: kelompok yang punya agenda khilafah,” kata Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian dalam dalam acara di sebuah stasiun televisi.

Sebelumnya, aksi yang mengangkat persoalan yang sama juga telah dilakukan di Jakarta, 14 Oktober 2016. Meski tak sebanyak aksi 14 November, peserta ada ribuan orang juga. Padahal, pada 10 Oktober 2016, Ahok telah mengatakan permmohonan maafnya terkait soal itu dan mengatakan dirinya tak pernah berniat untuk menistakan Alquran.

“Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau apa,” kata Ahok.

Permintaan maaf itu diterima banyak kalangan umat Islam. Namun, kata sebagian dari mereka, permintaan tersebut tak serta-merta menghilangkan unsur pidana dari perkataan Ahok itu.

Selain pemicu yang disebutkan Kepala Polri di atas, ada yang menilai, aksi-aksi yang terjadi tersebut tak bisa dilepaskan dari aspek politik, khususnya yang menyangkut pemilihan kepala daerah. Ini bisa dilihat dari “serangan-serangan” terhadap Ahok yang dilakukan bahkan jauh sebelum terjadinya aksi-aksi tersebut.

Pada 3 Oktober 2014, misalnya, adaaksi demonstrasi dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) di depan kantor DPRD Jakarta.FPI menolak Ahok dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta. Aksi tersebut berlangsung ricuh. Sejumlah poilsi dan pegawai Pemprov DKI Jakarta terluka. Akibatnya, Ketua DPD FPI Jakarta, Habib Ali Alatas atau Habib Selon, dipidana karena dituding sebagai provokator.

Setelah itu, pada 10 November 2014, FPI kembali berunjuk rasa menolak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, Ahok yang berstatus sebagai pelaksana tugas gubernur akan dilantik secara resmi pada 19 November 2014. Massa FPI beramai-ramai bernyanyi menyatakan penolakannya Jakarta dipimpin Ahok. Mereka bahkan dengan emosi meminta agar Ahok keluar dari Jakarta. “Usir Ahok dari Jakarta,” kata peserta demonstrasi itu.

Pada 2 Desember 2014, massa FPI yang bergabung dengan beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya di bawah bendera Gerakan Massa Jakarta (GMJ)kembali berdemonstrasi di depan gedung DPRD DKI Jakarta. Mereka menuntut Ahok lengser dari jabatannya.

“Kami siap lengserkan Ahok.Gua enggak mau tahu, Ahok harus turun,” ujar Ketua FPI Habib Rizieq.

Dalam aksinya, Rizieq didampingi Fahrurozi yang digadang-gadang sebagai gubernur tandingan. Saat berorasi, Rizieq menyatakan membuat Presidium Penyelamat Jakarta.

“Hari ini, kita adakan rapat akbar Jakarta. Mari kita sukseskan musyawarah umat Islam. Kami ingin Ibu Kota berada di situasi yang tidak berbahaya. Kita tidak ingin murka Allah, karena itu kita tidak menyia-nyiakan, kita membentuk Presidium Penyelamat Ibu Kota Jakarta,” tutur Rizieq saat itu.

Sebagai Ketua Presidium Penyelamat Ibukota Jakarta, GMJ menunjuk Ketua Umum Front Betawi Rempug (FBR) Munawi Asli. Sejumlah nama seperti Rhoma Irama, Fahrurozi, diklaim masuk menjadi anggota presidium itu.

Tak hanya membentuk Presidium, GMJ dalam aksi itu juga melantik anggota FPI Fahrurozi Ishaq sebagai Gubernur DKI Jakarta tandingan. “Dalam waktu lima menit, dengan ini, menimbang dan memutuskan, mulai hari ini di hati kita punya gubernur rakyat Kiai Haji Fahrurozi Ishaq. Jadi, Ahok buang saja ke bak sampah. Ditetapkan 1 Desember 2014, Senin, jam 11.05 di depan Gedung DPRD. Tertanda seluruh anggota presidium,” kata Ketua Presidium Penyelamat Jakarta Munawi di depan Gedung DPRD Jakarta.

Ahok juga kemudian dituding sejumlah pihak, bukan hanya umat Islam, terlibat dalam sejumlah kasus yang merugikan keuangan negara, mulai dari tudingan korupsi pengadaan bus Transjakarta, kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras,sampai soal Reklamasi Teluk Jakarta. Soal dugaan korupsi di pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras dimulai dari laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menyatakan prosedur pembelian lahan tersebut menyalahi aturan dan diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp 191 miliar. Sampai sekarang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus menyidik kasus ini.

Saat Ahok menyatakan diri akan maju kembali di Pilkada DKI Jakarta melalui jalur independen bersama dengan Kepada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta Heru Budi Hartono pada 7 Maret 2016, banyak pihak juga mencoba “mengguncang” keberadaan mereka, termasuk dari partai politik. Apalagi, kemudian diketahui, Sekretariat Teman Ahok—organisasi yang awalnya dibuat untuk mengusung Ahok sebagai calon gubernur dari jalur perseorangan—berada di atas lahan Pemprov DKI Jakarta.

Terkait hal ini juga ada pemberitaan soal KTP palsu yang dikumpulkan oleh Teman Ahok. Setelah itu muncul juga isu adanya aliran dana sebesar Rp 30 miliar dan dana operasional sebesar Rp 12 miliar dari konglomerat ke pundi-pundi Teman Ahok.

Yang juga dipersoalkan adalah proyek reklamasi Teluk Jakarta. Kasus ini semakin ramai dibicarakan ketika Tim Satuan Tugas KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap anggota DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi bersama seorang pegawai swasta pada 31 Maret 2016. Keduanya diduga menerima uang pemberian dari karyawan PT Agung Podomoro Land Trinanda Prihantoro. Pemberian dugaan suap itu terkait terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Wilayah Zonasi Pesisir Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) dan Raperda Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Selanjutnya, KPK menetapkan tiga tersangka: Mohamad Sanusi, Presiden Direktur PT Agung Podomoro LandAriesman Widjaja, dan Trinanda Prihantoro. Ahok pun dituding ikut terlibat dalam perkara suap tersebut.

Melihat fenomena yang terjadi belakangan ini, Presiden Kelima Republik Indonesia yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menilai, proses berdemokrasi di Indonesia sedang mengalami sebuah cobaan.”Karena ada di antara kita sendiri yang sedang berupaya untuk tidak menerima perbedaan. Seperti yang saya katakan, kita warga Indonesia tidak membedakan masalah agama, ras, atau siapa dia,” kata Megawati di Jakarta, 29 Oktober 2016.

Ia pun mengimbau agar rakyat Indonesia bersatu. “Mari bersatu.Apapun yang terjadi, mari lakukan secara damai di Bumi Indonesia. Tolong pesan ini disampaikan kemana-mana,” ujarnya lagi. [Nursatyo/Purwadi]