Koran Sulindo – Kapal De Zeven Provincien adalah sebuah kapal militer besar milik Hindia Belanda yang dijuluki “kapal hukuman” karena sering menjadi tempat penempatan bagi perwira Belanda yang tidak disiplin dan tidak cakap. Kapal ini dianggap sebagai tempat bagi mereka untuk memperbaiki diri.
Kapal ini memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam peristiwa pembajakan oleh para awak kapal berkebangsaan Indonesia pada 5 Februari 1933. Pembajakan tersebut dipimpin oleh seorang kelasi Indonesia bernama J.K. Kawilarang (no. stb. 766) dan terjadi di pelabuhan Aceh.
Latar Belakang Pemberontakan
Dilansir dari beberapa sumber, penyebab utama dari pemberontakan tersebut adalah diskriminasi rasial yang dilakukan oleh pihak Belanda terhadap para awak Indonesia. Terdapat perbedaan besar dalam hal gaji dan pangkat antara awak Indonesia dan Belanda.
Selain itu, kebijakan pemotongan gaji yang tidak adil bagi kelasi Indonesia juga menjadi pemicu ketidakpuasan. Perwira Belanda di atas kapal De Zeven Provincien sering merendahkan awak Indonesia, yang semakin memperkeruh suasana.
Kapal ini, yang dibuat pada tahun 1908 dan mulai beroperasi pada 1910, memiliki bobot 6.530 ton dengan panjang 101,50 meter dan lebar 17,10 meter. Dengan persenjataan berat, ia dianggap sebagai salah satu kapal terbesar di Hindia Belanda.
Meskipun dilengkapi dengan meriam terberat di wilayah itu, kapal ini mengalami kelemahan, terutama dalam hal kecepatan tembak karena panel bidik yang buruk, serta tidak memiliki sistem pertahanan udara.
De Zeven Provincien juga berfungsi sebagai kapal latih bagi pelaut pribumi yang sebelumnya belajar teori di Kweekschool voor Inlandshe Schepelingen (KIS) Makassar.
Pembajakan oleh Kawilarang dan Awak Indonesia
Pada awal 1933, De Zeven Provincien berangkat dari pelabuhan Surabaya menuju Uleele, Aceh, dengan membawa 141 orang Eropa, 256 orang pribumi, dan 80 siswa KIS. Kapal ini berada di bawah komando Kapten Einkenboom dalam misi pelayaran latihan dan unjuk kekuatan.
Pada 5 Februari 1933, ketika para perwira Belanda sedang berpesta di daratan, para kelasi Indonesia yang dipimpin oleh J.K. Kawilarang melancarkan pembajakan dan membawa kapal tersebut menuju Jawa.
Namun, di luar dugaan, seorang perwira telegrafis Belanda yang berada di kamar markonis berhasil mengirimkan pesan darurat kepada stasiun radio di pelabuhan Jakarta dan Surabaya. Hal ini membuat pemerintah Belanda segera mengirimkan kapal perang dan pesawat untuk mencegah pelarian para pembajak.
Ketika kapal mencapai Selat Sunda, pesawat-pesawat Belanda memberikan ultimatum kepada para pembajak untuk segera menyerah. Para pembajak mengirim pesan bahwa mereka hanya ingin memprotes kebijakan pemotongan gaji dan penangkapan rekan-rekan mereka, menegaskan bahwa tidak ada korban cedera di kapal.
Namun, pemerintah Belanda menolak negosiasi dan tetap memerintahkan mereka untuk menyerah tanpa syarat.
Penyerangan dan Dampaknya
Pada 10 Februari 1933, ketika ultimatum tidak diindahkan, pesawat Dornier (D11) Belanda menjatuhkan bom 50 kilogram dari ketinggian 1.200 meter ke atas geladak depan kapal, menyebabkan kerusakan parah.
Serangan ini menewaskan 19 orang (termasuk 3 orang Eropa dan 16 pribumi) serta melukai 18 lainnya, beberapa di antaranya luka berat.
Para pembajak yang masih hidup kemudian ditangkap dan ditahan di Pulau Onrust selama 7 bulan sebelum dipindahkan ke Sukalila. Pemimpin pembajakan, J.K. Kawilarang, dijatuhi hukuman penjara 18 tahun, sementara salah satu kelasi Belanda, Boshart, dihukum 16 tahun.
Para kelasi lainnya, yang berjumlah 19 orang, dihukum antara 4 hingga 18 tahun, dengan banyak dari mereka diasingkan ke Pulau Onrust hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942. Banyak dari mereka yang akhirnya meninggal di pulau tersebut.
Jenazah para pelaut yang tewas kemudian dipindahkan dan dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 10 Februari 1958.
Pembajakan kapal De Zeven Provincien merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah perjuangan pelaut Indonesia melawan diskriminasi kolonial. Meskipun pemberontakan ini berakhir dengan kekalahan dan penindasan, tindakan berani yang dilakukan oleh J.K. Kawilarang dan para kelasi Indonesia lainnya menunjukkan kemampuan dan keberanian pelaut pribumi dalam melawan ketidakadilan.
Peristiwa ini menjadi simbol dari perlawanan terhadap sistem kolonial yang menindas serta memperlihatkan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan pribumi terhadap perlakuan tidak adil dari pemerintah Belanda. [UN]