Koran Sulindo – Kampanye pemilihan presiden (pilpres) 2019 resmi dimulai 23 September lalu dan akan berakhir pada bulan April tahun depan.
Kedua kubu, calon presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo dan lawannya Prabowo Subianto, sudah mulai berkampanye menjajakan janji-janji politik mereka kepada calon pemilih.
Hampir satu bulan masa kampanye berjalan, saya menemukan banyak kekeliruan berlogika dalam argumen-argumen politik kedua kubu. Pengamatan saya berdasarkan pengalaman menjadi dosen yang telah memeriksa logika argumen dalam esai mahasiswa dan menjadi juri lomba debat selama 8 tahun.
Kampanye Sarat Pesan dengan Logika Salah
Kekeliruan berlogika, atau logical fallacy bisa kita maknai sebagai kesalahan dalam penalaran yang sering kali muncul karena ketidakmampuan seseorang menghasilkan pernyataan yang memenuhi kaidah argumentasi logis dalam proses penyimpulan kebenaran.
Baik kubu Jokowi dan Prabowo sering kali mengeluarkan pernyataan dengan logika yang salah.
Jokowi dalam pidatonya pada 8 April 2018 berujar: “Sekarang isunya ganti. Isu kaos. Ganti presiden 2019. Ya kan? Pake kaos. Masak kaos bisa ganti presiden? Yang bisa ganti presiden itu rakyat!”
Dalam pernyataan tersebut, Jokowi mereduksi ‘kaos’ dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang akan secara fisik melakukan penggantian terhadap dirinya. Padahal para pengusung usulan gerakan #2019gantipresiden hanya memaknai kaos sebagai sebuah medium fisik semiotika politik. Jokowi salah menginterpretasi, baik sengaja atau tidak sengaja, pokok utama argumentasi sehingga memudahkan dirinya untuk menyerang lawan.
Prabowo juga tidak luput dari blunder.
Dalam sebuah forum Prabowo berorasi dengan pernyataan: “Elite kita ini merasa bahwa 80% tanah seluruh negara dikuasai 1% rakyat kita, tidak apa-apa. Bahwa hampir seluruh aset dikuasai 1%, ndak apa-apa. Bahwa sebagian besar kekayaan kita diambil ke luar negeri, tidak tinggal di Indonesia, tidak apa-apa. Ini yang merusak bangsa kita, saudara-saudara sekalian”
Titik kekeliruan yang menjadi fokus di sini bukan hanya perihal ‘1% menguasai 80% tanah Indonesia’, tetapi juga perihal Prabowo yang membingkai sikap ‘elite’ pemerintah dengan kata ‘tidak apa-apa’. Artinya ‘elite’ tersebut tidak berkeberatan atau berbuat apa-apa atas kerugian negara. Apakah benar para elite tidak peduli? Jika mutlak benar pernyataan tersebut, Prabowo bisa saja tak melakukan kesalahan berlogika. Tetapi, kepedulian pemerintah terhadap aset negara masih dalam ranah perdebatan yang tak selesai, sehingga tidak boleh disampaikan sebagai kemutlakan.
Sesat Pikir yang Menular
Tidak hanya oleh para pemeran utama, kekeliruan berlogika juga menjangkiti para pendukung.
Salah satu pendukung Prabowo mengungkapkan ketidakpercayaannya pada data BPS karena BPS adalah bagian dari pemerintah. Pernyataan ini mengandung kekeliruan berlogika karena hanya menilai keabsahan data dengan hanya berpatokan pada asosiasi dari kelompok tersebut (BPS sebagai insitusi di bawah pemerintah) dan bukan pada metodologi penelitiannya.
Lalu, seorang simpatisan petahana berkomentar di Instagram tentang demonstrasi terhadap kebijakan pemerintah, seorang netizen menulis :
“Duh. Daripada teriak-teriak di jalan, mending kuliah yang bener. Ngerti isu nggak? IP jeblok juga kan. Kasihan orang tuanya susah-susah biayain kuliah.” Sesat pikir di sini adalah pembicara mengalihkan fokus argumentasi dari ‘boleh tidaknya demonstrasi’ ke ‘mending kuliah’. Hal ini karena jika perdebatan difokuskan ke hukum boleh tidaknya demontrasi dilakukan, si pembicara tak memiliki posisi yang kuat.
Bentuk Salah Logika yang Sering Dijumpai pada Kampanye Pilpres
Jenis-jenis kesalahan berpikir jumlahnya mencapai ratusan. Namun dalam kampanye pilpres Indonesia, jenis kesalahan logika yang sering terjadi adalah:
Red herring fallacy
Red herring adalah ikan merah yang baunya menyengat sehingga bisa mengalihkan perhatian. Jadi Red herring fallacy terjadi ketika pembicara mengalihkan fokus argumentasi dari inti perdebatan agar argumentasi lebih gampang dimenangkan. Contohnya seperti yang terjadi pada pernyataan “mending kuliah daripada ikut demo di jalan” di mana inti perdebatan seharusnya adalah “boleh tidaknya demonstrasi”
Strawman fallacy
Sesat pikir strawman atau orang-orangan jerami adalah jenis kekeliruan logika yang mereduksi makna argumen lawan diskusi sehingga lebih mudah diserang seperti orang-orangan dari jerami. Contohnya pernyataan Prabowo yang merubah makna ‘kemunduran ekonomi’ era Jokowi menjadi frasa ‘kehancuran perekonomian’. Pernyataan ini mengandung potensi kekeliruan berlogika karena kemunduran dalam beberapa sendi ekonomi Indonesia tak menunjukkan definisi kehancuran ekonomi sebuah negara, termasuk Indonesia.
Ad hominem fallacy
Sesat pikir yang menyerang pribadi lawan dan bukan pada esensi argumentasinya. Contohnya ketika seseorang mengaitkan kemampuan memimpin seseorang dengan usianya. Padahal hasil penelitian menunjukkan bahwa keefektifan memimpin tak memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan umur.
Appeal to emotion fallacy
Ketika pembicara mengungkit hal-hal emosional yang tidak relevan dengan argumentasi utama. Contohnya ketika keberpihakan Jokowi kepada rakyat disimpulkan dari gaya berpakaian yang sederhana atau latar belakang sosialnya.
False dichotomy fallacy
Ketika dua pilihan dihadirkan sebagai sesuatu yang harus dipilih sementara opsi yang mengakomodasi keduanya masih mungkin diambil atau diperdebatkan. Misalnya pernyataan ‘kalau Anda Jokowi berarti Anda anti-Prabowo’. Pernyataan tersebut sesat pikir karena bisa saja seseorang menyukai beberapa ide Prabowo walaupun setelah menimbang dengan matang orang tersebut memilih Jokowi, tanpa harus anti terhadap ide Prabowo.
Faulty generalisation fallacy
Kekeliruan ini terjadi ketika seseorang mengambil kesimpulan dari contoh yang tidak signifikan lalu mengambilnya sebagai dasar generalisasi secara serampangan. Contohnya adalah seperti dalam kalimat ‘Prabowo memilih Sandiaga Uno karena Pak Prabowo peduli generasi muda’ atau ‘Jokowi memilih Ma’ruf Amin karena Jokowi peduli ulama”. Dua pernyataan tersebut rentan kekeliruan berlogika karena bisa saja pilihan ini adalah kompromi politik dan tidak serta merta bisa dimaknai sebagai kepedulian terhadap segmen masyarakat tertentu secara nasional atau menyeluruh. Contoh lain yang berpotensi keliru adalah ketika Sandiaga Uno mengambil contoh menipisnya ukuran tempe menjadi seukuran kartu ATM sebagai indikator kondisi perekonomian masyarakat Indonesia.
Tidak hanya di Indonesia
Tak hanya di Indonesia, kekeliruan logika juga banyak terjadi di kancah politik dunia.
Debat pilpres Amerika Serikat tahun 2016 dipenuhi kekeliruan logika yang memanfaatkan bias kognitif pemilih.
Slogan Make America Great Again (Buat Amerika Jaya Kembali) yang digaungkan oleh Donald Trump bersandar pada good old days fallacy (kekeliruan masa lalu yang indah) atau declinism bias fallacy (kekeliruan bias kemunduran) dimana Amerika dicitrakan mengalami kemunduran ekonomi atau krisis yang parah padahal angka-angka menunjukkan begitu banyak perbaikan dalam berbagai sendi kehidupan di Amerika termasuk di bidang ekonomi.
Lawan Trump, Hillary Clinton juga melakukan kesalahan berlogika dalam kampanyenya.
Dalam sebuah pidato, Clinton membingkai argumennya bahwa hanya ada dua pilihan yang dimiliki masyarakat Amerika yaitu 1) Amerika yang “merasa ketakutan, kurang aman, dan tak terbuka” dengan 2) Amerika yang percaya diri dan kuat akan hidup menjaga keamanan dan mengembangkan ekonomi”.
Hillary mengasosiasikan Trump dengan pilihan yang pertama. Pernyataan ini merupakan bentuk false dilemma fallacy (kekeliruan dilema) karena pilihan ketiga bisa saja dimunculkan.
Apa yang Bisa Dilakukan
Diperlukan kesadaran kolektif tentang fenomena kekeliruan berlogika di panggung politik. Sesat pikir dalam kampanye politik berbahaya karena bias kognisi para pemilih bisa menjauhkan mereka dari kebenaran argumen yang disampaikan. Dengan logika yang benar pemilih dapat memilah yang mana argumentasi sehat dan yang mana argumentasi cacat sehingga proses ideal yang diinginkan dalam kampanye politik bisa tercapai.
Pemilih harus mampu membaca logika dalam data sehingga tak terjebak dalam argumentasi politis yang tujuannya hanya memenangkan suara pemilih, bukan mengungkap kebenaran.
Tunggu. Apakah Anda mendeteksi kekeliruan berlogika jenis false dichotomy dalam kalimat terakhir saya di atas? [Ahmad Junaidi; pengajar di Universitas Mataram dan kandidat doktor di Monash University, Australia]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia]