Koran Sulindo – Presiden Amerika Serikat Donald Trump, pekan lalu, mengumumkan negaranya mundur dari kesepakatan iklim Paris 2015. Tentu saja langkah Trump ini mengejutkan banyak pihak, termasuk negara-negara sekutu. Trump beralasan kesepakatan Paris membuat Amerika Serikat kehilangan produk domestik bruto sebesar US$ 3 triliun dan 6,5 juta lapangan kerja.
Kesepakatan Paris mengikat Amerika Serikat dan 187 negara, termasuk Indonesia, untuk menjaga kenaikan temperatur global di bawah dua derajat Celcius dan berupaya membatasinya pada 1,5 derajat Celcius. Kesepakatan itulah yang disebut Trump memincangkan, merugikan, dan memiskinkan Amerika Serikat.
Keputusan Trump ini membuat kita terkenang pada sosok Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore ketika menyambut kesepakatan iklim Paris pada 2015. Saking terkesannya, ia bersama orang-orang sepikiran bahkan bertepuk tangan antusias menyambut hasil Konferensi Perubahan Iklim ke-21 (COP 21) di akhir tahun 2015 itu. Setelah keputusan Trump itu, sulit membayangkan reaksi Al Gore.
Jauh sebelumnya, dengan alasan yang sama, Trump juga pernah membatalkan keikutsertaan Amerika Serikat dari Kemitraan Trans Pasifik (TPP). Pakta perdagangan tersebut juga dianggap akan membawa kehancuran kepada negeri Uwak Sam. Ia akan tetap menerima kerjasama perdagangan secara bilateral jika menguntungkan negaranya.
Apa yang dilakukan Trump itu semata-mata sebagai penegasan demi memenuhi janji kampanyenya bertajuk “America First”. Karena itu pula ia dituduh sebagai sosok yang berpandangan chauvinisme atau nasionalis sempit. Trump bahkan disamakan dengan orang-orang yang beraliran neo-Nazi. Benarkah? Dan apa sebenarnya Nazi itu?
Soal ini, profesor dari Universitas Negeri Montclair, Amerika Serikat, Grover Carr Furr, punya pendapat Nazisme merupakan gerakan kelompok terkaya dan terkuat di kalangan kapitalis. Gerakan ini juga mampu menggalang dukungan dari masyarakat kelas menengah dan sampai batas tertentu, mampu memobilisasi beberapa organisasi kelas buruh.
Pada dasarnya Nazisme merupakan bentuk lain dari kapitalisme. Dengan demikian, Trump tentu saja tidak mau membahas persoalan ekonomi di negerinya lantaran adanya kelas-kelas sosial yang saling menghisap. Kelas kapitalis menghisap kelas tertindas. Bung Karno acap menyebutnya sebagai exploitation de I’homme par I’homme – penghisapan manusia atas manusia.
Trump seringkali memaknai masyarakat tidak terdiri atas kelas-kelas sosial, melainkan hanya kaum elite dan penguasa. Itu sebabnya, demokrasi hanya dimaknai sebagai pemilihan umum (pemilu) secara rutin, sekalipun pemilu itu dikendalikan dan dikontrol oleh kelas berkuasa. Celakanya, pemilu demikian tetap dianggap sebagai esensi demokrasi.
Furr menggambarkan situasi Amerika Serikat sama seperti kondisi negara-negara Eropa ketika krisis keuangan melanda pada 1930-an. Apalagi kebangkitan gerakan sayap kanan itu tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, melainkan juga hampir di semua negara-negara Eropa. Persis ketika Hitler dianggap sebagai sosok yang akan membawa perbaikan di Jerman. Padahal Nazisme, rasisme, xenofobia dan anti-imigran hanya mengalihkan perhatian atas kesenjangan sosial dan eksploitasi terhadap kaum buruh. Dengan kata lain, orang semacam Trump dan Hitler hanya ingin mencari kambing hitam.
Bung Karno menggambarkan negara yang demikian termasuk kelompok negara-negara The Old Established Forces (Oldefos). Kelompok negara-negara kapitalis, imperialis yang diwakili Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain. Kelompok negara-negara penjajah dan ciri-cirinya hingga hari ini masih tetap sama.
Lalu, apakah benar neo-Nazi ada di Amerika Serikat? Sebuah tulisan di The Guardian menyebutkan jumlah ultra-nasionalis kulit putih atau neo-Nazi memang masih kecil. Dalam pertemuan neo-Nazi di Kentucky, April lalu, misalnya, hadir sekitar 150 orang dan separuhnya merupakan anggota Partai Buruh Konservatif. Mereka tidak mau disebut sebagai Nazi, tapi mengaku terinspirasi rezim fasis atau nasionalis sosialis dari berbagai negara.
Berdasarkan beberapa fakta tersebut, kendati Trump mengkampanyekan kebijakannya itu demi Amerika Serikat, tapi nampaknya tidak akan membawa perbaikan apapun kepada rakyatnya. Ia memang mengklaim karena kebijakannya itu perekonomian Amerika Serikat mulai tumbuh. Kapitalisasi saham disebut bertambah US$ 3,3 triliun, lapangan pekerjaan bertambah satu juta dan kerja sama ekonomi dengan berbagai negara mencapai US$ 350 miliar.
Trump boleh saja mengklaim, meski faktanya berkata lain. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat hanya 1,2% secara tahunan pada triwulan I 2017. Justru turun dibandingkan triwulan IV 2016 yang mencapai 2,1%. Sementara lapangan pekerjaan hanya menyerap 805 ribu tenaga kerja, dan data ini termasuk pada era Barack Obama.
Krisis keuangan dunia yang semakin mendalam membuat rakyat akan semakin menderita sehingga mengharapkan kedatangan sosok “juru selamat”. Trump dengan slogan “America First” seolah-olah datang membawa “keselamatan” itu, padahal ia datang dengan pentungan. Itu sebabnya, Furr sejak 2012 telah mengingatkan: fasisme abad ke-21 telah di ambang pintu kita! [Kristian Ginting]