Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.

Koran Sulindo – Krisis energi sudah di depan mata, termasuk di Indonesia. Indonesian Petroleum Association (IPA) mengungkapkan, ancaman krisis energi buat Indonesia semakin nyata dari hari ke hari. Permintaan energi pada tahun 2010 tercatat sebesar 3,3 juta barel oil equivalent per day (boepd) dan diperkirakan pada tahun 2025 meningkat menjadi 7,7 juta boepd. Padahal, pasokan energi—terutama dari minyak dan gas–relatif stagnan.

Sejak tahun 2000-an, Indonesia sebenarnya sudah mulai membicarakan upaya melepaskan diri dari sumber energi fosil atau minyak bumi. Langkah konkretnya pun telah dilakukan dalam upaya pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Namun, sejauh ini, setelah berjalan bertahun-tahun, penggunaan EBT di Indonesia baru mencapai 5%, karena ketergantungan pada bahan bakar fosil masih tinggi, 95%. Padahal, Indonesia sangat kaya sumber EBT dan belum dimanfaatkan secara maksimal.

Yang bikin miris, di tengah kondisi yang memprihatinkan itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan, dari pemeriksaan kinerja atas pengembangan EBT untuk mewujudkan ketahanan energi nasional, ada 112 proyek pembangkit EBT berkapasitas 7,25 MW dalam kondisi rusak. Nilai proyek tersebut mencapai Rp 467,078 miliar.

Sejak 2011 hingga 2017, BPK mencatat,  total ada 708 proyek EBT untuk pembangkit listrik yang dikerjakan oleh independent power producer (IPP), dengan kapasitas mencapai 48,03 MW. Nilainya mencapai Rp 3,155 triliun. Tapi, ternyata, yang telah diserahterimakan kepada pemerintah dalam Berita Acara Serah Terima (BAST) hanya sebanyak 566 proyek, dengan kapasitas 20,13 MW, senilai Rp 1,98 triliun. Itu artinya ada sebanyak 142 proyek dengan kapasitas 27,9 MW senilai Rp 1,17 triliun hilang percuma. Dari angka temuan itu kemudian diketahui, sebanyak 112 proyek pembangkit EBT berkapasitas 7,25 MW dalam kondisi rusak. Dari nilai pembangkit EBT yang rusak tersebut ternyata proyek senilai Rp 305 miliar dalam kondisinya rusak berat.

Informasi tersebut disampaikan BPK dalam “Seminar Nasional ‘Energi Baru Terbarukan: Antara Harapan dan Realita (Hasil Pemeriksaan BPK RI)’” yang berlangsung di Kantor Pusat BPK, Jakarta, pada 12 Desember 2017 lalu. Dalam seminar itu juga dipaparkan beberapa permasalahan lain di lapangan terkait pengembangan EBT, di antaranya soal belum ditetapkan produk hukum terkait perencanaannya. Adapun tujuan pemeriksaan oleh BPK itu adalah untuk menilai upaya pemerintah dalam mencapai target kontribusi EBT dalam Rasio Elektrifikasi (RE) dan Bauran Energi Nasional (BEN).

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana menjelaskan, pembangkit listrik EBT yang rusak itu kebanyakan disebabkan oleh bencana alam, misalnya longsor karena intensitas hujan yang tinggi. “Banyak yang seperti itu karena banjir atau longsor. Jadi, bukan sekadar rusak karena alatnya. Kalau itu mah rusak ringan. Yang kita bicarakan rusak besar, seperti kebawa longsor, kebawa banjir,” kata Rida.

Menurut Rida, bila rusaknya karena terbawa longsor, sudah terkubur, lebih baik membangun baru. “Jangan ngebayangin seperti di Jakarta kondisinya. Kalau di daerah, mau ke lokasi saja butuh waktu sampai empat jam,” tuturnya.

Pada tahun 2017 ini sebenarnya Direktorat Jenderal EBTKE sudah menganggarkan Rp 8,9 miliar agar 68 unit yang rusak bisa berfungsi normal kembali. Tapi, ternyat, kegiatan perbaikan belum bisa dilakukan karena tidak ada rekanan yang berminat mengikuti lelang yang dibuka Ditjen EBTKE. Padahal, lelang sudah dilakukan tiga kali dalam setahun.

Untuk tahun 2018 dianggarkan kembali kegiatan perbaikan 68 unit tersebut, yang nilainya nyaris dua kali lipat dari tahun 2017, yakni sebesar Rp 17,68 miliar. Kegiatan perbaikan ini akan dilakukan melalui kerja sama swakelola dengan melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk proyek pembangunan pembangkit tersebut, kata Rida, sepenuhnya berasal dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara. Tidak ada yang dari pihak swasta (IPP).

Pembangkit EBT sebanyak 142 unit yang menjadi temuan BPK tersebut, ungkap Rida lagi, rencananya juga akan diserahkan kepada pemerintah daerah (pemda). Namun, rencana itu belum terlaksana antara lain karena masih menunggu proses administrasi dengan pemda setempat, untuk menghibahkan aset pembangkit tersebut menjadi milik pemda.