Ilustrasi

Koran Sulindo – Istilah “Dwifungsi ABRI” pernah sangat populer di negeri ini. Istilah tersebut mulai keluar tak lama setelah Presiden Soekarno digulingkan dan militer mengambil alih kekuasaan. Sebenarnya, tujuan digunakannya istilah “Dwifungsi ABRI” itu adalah eufemisme dari militerisme, yang agak memalukan di mata dunia internasional.

Sejak menjadi mahasiswa tingkat awal sampai dengan tingkat akhir, saya bersama kawan-kawan amat-sangat tidak bisa menerima Dwifungsi ABRI. Kekuatan politik harus berada di tangan sipil.

Emir Moeis, Pendiri dan Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia

Bahkan, setelah selesai kuliah dan menjadi kontraktor di proyek-proyek pemerintah, saya tetap berpegang teguh pada prinsip tersebut. Gara-gara itu pula, saya sempat mengalami tidak lulus “penelitian khusus” atau litsus yang dilakukan penguasa setempat. Akibatnya, saya tidak boleh melaksanakan pekerjaan konstruksi di wilayah yang dianggap strategis oleh penguasa pada saat itu.

Masa itu telah lama lewat. Saya terlibat langsung saat gerakan reformasi mulai digulirkan, mulai dari melakukan berbagai demonstrasi di kampus sampai demonstrasi di gedung DPR/MPR.

Saya akhirnya juga menjadi angggota DPR/MPR. Walaupun saya dan sebagian kawan kaum nasionalis di parlemen bersikap sangat kritis ketika UUD 1945 akan diubah atau diamandemen, biar bagaimanapun saya tetap ikut bertanggung jawab atas keputusan MPR yang dipimpin oleh Amien Rais kala itu.

Setelah 15 tahun reformasi berjalan, saya merasakan kekecewaan yang mendalam melihat demokrasi kita akhirnya kebablasan, menjadi demokrasi Barat, dan para politisi sipil menjadi semakin tidak keruan dalam langkah-langkah politiknya. Ditambah lagi terasa tidak ada tokoh politik sipil yang kuat dan berwibawa untuk mengatasi kekacauan demi kekacauan seperti ini.

Terjadi pertentangan begitu mendasar di tengah bangsa kita sekarang ini, yang membelah masyarakat kita. Ini benar-benar sangat mengkhawatirkan. NKRI terancam bisa terbelah.

Sangat kasat mata terlihat dalam dunia maya, juga dalam pergaulan sehari-hari, pro dan kontra telah menjadi begitu tajamnya, di samping para politisi dan tokoh begitu rajinnya mencitrakakan dirinya, sehingga lupa fungsi utamanya, mengabdi kepada bangsa dan negaranya.

Sudah saatnya kaum politisi sipil, dengan segala kemampuan, kewibawaan, dan konsistensinya—tanpa memikirkan atau mencari, merebut, serta mempertahankan  kekuasaaan bagi dirinya dan kelompoknya—mengubah hidupnya, turun tangan memperbaki keadaan ini. Rasanya kinilah saat-saat terakhir yang krusial bagi kaum sipil, tokoh-tokoh sipil, politisi-politisi sipil, pemimpin-pemimpin sipil untuk segera membuat aksi nyata besar, mengubah keadaan, sebelum bangsa dan negara ini benar-benar terbelah.

Periode 2019 sangat menentukan, apakah kita bisa memperoleh para pemimpin yang mampu seperti itu, pemimpin-pemimpin sipil yang kuat dan berwibawa, yang sanggup menciptakan stabilitas politik di negeri ini. Bilamana tidak, dengan berurai air mata, kita akan melihat terbelahnya NKRI yang tercinta. Atau dengan berderai air mata pula, kita lebih baik  membawa kembali NKRI ini ke suatu sistem yang militeristis, seperti model Dwifungsi ABRI dulu. []