Berbicara mengenai cokelat, ternyata tak bisa dilepaskan dari Minahasa. Mengapa demikian? Karena, kabupaten yang letaknya sekitar 40 km sebelah selatan Manado, ibu kota Provinsi Sulawesi Utara itu, menjadi tempat kakao sebagai bahan pembuat cokelat untuk pertama kalinya masuk ke Tanah Air.
Menurut para sejarawan, kakao diperkenalkan oleh orang-orang Spanyol yang berkunjung ke Minahasa pada 1560. Kakao tersebut dibawa dari hutan-hutan tropis di Amerika Tengah dan di Amerika Selatan bagian utara.
Sebelum memperkenalkan kakao ke bumi Nusantara, mereka sudah mempopulerkannya terlebih dahulu di daratan Eropa. Pada pertengahan abad ke-16 beberapa pabrik pengolahan kakao diketahui telah berdiri di benua tersebut, seperti di Lisbon (Portugal), Genoa, Turin (Italia), dan Marseilles (Prancis).
Pamor kakao sebagai komoditas awalnya kalah dengan kopi dan teh. Pemerintah Hindia Belanda baru gencar mengembangkannya di abad ke-18. Di abad ke-19, seiring dengan meluasnya distribusi hingga mancanegara, produksi kakao mulai ditingkatkan.
Hingga awal abad ke-20, kakao belum menjadi bagian dari industri makanan dan minuman di Tanah Air. Produksi kakao dari seluruh perkebunan yang tersebar di seantero Hindia Belanda seluruhnya diekspor ke Eropa.
Barulah pada pertengahan abad ke-20 pabrik-pabrik pengolahan kakao bermunculan, seiring dengan meningkatnya produksi perkebunan kakao. Kakao yang tidak terserap oleh pasar ekspor akhirnya diolah di dalam negeri. Produksi kakao yang surplus kemudian diolah menjadi lemak kakao dan bubuk cokelat.
Kemudian, bubuk cokelat itu dijadikan sebagai bahan pembuat minuman, penciptaan rasa untuk kue dan roti. Ini terinspirasi dari apa yang dilakukan di Inggris, Jerman, dan Prancis.
Seperti di daerah Bandung, misalnya, yang menjadi salah satu dari pusat pengolahan kakao di Hindia Belanda, setelah C.J. van Houten mendirikan pabriknya di wilayah tersebut pada pertengahan abad ke-20.
Sebagai catatan, C.J. van Houten merupakan penemu cara mengekstrak biji kakao menjadi lemak kakao dan bubuk cokelat, pada 1828 di Amsterdam, Belanda.
Terkait dengan kepopuleran cokelat di Hindia Belanda, tentu tak bisa dilepaskan dari iklan-iklan yang menyebut cokelat punya khasiat tertentu, salah satunya meningkatkan stamina.
Selain itu, yang tak kalah menarik cokelat juga pernah menjadi simbol status sosial bagi mereka yang mengkonsumsinya. Minuman dari bubuk cokelat di era kolonial identik dengan minuman untuk kaum bangsawan.
Saat ini permintaan kakao terus meningkat di seluruh Asia, hingga menjadi yang terbesar kedua di dunia. Indonesia sendiri merupakan negara penghasil kakao terbesar di kawasan ini.
Namun, para petani kakao di Indonesia masih harus berjuang dengan suhu iklim yang meningkat, hasil panen yang rendah, dan berbagai penyakit tanaman.
Pasalnya, setiap wilayah di Indonesia memiliki cuaca yang berbeda. Total luas perkebunan kakao di Indonesia diperkirakan mencapai 1,5 juta hektare yang tersebar di Sulawesi, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, Papua, dan Kalimantan Timur.
Dari sebaran perkebunan kakao itu, sekitar 75 persen produksi kakao negara ini berada di Sulawesi. Sulawesi Selatan merupakan pemasok/produsen utama kakao Indonesia, diikuti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Kakao di Sulawesi Selatan ditawarkan dalam bentuk olahan biji kakao. [WIS]
Baca juga: