Jurus Pangkas Mengatasi Defisit Anggaran

Ilustrasi

Koran Sulindo – Untuk mengatasi defisit anggaran, pemerintah memangkas sejumlah dana kementerian dan lembaga. Masa darurat anggaran masih akan berlangsung cukup lama.

Darurat anggaran tampaknya makin menghantui pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Hal ini tecermin dari  Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Langkah-langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga, total anggaran yang dipotong dari APBN Tahun Anggaran 2016 mencapai Rp 50,016 triliun, termasuk dipangkasnya subsidi bahan bakar minyak solar dan gas elpiji 3 kg.

Pemerintah sendiri berkilah bahwa pemangkasan anggaran tersebut semata-mata karena kondisi. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemangkasan anggaran adalah langkah realistis yang diambil pemerintah karena penerimaan negara tidak mencapai target. “Yang dipangkas pengeluaran karena penerimaannya berkurang. Jadi, mau tidak mau harus begitu. Tidak ada jalan lain. Pemotongan anggaran di kementerian dan lembaga tidak bisa dihindari,” ujar Kalla di kantor Wapres , Jakarta, medio Juni 2016.

Seperti dilansir Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, dari jumlah Rp 50 triliun itu, sebesar Rp 20,951 triliun merupakan efisiensi belanja operasional, dan Rp 29,064 triliun merupakan efisiensi belanja lain. Selain itu,  dalam pemotongan itu juga terdapat Rp 10,908 triliun yang merupakan anggaran pendidikan, dan Rp 1,434 triliun yang sebelumnya masuk anggaran kesehatan.

Jusuf Kalla juga menyebutkan pemangkasan anggaran akan berdampak kepada pengurangan subsidi BBM dan listrik. “Namanya keadaan seperti ini, subsidi BBM harus dikurangi, listrik juga dikurangi,” ujarnya

Menurut Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi dan Keuangan, Wijayanto Samirin, pemotongan anggaran ini bertujuan untuk menjaga defisit anggaran tidak melebihi 3 %, sebagaimana amanat Undang-undang tentang APBN, walaupun berdampak pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor.

Karena itu, pemerintah tengah menyiapkan cara agar dampak pemangkasan tak begitu signifikan dirasakan masyarakat. Diantaranya dengan mengendalikan tingkat inflasi agar daya beli masyarakat tetap tinggi, sehingga konsumsi tetap terjag. Selain itu pemerintah akan mengefektifkan program dana desa, serta mendorong percepatan realisasi investasi oleh swasta. “Pemotongan anggaran diarahkan untuk proyek-proyek non strategis sehingga tidak berdampak besar, baik  di kementerian atau lembaga maupun masyarakat,” kata Wijayanto.

Sikap over convidence pemerintah terhadap defisit anggaran – lewat pernyataan bahwa pemangkasan anggaran tidak berdampak di Kementerian/Lembaga  (K/L) dan masyarakat – ditanggapi sejumlah kalangan sebagai cerminan dari ketidakmampuan pemerintah Jokowi-JK mengelola anggaran negara. Dipangkasnya subsidi solar, gas elpiji 3 kilogram, dan penghapusan subsidi listrik 900 VA membuat rakyat harus harus mengencangkan kuat-kuat ikat pinggang.

“Di saat harga-harga meroket tinggi, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang jelas-jelas tidak pro rakyat dan akan membuat rakyat semakin menderita, karena kebijakan pencabutan subsidi tersebut akan menambah harga-harga komoditi semakin naik dan tak terkendali. Kebijakan tersebut adalah kebijakan sepihak yang hanya menguntungkan pemerintah, bukan rakyat,” tegas Direktur Eksekutif Bimata Politica Indonesia (BPI), Panji Nugraha.

Ironisnya lagi, pemerintah akan memangkas lagi anggaran di sejumlah kementerian dan lembaga. Hal ini akan menambah panjang daftar kementerian dan lembaga yang mengalami pemotongan anggaran. Alokasi dana transfer daerah dan dana desa, misalnya, akan mengurangi alokasinya, dengan pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang saat ini melemah. Bila dana transfer itu  dikurangi, maka akan banyak pembangunan yang tertunda.

“Penurunan dana transfer ke daerah akan menimbulkan resiko yaitu pembatalan dieksekusinya rencana kebutuhan daerah terutama terkait proyek fisik dan infrastruktur, sehingga mempengaruhi fiskal di daerah,”  kata Arie Sujito, peneliti Institute for Research Empowerment (IRE).

Dalam Rancangan APBN Perubahan (RAPBN-P) 2016, anggaran belanja transfer ke daerah akan dipangkas sebesar Rp 11,9 triliun: dari Rp. 770,2 triliun menjadi Rp 758,3 triliun.  Sedangkan Dana Bagi Hasil (DBH) diturunkan sebesar Rp 4,7 triliun: dari Rp 106,1 triliun menjadi Rp 101,5 trilun di RAPBN-P 2016. Demikian pula dengan dana transfer khusus yang turun Rp 8,3 triliun: dari  Rp 208,9 triliun menjadi Rp 200,7 triliun.

Berdampak Krusial

Pemerintah juga akan melakukan rasionalisasi PNS sebagai cara untuk menghemat pengeluaran belanja pegawai. Selama 2015 hingga pertengahan 2016 ini, pemerintah telah memberhentikan 2.000 pegawai. Tahun depan, sedikitnya ada 300.000 orang yang akan masuk program rasionalisasi PNS. Rencananya sebanyak 4,5 juta PNS akan dirasionalisasi mulai tahun 2017 hingga tahun 2024 mendatang. Ini berarti menambah jumlah pengangguran baru, sementara lapangan kerja baru masih sulit disediakan pemerintah hingga saat ini.

Tak cukup hanya itu. Pemerintah Jokowi-JK juga akan memotong anggaran sejumlah lembaga. Misalnya, anggaran untuk Komisi Yudisial akan dipangkas sebesar 25,88 persen dari pagu anggaran sebesar Rp 148, 8 miliar, atau sebesar Rp 38,5 miliar di RAPBN-P 2016. Sejumlah kalangan menilai, pemotongan ini akan membawa dampak yang cukup signifikan bagi kinerja Komisi Yudisial dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Juru Bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, mengatakan, pemotongan anggaran tentu akan memengaruhi kinerja Komisi Yudisial, terutama yang berkaitan dengan pengawasan hakim dan rekrutmen hakim agung. “Untuk pengawasan pasti berpengaruh karena kami harus sering melakukan dinas luar. Itu yang dianggap pemborosan, padahal itu yang jadi core bussiness Komisi Yudisial. Dalam pemeriksaan dan pengawasan hakim sering kali kami harus datang ke daerah,” tuturnya.

Pemotongan anggaran berdampak besar dalam bidang pengawasan hakim dan investigasi. “Komisi Yudisial harus melakukan penurunan target output dari uraian kegiatan yang ada dalam bidang pengawasan dan investigasi,” imbuh Farid.

Lebih jauh, pemerintah melalui Kementerian Keuangan, berencana akan melakukan pemotongan anggaran non-prioritas apabila tax amnesty gagal disahkan oleh DPR. Pasalnya, pemerintah perlu melakukan penghematan akibat tidak adanya alternatif pendapatan apabila tax amnesty tak dapat diterapkan.

Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan pemangkasan anggaran. Menurut peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Adhamaski Pangeran, terlepas dari disetujui tidaknya tax amnesty, pemerintah perlu mempertimbangkan sektor makro ekonomi sebelum melakukan pemangkasan anggaran.

“Secara psikologis, ini akan mengganggu semua elemen, baik swasta lokal, investor asing, hingga pertumbuhan ekonomi nasional. Istilahnya kaget karena mengalami penciutan,” ujar Adhamaski. Dalam kondisi makro ekonomi yang belum pulih seutuhnya, lanjut Adham, mengurangi anggaran belanja bukanlah jalan terbaik. Apalagi sektor swasta belum sepenuhnya pilih.

Apabila pemerintah bersikeras untuk melakukan pemotongan anggaran, menurutnya, hal ini akan berdampak proyek infrastruktur yang saat ini tengah dikembangkan oleh pemerintah. Untuk itu, perlu pertimbangan yang lebih matang agar rencana ini nantinya justru tak akan menghambat program pembangunan infrastruktur di berbagai daerah.

“Pemotongan anggaran belanja pasti akan berdampak pada proyek yang baru akan dimulai maupun yang akan berjalan. Pada akhirnya, ini akan berdampak juga pada keterlambatan penyelesaian program pemerintah,” tandasnya. [Arif Setianto]

Ini Kementerian/Lembaga Negara yang anggarannya dipangkas:

  • Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dipotong Rp 8,495 triliun.
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dipotong Rp 6,523 triliun
  • Komisi Yudisial dipangkas Rp 38,5 miliar (dari Rp148, 8 miliar jadi Rp 110,3 miliar)
  • Kementerian Pertanian dari Rp 31,507 triliun dipotong Rp 3,923 triliun
  • Kementerian Perhubungan dari Rp48,465 triliun dipotong Rp3,750 triliun
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan dari Rp13,801 triliun dipotong Rp2,890 triliun
  • Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dipangkas Rp1,953 triliun
  • Kementerian Sosial dipotong Rp1,582 triliun
  • Polri  dipangkas Rp1,560 triliun
  • Kementerian Keuangan dipangkas Rp1,467 triliun
  • Kementerian Agama dipotong Rp1,399 triliun
  • Kementerian Dalam Negeri dipangkas Rp1,385 triliun.
  • Kementerian Kesehatan dipangkas Rp1,051 triliun.
  • Kementerian ESDM dipangkas sebesar Rp 604 miliar. (*dari berbagai sumber)