Ilustrasi

Koran Sulindo – Derasnya arus masuk pendatang gelap atau imigran ilegal membuat pemerintah Indonesia makin kewalahan. Perlu segera diterapkan penanganan yang komprehensif.

Di Hari Pengungsi Sedunia 2016, pekan lalu, Indonesia mendapat apresiasi dari komunitas internasional yang mengurusi soal imigran, seperti Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) dan International Organization of Migration  (IOM). Pasalnya, sikap Indonesia yang mengizinkan ribuan pencari suaka dan pengungsi tinggal di negeri ini, meskipun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951.

Sekalipun  tidak menganut kebijakan opendeur politic (politik terbuka)– seperti halnya Amerika, Belanda, atau Australia yang terbuka luas bagi masuknya para pendatang–   Indonesia tak terlepas dari arus persoalan imigran ilegal yang belakangan ini terus terjadi. Indonesia, yang merupakan negara kepulauan dan terletak di antara dua benua– Asia dan Australia– menjadi jalur lalu lintas arus imigrasi ilegal,  pengungsi, atau mereka pencari suaka.  Tentu kita masih ingat fenomena yang terjadi sekitar tahun 1979, saat Indonesia kedatangan ratusan ribu manusia perahu, pengungsi dari Vietnam dan  Laos sebagai akibat konflik bersenjata.  Mereka datang secara legal maupun ilegal, melalui darat, laut, maupun udara. Motif mereka beragam, mulai dari menyelamatkan diri, mencari suaka, atau mencari penghidupan yang lebih baik dengan negara tujuan,  Australia.

Setelahnya, Indonesia masih saja menjadi transit para pendatang illegal menuju Australia. Jumlahnya terbilang tak sedikit. Selama tahun 2009 saja, misalnya, TNI Angkatan Laut sudah menangani 1.571 kasus imigran gelap. TNI Angkatan Laut juga menangkap 493 imigran dari Sri Lanka, Myanmar, dan Afganistan yang tersebar di Lhoksumawe, Dumai, dan Mataram.

Posisi strategis Indonesia sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Australia jadi alasan.  Dari banyak kasus imigran ilegal yang mencoba memasuki Australia, rute paling memungkinkan  adalah melalui darat dan laut, dibandingkan lewat udara. Ini terjadi lantaran Indonesia yang sebagian besar adalah kepulauan hingga menjadikan para imigran dapat leluasa masuk dari berbagai pintu wilayah Indonesia.

Tentu ini menjadi masalah yang harus ditangani secara serius. Peran TNI dan Kementerian Pertahanan selama ini hanya sebatas pada upaya pencegahan masuknya imigran ilegal melalui perairan Indonesia. Selebihnya, urusan menjadi tanggungjawab Direktorat Jenderal Imigrasi. Jelas, ini pekerjaan yang maha berat. Petugas imigrasi yang jumlahnya terbatas seakan tak kuasa menutup banyaknya celah pintu masuk imigran gelap yang datang dari berbagai arah. Terlebih, para pendatang gelap itu masuk lewat tangan-tangan mafia perdagangan manusia atau para calo yang kerap mencari keuntungan.

Pertimbangan kemanusiaan menjadi hal dasar yang harus dihadapi petugas saat berhadapan dengan mereka para pendatang illegal yang bermasalah. Karena toh langkah mengusir atau mendorong para imigran gelap ke tempat asal akan berbenturan dengan aturan hukum internasional yang secara tegas menyebut perlunya perlindungan kepada mereka para pengungsi atau pendatang illegal dengan alasan apapun. Saat para imigran ilegal itu masuk dan tertangkap,  petugas hanya bisa menampung atau menahan mereka ke dalam Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) yang ada.

Tak mengherankan  jika jumlah para pendatang gelap yang ada di Indonesia makin hari makin bertambah. Menurut data yang dirilis UNHCR per tahun 2014, misalnya, jumlah imigran ilegal yang tinggal di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) seluruh Indonesia mencapai 8.262 orang. Sementara yang sudah memegang status pengungsi dan bisa tinggal di penampungan sebanyak 2.078 orang.

Jumlah pencari suaka di Indonesia pun setiap tahun mengalami peningkatan. Jika di tahun 2008 pencari suaka ke Indonesia masih berkisar 385 orang, di tahun 2013 sudah mencapai 8.332 orang. Adapun total imigran yang berada di wilayah Indonesia, terhitung bulan Maret 2014 kurang lebih sekitar 10.623 orang yang terdiri dari 7.218 orang pencari suaka dan sisanya 3.405 berstatus pengungsi. Data UHNCR terbaru, Maret 2016, jumlah pencari suaka dan pengungsi di Indonesia berjumlah 13.745 orang. Angka tersebut diyakini akan semakin meningkat, mengingat konflik di negara bagian Afrika dan Asia terus berlangsung.

Posisi Geografis yang Dilematis

Umumnya imigran ilegal yang ada di Indonesia menyebut Australia sebagai negara tujuan. Isu imigran ilegal ini belakangan terus menjadi polemik, terutama menyangkut kepentingan dua negara: Indonesia dan Australia.  Pemerintah Australia seperti sudah kewalahan menghadapi arus deras imigran asal Timur  Tengah yang datang ke wilayahnya.

Bagi Indonesia, kehadiran imigran ilegal tersebut berpotensi memunculkan beragam masalah. Seperti misalnya masalah demografi (kependudukan), konflik ekonomi- sosial,  serta berbanding lurus dengan tingkat kriminalitas. Selain itu,  kondisi ini bisa menjadi berimplikasi pada lemahnya sistem keamanan NKRI, sehingga melahirkan permasalahan yang sangat signifikan, mulai dari bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan nasional, dan kerawanan keimigrasian, karena tak sedikit kasus yang juga mengindikasikan adanya penyelundupan manusia.

Sebagai negara yang terletak di antara dua benua, Indonesia yang bukan tujuan utama para pendatang haram serta tidak ikutnya meratifikasi konvensi internasional soal pengungsi seperti menghadapi takdir yang sulit ditolak. Ya, Indonesia  terkena imbas dan bisa sebut ‘bernasib malang’ dalam menghadapi para imigran gelap. Hal ini bertambah runyam kala payung hukum dan aturan yang ada terbilang tidak setegas negara tetangga, seperti Malaysia atau Australia dalam menghadapi imigran gelap. Posisi lemah hukum (low of law) yang dimiliki Indonesia dalam menanggulangi masalah imigran gelap inilah  yang kemudian menyebabkan Indonesia menjadi negara transit bagi para imigran yang berasal dari Timur Tengah menuju Australia.

Pemerintah Indonesia tentu sadar betul bahwa pengalaman masa lalu tidak ingin terulang. Kebijakan  menampung para pendatang ilegal  asal Vietnam di tahun 1979 di Pulau Galang yang berlangsung puluhan tahun itu adalah pelajaran berharga, sekalipun itu atas nama kemanusian.  Hal itu terjadi lantaran mereka para pengungsi yang disebut board people atau manusia perahu itu tidak semuanya masuk dalam kategori sebagai pencari suaka politik atau mengungsi karena faktor politik dan keamanan. Harus diakui, sebagian dari mereka justru datang dengan alasan ekonomi.

Pengalaman berpuluh-puluh tahun menangani Pulau Galang menyebabkan Indonesia cukup hati-hati dalam menerima pengungsi dari negara lain ke Indonesia. Hanya saja, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia sampai saat ini masih bersifat konvensional. Artinya, kalau para pendatang ilegal itu tertangkap tanpa disertai surat-surat resmi sebagai syarat, petugas hanya memasukkan mereka ke dalam kamp tahanan imigrasi. Bila ada dari mereka yang melakukan tindak kriminal, petugas (dalam hal ini kepolisian) akan segera memproses dan memasukkan mereka masuk dalam tahanan polisi.

Padahal, persoalan imigrasi tidaklah sesederhana itu. Harus diingat, daya tampung tahanan imigrasi (rudenim) sangatlah terbatas, baik itu yang di Jakarta atau di berbagai wilayah di Pulau Jawa, juga dan di daerah sekalipun. Keberadaan kantor-kantor imigrasi pun belum sepenuhnya mencakup seluruh wilayah Indonesia yang luas.

Hal ini yang kemudian menjadikan persoalan imigran ilegal semakin pelik. Proses penyidikan yang dilakukan  oleh pihak berwenang dilakukan secara konvensional dan hanya mengandalkan Undang-undang Kemigrasian, nyatanya tidak membawa hasil yang memuaskan.

Tidak adanya undang-undang khusus dalam penanganan imigran ilegal selama ini, ditambah lagi berbagai aturan yang ada, baik itu dalam skala nasional maupun internasional, menjadikan Indonesia menghadapi dilema dalam menangani para imigran ilegal.

Semua instrumen hukum baik nasional dan internasional yang terkait dengan penanganan imigran illegal itu lebih beraroma kemanusiaan atau hak asasi manusia. Padahal telah jelas, bahwa dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dan tidak diratifkasinya Konvensi 1951 dan Protokol 1967, membuat Indonesia sejatinya dalam posisi tidak ada kewajiban terhadap penanganan imigran ilegal.

Kerjasama pemerintah RI dengan berbagai lembaga internasional, untuk urusan pengungsi– seperti UNHCR dan IOM– juga dirasa tidak berjalan maksimal. UNHCR, sebagai komisi tinggi PBB urusan pengungsi, kerap menerapkan standar ganda dalam mengatagorikan imigran illegal. Seharusnya UNHCR lebih mengurusi pengungsi-pengungsi dengan alasan politis, bukan yang lain. Pun halnya dengan IOM (International Organization Migration) yang sebetulnya menangani orang-orang yang bermigrasi dari suatu negara ke negara lain dengan alasan-alasan yang non keamanan dan non-politik.

Tapi pada kenyataannya, para pendatang illegal itu sebagian besar sudah dianggap pengungsi sesuai standar yang diterapkan UNHCR dan IOM. Padahal tidak semuanya demikian.

Persoalan ini bertambah pelik tatkala kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan Australia sebagai negara tujuan para imigran ilegal itu pada kenyataannya hanya memberikan keuntungan sepihak untuk Australia. Pemerintah Australia meminta Indonesia untuk bertindak tegas menangkap para imigran gelap dan penyelundup manusia, tanpa ada kebijakan yang membolehkan Indonesia meneruskan para imigran gelap ke negeri kanguru tersebut.

Dengan kata lain, Indonesia harus menanggung sendiri beban dalam urusan para imigran. [Akbar Irwansyah]