Jurus Berkelit PT Freeport Indonesia

Direktur Utama PT Freefort Indonesia Chappy Hakim di DPR, Rabu, 7 Desember 2016

Koran Sulindo – PT Freeport Indonesia menegaskan baru akan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian konsentrat (smelter) jika pemerintah memperpanjang kontraknya. Padahal, pembangunan smelter itu merupakan kewajiban yang dipersyaratkan pemerintah ke perusahaan raksasa tambang asal Amerika Serikat tersebut untuk mendapatkan izin ekspor mineral mentah.

Seperti diketahui, pada Agustus 2016 lalu, PT Freeport Indonesia mendapatkan rekomendasi surat persetujuan ekspor konsentrat selama lima bulan, yakni hingga 11 Januari 2017. Sementara itu, batas waktu pelarangan ekspor konsentrat tetap berlaku mulai 12 Januari 2017.

Sampai kini, Freeport bahkan belum memutuskan lokasi pembangunan smelter-nya. Mereka beralasan: belum ada kepastian perpanjangan kontrak yang akan habis pada 2021. “Intinya, Freeport berkomitmen membangun smelter. Namun, dalam konteks membangun smelter dan menentukan kepastian lokasi memang ada beberapa pertimbangan yang menjadi bahan untuk diselesaikan terlebih dulu,” kata Presiden Direktur Freeport Chappy Hakim dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/12).

Untuk membangun smelter, katanya lagi, Freeport membutuhkan dana yang mencapai US$ 2,2 miliar. Anggaran fantastis tersebut baru akan diperoleh jika Freeport mendapat perpanjangan kontrak dari pemerintah.

Pemerintah sendiri baru akan membahas kelanjutan kontrak Freeport dua tahun sebelum berakhir kontrak yang sekarang. Kontraknya beru akan berakhir 2021. Dengan begitu, Freeport baru akan membangun smelter pada 2019 mendatang. “Kepastian perpanjangan kontrak yang berhubungan erat dengan ketersediaan dana untuk pembangunan smelter. Membangun smelter itu butuh dana dan dana itu baru bisa kalau kami perpanjangan kontrak sudah didapat,” tutur Chappy.

Direktur Freeport Indonesia Clementino Lamury menambahkan, dengan tersedianya dana, realisasi pengerjaan fisik proyek smelter Freeport Indonesia bisa dilakukan lebih cepat. Diakui Clementino, Freeport Indonesia hingga saat ini telah mengeluarkan dana sebesar US$ 212 juta untuk memulai tahap pembangunan smelter. “Sebanyak US$ 115 untuk penyelesaian izin analisis mengenai dampak lingkungan pembangunan smelter dan ada konstruksi,” katanya.

Untuk lahan yang akan digunakan, Chappy dan Clementino mengatakan masih belum siap secara penuh. Karena, 80% kebutuhannya merupakan lahan reklamasi. Penguatan lahan pasca-reklamasi in masih memakan waktu cukup lama. Untuk persiapan lahan, Freeport Indonesia menganggarkan US$ 4,03 juta.

Rencananya, pembangunan smelter itu akan menggunakan lahan milik PT Petrokimia Gresik. Diaungkapkan, Direktur Utama Petrokimia Gresik Nugroho Christijanto, pihaknya mendukung proyek smelter di lahannya. Dukungan tersebut berupa penyiapan lokasi smelter serta akan disiapkannya perangkat hukum serta perjanjian sewa lahan. “Namun memang perlu ada yang dipenuhi seperti luasan sewa, formulasi harga sewa, jangka waktunya, sampai hak dan kewajiban kedua pihak,” ujar Nugroho. Terkait izin amdal reklamasi, Nugroho memastikan itu adalah ranah Petrokimia Gresik dan telah dilakukan.

Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral Bambang Gatot mengemukakan, smelter Freeport hingga saat ini memang belum kelihatan fisiknya. Dari komitmen dana sebesar US$ 2,2 miliar yang dicatatkan, Freeport baru menggelontorkan dana sekitar US$ 212,85 juta. “Sehingga belum kelihatan sekali fisik bangunannya. Tapi perjanjian sewa lahannya sudah dilakukan,” tutur Bambang.  [CHA]