Selain mereka berdua, Djodjosoediro juga tampil sebagai redaktur di Tjahaja Timoer yang diterbitkan oleh Kwee Khaij Khee di Malang sedangkan Abdoel Moeis di Bandung menjadi redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & co.
Tak hanya menulis di surat-surat kabar masing-masing jurnalis-jurnalis muda ini juga memberi komentar terhadap surat pembaca sekaligus bertindak sebagai penyunting. Mereka inilah yang disadari atau tidak sebenarnya memimpin ‘embrio’ bangsa dalam mengungkapkan solidaritas mereka dengan pembaca sebagai bumiputra sekaligus kaum muda.
Soal solidaritas inilah yang sejak awal sudah terlihat dengan benderang.
Ambil contoh misalnya dalam Pewarta Prijaji yang disunting Koesoemo Oetojo yang juga merupakan Bupati Ngawi ini yang terang-terang menyerukan persatuan di kalangan priyayi dan memenuhi sebagian besar ruangannya dengan terjemahan dan penjelasan yang terperinci tentang anggaran, suplemen, dan keputusan hukum pemerintah dan segala hal yang berguna bagi priyayi pemerintah.
Koesoemo Oetojo inilah yang melalui Pewarta Prijaji menghasilkan sebuah perkumpulan yang terdiri atas pendukung, simpatisan, dan pelangan dengan lima belas cabang yang mencakup Jawa, Madura hingga Sumatra.
Di tahun-tahun awal, semua jurnalis pribumi ini bekerja pada penerbit Indo atau Tionghoa yang membuat mereka tak sepenuhnya bebas untuk tampil sebagai pemimpin ‘embrio bangsa’.
Kecenderungan itu diubah oleh R.M. Tirtoadhisoerjo yang telah menjadi wartawan sejak usia 21 tahun dan memimpin korannya sendiri Soenda Berita dengan bantuan keuangan yang dikucurkan Bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradiredja.
Surat kabar Soenda Berita adalah koran pertama yang dibiayai, dikelola, disunting dan diterbitkan oleh pribumi.
Pada tahun 1907, Tirtoadhisoerjo kembali menerbitkan mingguan baru dengan nama Medan Prijaji dan setahun berikutnya bersama Haji Mohammad Arsad dan Pangeran Oesma mendirikan perusahaan terbatas pertama milik bumiputra N.V. Javaansche Boekhandelen Drukkerij ‘Medan Prijaji’.
Lahir sebagai anak dari Bupati Bodjonegoro pada tahun 1880, Tirtoadhisoerjo menolak masuk Pangreh Pradja dan memilih sekolah di Stovia selama beberapa tahun dan bergabung dengan Pembrita Betawi sebagai redaktur pada tahun 1906.
Ia mendirikan Sarekat Prijaji yang bertujuan memajukan pendidikan bagi anak-anak priyayi dan bangsawan pribumi lainnya melalui penyaluran beasiswa.
Sementara surat kabar Medan Prijaji semula terbit sebagai mingguan, dan berubah menjadi harian di tahun-tahun berikutnya, Tirtoadhisoerjo menciptakan gaya jurnalistik tersendiri dalam terbitannya itu. Tak jarang tulisan itu berupa gaya tantang menantang yang militan seperti dalam artikel Tirto versus Simon.
Koran itu segera menjadi salah satu yang terkemuka dengan 2.000 pelanggan di awal 1911 sekaligus melepaskan diri dari forum priyayi.
Di tangan Tirtoadhisoerjo itulah ‘embrio bangsa’ yang semula masih samar-samar dan tak jelas bentuknya dapat segera dibayangkan batas-batasnya. Tirtoadhisoerjo dengan kalimatnya sendiri menyebut sebagai ‘Anaknegeri’ Hindia Belanda. [TGU]
* Tulisan ini pernah dimuat 31 Desember 2018