Kerumunan orang, yang baru saja dibebaskan dari perbudakan, membawa salinan Proklamasi Emansipasi dalam ilustrasi tahun 1864 ini. (Arsip Hulton/Getty Images/History.com)

Patut diakui, tidak semua kemenangan dalam sejarah datang tepat waktu. Sebagian malah tertunda, tersembunyi di balik kabut perang dan ketidakadilan sistemik. Salah satu kisah paling mencolok tentang tertundanya kemerdekaan terjadi di negara bagian Texas, Amerika Serikat, dua tahun lebih setelah Presiden Abraham Lincoln menandatangani Proklamasi Emansipasi.

Pada tanggal 19 Juni 1865, pasukan Union akhirnya tiba di Galveston dan mengumumkan pembebasan lebih dari 250.000 orang Afrika-Amerika yang masih diperbudak. Hari itu, yang kemudian dikenal sebagai Juneteenth, menjadi simbol kemerdekaan yang sesungguhnya bagi banyak orang kulit hitam di Amerika.

Meski telah lama dirayakan oleh komunitas Afrika-Amerika, sejarah dan makna mendalam Juneteenth baru mendapatkan pengakuan luas dalam beberapa dekade terakhir hingga akhirnya ditetapkan sebagai hari libur federal pada tahun 2021. Di balik perayaan yang kini meriah, tersimpan warisan panjang tentang penindasan, perjuangan, dan daya tahan.

Berikut adalah sejarah lengkap dari Juneteenth, disadur dari History.com dan Smithsonian National Museum of African American History & Culture.

Pada tanggal 19 Juni 1865, Teluk Galveston, Texas, menjadi saksi sejarah monumental bagi Amerika Serikat. Sekitar 2.000 pasukan Union di bawah komando Jenderal Gordon Granger mendarat dan membawa pesan yang telah lama tertunda, yakni semua budak di negara bagian itu dinyatakan bebas.

Pengumuman ini bukan sekadar formalitas militer, melainkan pengaktifan nyata dari Proklamasi Emansipasi yang ditandatangani Presiden Abraham Lincoln lebih dari dua tahun sebelumnya, tepatnya pada 1 Januari 1863.

Peristiwa pembebasan ini kemudian dikenal sebagai Juneteenth, gabungan dari kata “June” dan “Nineteenth”. Ia dikenang sebagai hari kemerdekaan kedua bagi orang kulit hitam di Amerika Serikat, khususnya mereka yang hidup dalam sistem perbudakan di Texas, negara bagian yang paling akhir menerima dan melaksanakan perintah pembebasan.

Proklamasi yang Tak Segera Terlaksana

Pada malam menjelang 1 Januari 1863, orang-orang Afrika-Amerika baik yang masih diperbudak maupun yang telah bebas berkumpul di berbagai gereja dan rumah-rumah pribadi dalam kebaktian malam atau Watch Night. Mereka menyambut tengah malam dengan harapan besar bahwa Proklamasi Emansipasi akan mulai berlaku dan membawa kemerdekaan bagi jutaan orang yang hidup di bawah belenggu perbudakan.

Proklamasi Emansipasi menyatakan bahwa semua orang yang diperbudak di negara-negara bagian Konfederasi yang sedang memberontak terhadap Amerika Serikat “akan bebas sejak saat itu dan seterusnya, selamanya.”

Namun, kenyataannya jauh dari kata sederhana. Proklamasi ini hanya berlaku di wilayah Konfederasi, dan tidak mencakup negara-negara perbatasan yang masih memiliki sistem perbudakan tetapi tetap setia pada Union, seperti Maryland dan Kentucky. Selain itu, implementasinya bergantung pada kehadiran militer Union untuk menegakkan perintah tersebut.

Texas, sebagai negara bagian Konfederasi paling barat, nyaris tidak tersentuh oleh pertempuran besar selama Perang Saudara Amerika. Minimnya kehadiran tentara Union menjadikan wilayah ini sebagai tempat perlindungan terakhir bagi para pemilik budak dari negara bagian lain yang telah jatuh ke tangan Union. Mereka membawa serta budak-budaknya, berharap dapat mempertahankan sistem perbudakan yang mulai runtuh di tempat lain.

Di tengah kekacauan pasca-penyerahan Jenderal Konfederasi Robert E. Lee di Pengadilan Appomattox, Virginia, pada April 1865, perbudakan di Texas masih tetap berlangsung hampir tanpa gangguan. Butuh waktu dua bulan lebih bagi pasukan federal untuk mencapai Texas dan menyampaikan pesan pembebasan.

Barulah pada 19 Juni 1865, Jenderal Granger berdiri di Galveston dan membacakan Perintah Umum No. 3:

“Rakyat Texas diberitahu bahwa, sesuai dengan proklamasi dari Eksekutif Amerika Serikat, semua budak kini bebas.”

Lebih dari 250.000 orang Afrika-Amerika yang masih diperbudak di Texas akhirnya benar-benar bebas secara hukum dan faktual pada hari itu.

Perjuangan Pasca-Emansipasi dan Lahirnya Juneteenth

Kebebasan yang datang pada 19 Juni tidak serta-merta menjadi realitas universal dalam semalam. Dalam beberapa kasus, para pemilik budak menyembunyikan pengumuman tersebut, bahkan memaksa para budak tetap bekerja hingga musim panen selesai. Namun, kabar pembebasan akhirnya tersebar, dan di tengah segala keterbatasan dan trauma, perayaan pun dimulai.

Tahun berikutnya, pada 19 Juni 1866, komunitas kulit hitam di Texas mengadakan peringatan pertama yang dikenal sebagai “Jubilee Day”, yang kemudian dikenal sebagai Juneteenth. Mereka merayakannya dengan kebaktian doa, pidato politik, pembacaan puisi, permainan tradisional, musik, hingga pesta barbekyu.

Perayaan ini menjadi simbol kebangkitan identitas dan komunitas, serta wujud perlawanan terhadap narasi dominan yang sering menghapus kontribusi dan penderitaan orang kulit hitam.

Era Rekonstruksi dan Harapan Baru

Periode pasca-perang yang dikenal sebagai Rekonstruksi (1865–1877) membuka era harapan sekaligus tantangan baru bagi bangsa Amerika. Bagi orang-orang yang dulunya diperbudak, masa ini menjadi momen untuk menyatukan kembali keluarga, mendirikan sekolah, menyuarakan hak politik, bahkan menuntut ganti rugi dari bekas pemilik budak.

Meski belum satu generasi pun sepenuhnya bebas dari warisan perbudakan, orang-orang kulit hitam menjawab kebebasan dengan gerakan, pendidikan, dan partisipasi politik. Mereka mencalonkan diri dalam jabatan publik, mendirikan gereja dan organisasi komunitas, serta membentuk visi baru tentang warga negara kulit hitam di Amerika Serikat.

Juneteenth, dalam konteks ini, bukan hanya perayaan, melainkan penanda transisi historis dari status budak menjadi warga negara yang merdeka—meski perjuangan menuju keadilan sejati masih panjang.

Meskipun Juneteenth telah dirayakan secara lokal di Texas dan oleh komunitas Afrika-Amerika di berbagai belahan negara sejak abad ke-19, perayaan ini sempat meredup pada pertengahan abad ke-20, seiring dengan berkembangnya gerakan hak sipil yang lebih luas dan arus dominasi budaya kulit putih dalam sejarah nasional.

Namun, pada 1960-an, aktivis hak sipil kembali menghidupkan semangat Juneteenth sebagai sarana refleksi historis dan simbol perjuangan berkelanjutan. Seiring migrasi orang kulit hitam dari Selatan ke wilayah-wilayah lain di AS, tradisi Juneteenth pun menyebar ke luar Texas dan menjadi bagian dari ingatan kolektif masyarakat kulit hitam di seluruh negeri.

Juneteenth Sebagai Hari Libur Nasional

Akhirnya, pada 17 Juni 2021, setelah berbagai upaya legislasi dan tekanan publik, Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang yang menetapkan Juneteenth sebagai hari libur federal. Langkah ini menjadikan Juneteenth sebagai hari libur nasional ke-11 di Amerika Serikat, dan hari libur pertama yang diresmikan secara federal sejak Hari Martin Luther King Jr. pada 1983.

Penetapan ini bukan hanya pengakuan formal, tetapi juga pengakuan simbolis terhadap sejarah panjang penindasan, pembebasan, dan perjuangan komunitas Afrika-Amerika yang selama ini terpinggirkan dalam narasi besar sejarah bangsa.

Warisan Juneteenth: Menghidupi Sejarah, Merawat Harapan
Juneteenth bukan sekadar tanggal dalam kalender. Ia adalah simbol harapan dalam ketidakpastian, pengingat akan bahaya penundaan keadilan, dan perayaan atas daya tahan manusia dalam menghadapi penindasan.

Di Museum Nasional Sejarah dan Budaya Afrika-Amerika, kisah Juneteenth diceritakan kembali dengan penuh penghormatan, menghidupkan semangat komunitas yang menolak dilupakan sejarah.

Seiring dunia modern terus bergulat dengan isu-isu ras, ketidaksetaraan struktural, dan ingatan kolektif yang sering kali cacat, Juneteenth berdiri sebagai batu penanda penting—bahwa kemerdekaan tidak akan pernah utuh jika tidak dinikmati oleh semua. [UN]