Jumbo Lawan Perundungan

Catatan Cak AT:

Jika Pixar dan Disney berpikir mereka bisa terus memonopoli dunia animasi, mungkin mereka belum mendengar kabar bahwa Indonesia baru saja melahirkan Jumbo. Dan tidak, ini bukan tentang gajah yang kabur dari kebun binatang, melainkan film animasi orisinal besutan Visinema Animation.

Melalui perjuangan kreativitas, tenaga, dana, dan waktu lima tahun produksi, Visinema ingin membuktikan bahwa industri animasi lokal tidak sekadar bermain-main dengan warna-warni ceria dan soundtrack penuh tepuk tangan. Kini, Upin & Ipin, animasi Malaysia yang telah berjaya sejak 2007, akhirnya mendapat saingan berat.

Disutradarai oleh Ryan Adriandhy, film Jumbo bukan sekadar animasi tentang anak-anak yang berlarian mengejar mimpi atau berteman dengan makhluk ajaib. Ini adalah kisah petualangan yang mengangkat isu perundungan—sesuatu yang, ironisnya, sering dianggap “bumbu” dalam dinamika sosial anak-anak.

Dengan kata lain, jika Anda masih berpikir bahwa ejekan, dorongan kecil, atau pencurian bekal di sekolah hanyalah bagian dari proses “menguatkan mental,” Jumbo hadir untuk menegur dengan halus, tetapi tajam. Tema ini begitu kuat karena hampir di semua sekolah, perundungan masih menjadi masalah nyata yang kerap dibiarkan.

Di balik visual yang memanjakan mata dan alur yang menghibur, Jumbo menyimpan pesan mendalam: perundungan bukanlah “fase normal” dalam kehidupan anak-anak. Ini adalah luka yang bisa membekas seumur hidup jika tidak ditangani dengan benar.

Tokoh utama kita, Don, seorang anak sepuluh tahun yang lebih suka membenamkan diri dalam dunia dongeng ketimbang menghadapi kerasnya kehidupan sosial di dunia nyata. Sayangnya, dongengnya berubah menjadi mimpi buruk ketika buku kesayangannya dicuri oleh Atta, Sarjana Perundungan dari Universitas Kehidupan SD.

Untungnya, Don selalu punya Oma serta sahabatnya, Nurman dan Mae, yang setia mendukungnya. Mereka kemudian bertemu dengan Meri, seorang anak perempuan dari dunia lain yang tengah mencari kedua orang tuanya. Bersama kedua sahabatnya, Don pun memulai perjalanan menegangkan untuk merebut kembali benda berharganya.

Jangan salah, ini bukan kisah Avengers dengan efek CGI menggelegar atau aksi laga penuh kehancuran kota. Ini adalah kisah sederhana namun menyentuh, tentang persahabatan, ketabahan, dan bagaimana seorang anak kecil bisa menjadi pahlawan —bukan dengan kekuatan super, tetapi dengan hati besar (dan sedikit kecerdikan).

Jika ada yang masih berpikir bahwa film animasi Indonesia hanya bisa berakhir di festival lokal lalu hilang ditelan waktu, Jumbo siap membuktikan sebaliknya. Dengan kualitas animasi yang disebut-sebut tidak kalah dari produk luar negeri, film ini tidak hanya tayang di dalam negeri saat Lebaran, tetapi juga di 17 negara.

Ya, tujuh belas. Ini tentu jempolan, tapi kita akan lihat nanti apakah ini sekadar hiperbola nasionalisme atau kenyataan yang memang patut dirayakan. Kementerian Ekonomi Kreatif sendiri telah memberi cap “membanggakan” pada proyek ini, sesuatu yang jarang diberikan kepada film animasi lokal kecuali ada upaya luar biasa di dalamnya.

“Prosesnya hampir lima tahun, melibatkan lebih dari 400 kreator,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, yang tampaknya lebih memahami sulitnya membuat film animasi daripada mencari solusi ekonomi. Tapi, kita bisa maklum, karena film memang masih masuk dalam ranah ekonomi berbasis kreativitas.

Dengan semua kehebohan yang mengiringi perilisannya, Jumbo tampaknya siap menjadi tonggak kebangkitan industri animasi anak bangsa. Apakah ini akan menjadi gebrakan besar atau sekadar kilatan sesaat? Kita lihat saja nanti.

Yang jelas, jika perundungan bisa diatasi hanya dengan menonton film ini, kita tentu akan sangat bersyukur. Sayangnya, realitas tidak semudah itu —tetapi setidaknya, Jumbo sudah mencoba mengajak kita berbicara mencari solusi.

Film ini bisa menjadi bahan refleksi bagi orang tua dan guru yang masih menganggap bahwa “dilecehkan dulu biar kuat nanti” adalah bentuk pendidikan mental yang sehat. Jadi, siapkah kita melihat bagaimana seorang Jumbo menantang dunia?

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis