Koran Sulindo – Tahun 2018 adalah terobosan diplomasi sekaligus perang proksi yang dipuncaki dengan penarikan tak terduga tentara AS.
Tahun ini menjadi saksi bagaimana Presiden AS dan penguasa Republik Demokratik Rakyat Korea berjabat tangan untuk pertama kalinya sejak semenanjung itu terbelah usai Perang Korea.
Sementara di Afghanistan pilot AS menjatuhkan amunisi terbanyak semenjak Angkatan Udara negeri itu terlibat dalam perang melelahkan di wilayah itu, puncak kegemparan justru terjadi di hari-hari terakhir ketika melalui tweeter Presiden Donald Trump menari seluruh tentara AS dari Suriah.
Seandainya tahun 2018 merupakan roller coaster, bisa jadi tahun 2019 adalah waktu di mana dolar-coaster pecah.
Politik internasional memiliki cara yang lucu untuk mengganggu kehidupan Trump sekaligus memaksa pembuat kebijakan di Washington tersandung dengan cepat.
Dengan Trump terus menerus memicu badai kontroversi, beberapa perang yang sekarang berlangsung kemungkinan bakal terus berlanjut sementara perang baru bisa dengan mudah dipicu.
Tentu dengan gampang Trump dapat memicu perang di manapun dia mau, tapi sebaiknya ia menghindari beberapa wilayah di bawah ini;
Suriah
Rusia dan Iran sama-sama menganggap Suriah dan menganggap negara itu sangat penting bagi kepentingan keamanan nasional mereka. Banyak alasan mengapa Moskow menarik pelatuk di Suriah pada tahun 2015 yang sekaligus menjadi intervensi militer pertama Rusia di negeri setelah kekalahan memalukn di Afghanistan tahun 1980-an.
Suriah adalah sekutu lama Perang Dingin di kubu Soviet yang berbagi garis depan dengan sekutu Amerika, sekaligus satu-satunya negara yang memiliki pelabuhan air hangat terakhir bagi Rusia.
Sementara itu, bagi orang-orang di Teheran menjaga Suriah bersama keluarga Assad bahkan lebih penting. Kehancuran Bashar al-Assad bisa berarti runtuhnya hubungan strategis empat dekade antara keduanya .
Kematian atau penggulingan Assad bakal menjadi kemunduran terburuk kebijakan luar negeri Iran setidaknya jika dibanding dengan invasi Saddam Hussein ke Iran tahun 1980.
Di sisi lain, Suriah bagi AS bagaimanapun tidak pernah terlalu penting. Kebijakan AS di Timur Tengah akan tetap berlanjut terlepas apakah Assad berkuasa di Damaskus, mati atau di kirim ke pengasingan.
Membenarkan logika keberadaan pasukan AS berada di Suriah untuk membunuh ISIS dan merebut kembali daerah yang direbut kelompok itu. Namun dengan wilayah ISIS yang menyusut hingga 99 persen, publik Amerika tentu sepakat bahwa waktunya tentara AS mengepak peralatan senjata sudah tiba.
Bahkan seandainya tanpa ISIS sekalipun, Suriah kini tetaplah tempat yang menyedihkan. Wilayah tempat bangsa Arab sangat bangga sekarang menjadi arena adu senjata kekuatan asing. Tentara Turki yang memerangi pejuang Kurdi Suriah, Kurdi yang bersiap-siap memerangi orang-orang Arab Suriah dukungan Ankara hingga jet-jet Israel yang terus membom pangkalan-pangkalan Iran, fasilitas senjata Hezbollah atau bandara-bandara Suriah.
Korea
Meski dialog rekonsiliasi antara Korea Utara dan Korea Selatan berjalan dengan baik dengan perjanjian demiliterisasi diteken, ranjau darat dan pos jaga dihapus di kedua sisi, sejatinya diplomasi AS-DPRK rapuh.
Kondisi tersbeut semakin rapuh, hari-hari buruk penuh ‘api dan amarah’ hingga saling ancam nuklir bisa kembali dengan sepenuh hati. Sangat mungkin gangguan pembicaraan damai kembali memotivasi Penasihat Keamanan Nasional John Bolton untuk berkicau di telinga Trump tentang perlunya mempersiapkan serangan militer.
Dalam keadaan apa pun Trump jelas tak bisa memikirkan opsi macam itu. Kalaupun Washington memenangkan perang di Semenanjung Korea, kehancuran bakal sangat besar dan semua penentu keputusan bakal dicap orang gila yang ceroboh oleh sejarawan di masa mendatang. Jutaan korban di Semenanjung Korea adalah mimpi buruk, mimpi buruk yang jelas tak perlu terwujud.
Yaman
Di bawah tekanan politik dari pembunuhan brutal kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi dan ribuan halaman penyelidik yang merinci kejahatan perang Saudi di Yaman, Gedung Putih sudah sejak lama mestinya berhenti mengisi bahan bakar pesawat tempur Riyadh selama pemboman.
Penghentian pengisian bahan bakar di udara terjadi setelah lebih dari tiga setengah tahun serangan udara Saudi yang jelas-jelas keliru karena menargetkan sipil yang tersebar luas seperti pemakaman, pabrik, jembatan dan bus sekolah. Bertahun-tahun sejak dimulai serangan udara itu, daftar serangan yang diserahkan kepada petugas Saudi telah diabaikan .
Sementara pilot AS tak membom langsung posisi Houthi, militer AS menjadi peserta langsung dalam konflik sipil Yaman. Ketua Parlemen Nancy Pelosi telah berkomitmen untuk berdebat dan memberikan suara untuk mengakhiri keterlibatan Amerika. Trump harus segera mengakhirinya secara sepihak.
Taiwan
Kebijakan Satu China dan tiga komunike ditandatangani Washington dan Beijing sejak tahun 1972 dan 1982 masih mendikte hubungan antara dua kekuatan global itu. Di sisi lain, Taipei tetap masih merebut hati orang-orang di Washington. Meskipun AS belum mengakui Taiwan sejak zaman Jimmy Carter, mereka memberikan negara pulau itu kemampuan pertahanan yang dibutuhkannya untuk mempertahankan diri.
Namun dengan Presiden China Xi Jinping yang makin jengkel dengan Pemerintahan Trump, AS harus mulai berhati-hati dalam bertindak. Pejabat Cina juga terlihat sangat kecewa dengan pendekatan kebebasan navigasi yang dilakukan AL AS di Selat Taiwan. Ini bisa memicu habisnya kesabaran China yang bisa saja memerintahkan AL-nya mengambil kendali penuh atas selat itu atau menyerbu Taiwan, langkah itu bakal menjadi tindakan gegabah yang setara dengan invasi Rusia ke Krimea.
Menurut survei Chicago Council on Global Affairs yang digelar bulan Oktober 2018, ternyata hanya 35 persen orang Amerika yang mendukung penggunaan pasukan AS dalam keadaan darurat seperti itu.
Apakah manfaat melindungi Taiwan dan menyelamatkan ‘David’ yang demokratis dari Goliath yang otoriter sepadan dengan mahalnya ‘biaya’ yang mesti dibayar akibat bentrokan dua kekuatan besar angkatan laut dua negara ekonomi terbesar ? Tentu tidak.
Afganistan
Daftar negara-negara yang harus dijauhi AS tak akan lengkap tanpa menempatkan perang terpanjang yang dijalani AS dalam daftar ini sementara puluhan hingga ratusan prajurit atau polisi Afghanistan terbunuh setiap minggu akibat serangan Taliban.
Meski tentara AS terus berlatih sementara penasihat AS terus memberi saran, kemenangan akhir jauh dari terlihat. Sementara politisi Afghanistan bertarung di antara mereka sendiri untuk gengsi, kekuasaan dan uang, jenderal-jenderal AS terus saja mengeluarkan pernyataan hambar yang menggelikan tentang tentara Afghanistan yang menjadi lebih baik, Taliban setuju bernegosiasi, atau pemerintah Afghanistan menjadi tak lagi korup.
Kepala Staf Gabungan Jenderal Joe Dunford menyebut Afghanistan sebagai ‘jalan buntu’ bulan November silam. Kata yang sama juga ia gunakan saat menggambarkan situasi pada 2017. [TGU]