Palang Merah Indonesia tempo dulu. (Foto: PMI)

Tanggal 8 Mei memiliki makna penting dalam sejarah kemanusiaan dunia. Hari ini diperingati sebagai Hari Palang Merah Internasional, sebuah penghormatan terhadap dedikasi dan pengorbanan para relawan serta tenaga kemanusiaan dari organisasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di seluruh dunia. Tanggal ini dipilih karena bertepatan dengan hari lahir Jean Henry Dunant, tokoh asal Swiss yang menjadi pelopor pembentukan organisasi kemanusiaan terbesar di dunia: Komite Internasional Palang Merah (ICRC). Ia juga merupakan penerima Penghargaan Nobel Perdamaian pertama di dunia.

Hari Palang Merah Internasional mulai diperingati secara resmi sejak tahun 1948. Peringatan ini tidak hanya mengenang kontribusi besar Henry Dunant, tetapi juga menjadi momen untuk menyuarakan semangat solidaritas, kemanusiaan, dan netralitas dalam menanggapi krisis, konflik bersenjata, serta bencana alam. Setiap tahunnya, tema yang diangkat berbeda, dengan tujuan menyoroti tantangan nyata yang dihadapi para pekerja kemanusiaan di lapangan.

Namun, untuk memahami betapa besarnya warisan kemanusiaan yang kita peringati hari ini, kita harus menelusuri kembali sejarahnya yang berawal dari sebuah pertempuran berdarah di daratan Italia, lebih dari satu abad yang lalu. Mari kita simak perjalanan panjang sejarah Palang Merah Internasional dan Palang Merah Indonesia yang dirangkum dari berbagai sumber.

Solferino dan Lahirnya Gagasan Kemanusiaan Global

Pada 24 Juni 1859, meletus sebuah pertempuran dahsyat antara tentara gabungan Perancis-Italia melawan pasukan Austria. Perang ini dikenal dengan nama Perang Solferino, mengambil lokasi di wilayah Italia Utara, seperti Pozzolengo, Cavriana, Guidizzolo, dan tentu saja, Solferino.

Tentara Austria yang dipimpin Kaisar Franz Joseph I membawa sekitar 130.000 pasukan, sementara pihak Perancis-Italia juga hadir dengan kekuatan besar. Baku tembak dimulai sejak pukul 06.00 pagi dan berlangsung selama sembilan jam. Korban jiwa bergelimpangan. Dari pihak Austria, 3.000 tentara tewas, 10.807 luka-luka, dan 8.638 orang hilang atau ditawan. Sedangkan dari kubu Perancis-Italia, 2.492 orang tewas, 12.512 terluka, dan 2.922 lainnya hilang atau ditangkap.

Di tengah kekacauan itu, seorang pemuda Swiss bernama Henry Dunant tengah melakukan perjalanan untuk bertemu Kaisar Perancis, Napoleon III. Namun, yang ia temui bukanlah diplomasi atau perundingan, melainkan pemandangan memilukan tentang penderitaan manusia. Dunant menyaksikan langsung ribuan prajurit terluka yang dibiarkan tanpa perawatan memadai.

Didorong oleh rasa iba dan tanggung jawab moral, Dunant menggerakkan warga desa di sekitarnya untuk menyelamatkan dan merawat para korban perang, tanpa memandang pihak yang mereka bela. Ia melibatkan perempuan, anak-anak, dan penduduk setempat, menunjukkan bahwa rasa kemanusiaan melampaui batas politik dan militer.

Pengalaman itu mengguncang batinnya. Setibanya di Swiss, Dunant menulis sebuah buku berjudul “Kenangan dari Solferino” (Un Souvenir de Solferino), yang terbit pada tahun 1862. Buku tersebut tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga seruan moral yang menggemparkan Eropa. Dalam bukunya, Dunant mengusulkan dua hal penting:

1. Membentuk organisasi kemanusiaan internasional

2. Mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan pertempuran

Gagasannya disambut oleh empat tokoh dari Jenewa. Pada tahun 1863, bersama mereka, Dunant mendirikan Komite Internasional untuk Bantuan Para Tentara yang Cedera, yang kemudian menjadi Komite Internasional Palang Merah (ICRC). Setahun kemudian, atas prakarsa pemerintah Swiss, diadakan Konferensi Internasional Jenewa yang melahirkan Konvensi Jenewa 1864, sebuah perjanjian yang mengatur perlindungan bagi korban perang dan tenaga medis.

Seiring waktu, Konvensi ini terus disempurnakan hingga menjadi empat konvensi utama pada tahun 1949, yang kini dikenal sebagai Konvensi Jenewa I, II, III, dan IV, atau secara kolektif disebut Konvensi Palang Merah. Ini menjadi landasan hukum internasional bagi kerja-kerja kemanusiaan di seluruh dunia.

Organisasi Palang Merah pun menyebar ke berbagai negara. Dari yang awalnya hanya berada di Swiss, kini gerakan ini hadir di hampir seluruh negara, termasuk Indonesia.

Lahirnya Palang Merah Indonesia (PMI)

Sejarah Palang Merah di Indonesia sudah dimulai sejak masa kolonial. Pada 21 Oktober 1873, pemerintah Belanda mendirikan organisasi Palang Merah dengan nama Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (NERKAI). Namun, organisasi ini merupakan bagian dari Palang Merah Belanda dan tidak mencerminkan kemandirian bangsa Indonesia. Ketika Jepang menduduki Indonesia, NERKAI dibubarkan.

Upaya untuk membentuk Palang Merah Indonesia telah dimulai sejak tahun 1932, digagas oleh dua tokoh medis Indonesia: Dr. RCL Senduk dan Dr. Bahder Djohan. Mereka menyusun proposal untuk mendirikan Palang Merah nasional dan mencoba membawanya ke Konferensi NERKAI tahun 1940. Namun, proposal mereka ditolak secara sepihak.

Selama pendudukan Jepang, mereka kembali berusaha membentuk Badan Palang Merah Nasional. Namun, usaha ini kembali digagalkan oleh pemerintahan militer Jepang, dan proposal itu pun harus disimpan sekali lagi.

Kesempatan emas baru terbuka setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pada 17 September 1945, hanya beberapa minggu setelah kemerdekaan, Drs. Mohammad Hatta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden, memimpin pembentukan resmi Palang Merah Indonesia (PMI). Ini menjadi tonggak penting dalam sejarah kemanusiaan Indonesia.

PMI memulai kiprahnya dengan memberikan bantuan kepada korban Perang Kemerdekaan Indonesia dan memulangkan tawanan perang, baik dari pihak Sekutu maupun Jepang. Peran kemanusiaan ini menjadikan PMI sebagai organisasi penting dalam sejarah awal Republik Indonesia.

Pada 15 Juni 1950, PMI mendapatkan pengakuan resmi dari Komite Internasional Palang Merah (ICRC), dan pada bulan Oktober tahun yang sama, diterima sebagai anggota ke-68 Liga Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (kini dikenal sebagai Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, IFRC).

Legitimasi Hukum dan Peran Strategis PMI

Pengakuan internasional ini diperkuat secara hukum oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 25 tahun 1950, dan kemudian diperkuat lagi dengan Keputusan Presiden No. 246 tahun 1963. Dalam Keppres ini, pemerintah menugaskan PMI untuk memberikan pertolongan pertama kepada korban bencana dan perang, sesuai mandat Konvensi Jenewa 1949.

Namun puncak penguatan hukum PMI baru terjadi pada tahun 2018, ketika pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan. Undang-undang ini mengatur kedudukan PMI sebagai satu-satunya organisasi kemanusiaan resmi di Indonesia dan mewajibkan PMI untuk melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan sesuai prinsip-prinsip dasar Palang Merah: kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesukarelaan, kesatuan, dan kesemestaan.

UU ini menegaskan bahwa PMI wajib menjalankan mandatnya tanpa diskriminasi berdasarkan agama, kewarganegaraan, etnis, ras, jenis kelamin, status sosial, atau pandangan politik. Prinsip ini menjadi roh dari setiap tindakan PMI dalam merespons bencana alam, konflik bersenjata, dan krisis kemanusiaan lainnya di seluruh wilayah Indonesia.

Dari Solferino hingga Indonesia, semangat kemanusiaan yang digagas oleh Jean Henry Dunant tidak pernah padam. Gerakan Palang Merah telah membuktikan bahwa nilai-nilai universal seperti empati, keberanian, dan solidaritas dapat menyatukan manusia lintas bangsa dan zaman.

Hari Palang Merah Internasional setiap 8 Mei bukan hanya momen seremonial, tetapi juga ajakan untuk kembali merenungkan peran penting organisasi kemanusiaan dalam menjaga martabat manusia. Dalam setiap luka yang dibalut, dalam setiap korban yang diselamatkan, semangat Dunant hidup. Ia hidup dalam relawan-relawan PMI yang bekerja tanpa pamrih di medan bencana. Ia hidup dalam undang-undang, konvensi, dan komitmen negara-negara untuk melindungi mereka yang paling rentan.

Dan di tengah semua itu, Indonesia pun turut melangkah dalam barisan panjang sejarah kemanusiaan dunia. [UN]