Komplek makam Syaikh Yusuf al Makassari di Cape Town Afrika Selatan
Komplek makam Syaikh Yusuf al Makassari di Cape Town Afrika Selatan

DALAM buku Syekh Yusuf Makassar : Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang (1994), Abu Hamid menyebutkan bahwa Syekh Yusuf adalah peletak dasar kehadiran komunitas muslim di Afrika Selatan dan Srilanka, bahkan ia dianggap sebagai tokoh berpengaruh yang bersikukuh menentang penindasan atas dasar perbedaan warna kulit.

Jejak Indonesia di Madagaskar boleh dikatakan diawali dari Kapal Belanda “De Voetboog” yang berlabuh di Madagaskar pada Juli 1693 itu. Inilah tempat pengasingan terbaru bagi Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani, seorang ulama asal Gowa, Sulawesi Selatan, yang dibuang paksa dari tanah air karena dianggap menentang Belanda.

Jejak di Madagaskar

Kemiripan antara orang Indonesia dan Madagaskar memang bukan sekadar isapan jempol. Denis Pierron dkk. dalam makalah berjudul “Genome-wide Evidence of Austronesian–Bantu Admixture and Cultural Reversion in a Hunter-Gatherer Group of Madagascar” (2014), mengatakan gen orang Madagaskar mengandung 60 persen gen orang Bantu, suku yang sebagian besar menghuni benua Afrika seberang barat pulau Madagaskar. Sedangkan 30 persen lainnya, dalam kata-kata Pierron, “datang dari wilayah Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.” Hasil tersebut didapatkan setelah menganalisis kaitan gen tiga suku yang menghuni Madagaskar, yakni Mikea, Vezo, dan Temoro, dengan data gen orang Asia Tenggara dan Afrika.

Sedangkan Maurizio Serva dan kawan-kawan dalam “Malagasy Dialects and the Peopling of Madagascar” (2011), menyebutkan bahasa Malagasi yang digunakan penduduk Madagaskar dekat dengan bahasa yang digunakan orang-orang Ma’anyan di Kalimantan bagian selatan dengan tingkat kesamaan kosakata dasar sekitar 45 persen. Isi makalah tersebut ada menyebut dugaaan pengguna bahasa Ma’anyan tiba di Madagaskar sejak 650 M.

Riset terbaru oleh lembaga Eijkman bersama sejumlah ahli, yang dipublikasikan di jurnal Nature Scientific Reports edisi 18 Mei 2016 memperkuat hal ini.

Secara linguistik, bahasa Malagasi yang digunakan orang Madagaskar termasuk dalam kelompok Melayu-Polinesia yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini berkerabat dekat dengan bahasa Barito tenggara, yang kini hanya dituturkan oleh Dayak Ma’anyan. Namun, secara genetik, orang Madagaskar ternyata tidak punya hubungan dekat dengan Dayak Ma’anyan.

Murray Cox, peneliti dari Massey University’s Institute of Molecular BioSciences, Selandia Baru, kepada Discovery News mengemukakan penelitiannya atasi sampel gen dari 2.745 individu yang berasal dari 12 pulau di Indonesia. Mereka lalu mengkomparasikan hasilnya dengan 266 individu dari tiga sub etnis Malagasi. Yakni Mikea yang dikenal sebagai kelompok pemburu, Vezo yang nelayan dan semi nomadic, serta sub etnik paling dominan Andriana Merina.

Dari penelitian itulah disimpulkan bahwa nenek moyang Malagasi adalah 30 perempuan Melayu Kalimantan pertama yang tiba di kepulauan tak berpenghuni itu pada 1.200 sebelum Masehi. Karena ditemukan pula kontribusi biologis minor dari Afrika, terang Cox, bisa jadi para perempuan tersebut berpasangan dengan pria Indonesia atau pria Afrika Timur.

Jejak budaya ini ada sampai sekarang. Di antaranya, motif kain tenun di Madagaskar banyak yang mirip dengan yang ada di Sumba, Nusa Tenggara Timur, dengan warna tradisionalnya merah, putih, dan hitam.

Teknik bercocok tanam padi dan membajak sawah dengan luku yang ditarik sapi juga masih ditemui di Madagaskar. Beberapa tanaman pangan dari Nusantara yang dibudidayakan selain padi adalah jenis umbi jalar, talas atau keladi, kacang hijau, dan pisang.

Jejak di Afrika Selatan

Kemudian dilanjutkan oleh Imam Abdullah alias Tuan Guru, yang meninggalkan jejak jelas dari diaspora orang-orang Nusantara di Afrika Selatan, selain di Madagaskar adalah Cape Town, Afrika Selatan.

Di Cape Town, ada daerah bernama Macassar Faure atau Kampung Makassar, merujuk pada asal-usul Syekh Yusuf dan para pengikutnya yang berasal dari Sulawesi Selatan. Keturunan Syekh Yusuf di sana dikenal sebagai orang Cape Malay yang kebudayaannya bisa dilacak kemiripannya dengan budaya bangsa Indonesia (Lona Hutapea, Di Balik Gerbang, 2016:211).

”Tiap ada warga muslim meninggal, kami juga mengadakan tahlilan,” kata Ebrahim Rhoda yang juga hadir dalam Kongres Diaspora di Jakarta.

Salah satu warisan diaspora Nusantara di Afrika yang paling kentara adalah bahasa, seperti yang diakui oleh Andrajati, mantan Konsulat Jenderal RI di Cape Town. “Setidaknya terdapat 350 kosa kata bahasa Melayu yang masih digunakan di Cape Town,” kata Andrajati dalam diskusi yang diselenggarakan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bersama Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada (PSSAT-UGM) di Yogyakarta pada 20 Mei 2009. [S21]