Koran Sulindo – Tak diragukan, alasan ekonomi menjadi alasan utama orang-orang Arab khususnya komunitas Hadrami, penduduk nomaden di Hadhramaut Yaman meninggalkan kampung halamannya.
Mewarisi tradisi pelayaran dan perdagangan yang panjang, pelaut-pelaut dari Hadratmaut menyebar melalui Samudera Hindia dari wilayah tanduk Afrika ke pantai Swhil, hingga Pantai Malabar dan Hyderabad di India Selatan, Sri Langka dan Asia Tenggara termasuk di Nusantara.
Tak cuma berdagang, kehadiran mereka juga mempengaruhi kehidupan keagamaan Muslim setempat. Pengaruh mereka makin menguat pada abad ke-19, seiring dengan melonjaknya jumlahnya imigran-imigran itu.
Mereka membangun perkampungan-perkampungan di rute-rute dagang Nusantara dengan Aceh sebagai tempat pertama mereka menetap. Dari Aceh, mereka bergerak ke Palembang, Pontianak, juga Batavia dan pusat-pusat dagang penting di Jawa lainnya seperti Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surabaya dan Madura.
Di era kolonial, menyusul jumlahnya yang meningkat, mereka segera mendapat perhatian Pemerintah Hindia Belanda termasuk dengan mencari tahu jumah pasti orang-orang Arab yang tinggal.
Pada sensus awal yang dilakukan tahun 1859 diketahui pemerintah kolonial mencata 7.768 orang Arab hidup di Jawa dan luar Jawa. Jumlah tersebut kembali meningkat pada sensus tahun 1970 menjadi 12.412. Angka itu kembali melejit pada sensus tahun 1885 menjadi 20.501 dengan 10.888 di antaranya tinggal di Jawa sedangkan sisanya 9.613 berada di luar Jawa.
Gelombang migrasi itu mengalami pelonjakan menyusul dibukanya Terusan Suez tahun 1869 dan diperkenalkannya kapal api uap yang melayani hubungan Arab Hindia.
Tak hanya menggelar sensus, pemerintah kolonial juga menganggap perlu mengetahui tingkat pengaruh orang-orang Arab itu pada kehidupan Muslim di Hindia Belanda. Takut dengan munculnya ancaman Islam, Belanda segera membuat aturan untuk mengawasi mereka.
Alasan utama mengapa pemerintah Belanda menganggap penting kedudukan Komunitas Arab dilatarbelakangi bahwa mereka mendapat kedudukan terhormat di tengah-tengah Muslim Hindia. Khususnya mereka yang bergelar sayyid – yang memiliki garis genealogi dari Nabi Muhammad- dan diakui memiliki kesalehan Islam.
Di sisi lain, pada tingkat tertentu mereka segera menjadi kelompok elite terkemuka yang dihormati dan di akui Muslim Nusantara sebagai ‘ulama pendakwah yang berwenang menentukan hukum-hukum Islam’.
Bagi Muslim Hindia yang kurang terdidik, orang-orang Arab ini menempati posisi yang lebih terhomat karena anggapan ‘memiliki’ aura kesucian karena statusnya sebagai keturunan Nabi.
Dalam buku Ulama dan Kekuasaan, Jajat Burhanudin mengajukan contoh paling kongkret dengan merujuk seorang ulama Hadrami yakni Habib Husain bin Ali Bakr bin Abdulah al-Alaydrus.
Bagi Muslim pribumi, tokoh yang dikenal sebagai Habib Luar Batang ini adalah salah satu ulama besar yang dipercaya sebagai orang suci atau waliyullah. Makam tokoh ini berada di Luar Batang, Jakarta dan terus dikunjungi peziarah Muslim dari berbagai wilayah Hindia.
Sempat muncul konflik yang berkisar pada isu tentang siapa yang berhak menerima dana dari para peziarah, yang pada tahun 1885 jumlahnya mencapai sekitar 8.000 gulden setahun dan harus melibatkan mufti Batavia, Said Oesman dan dikenal sebagai ‘perkara Luar Batang’.
Terlepas dari konflik tersebut, tempat suci itu membuktikan peran penting keberadaan orang-orang Arab di tengah Muslim Hindia.
Selain Habib Luar Batang, banyak orang-orang Arab terlibat secara aktif dalam mengajarkan Islam dengan bekerja di sejumlah wilayah Hindia sebagai guru agama, pendakwah dan imam masjid. Beberapa sarjana Arab juga memiliki pengaruh kuat dalam diskursus Islam.
Selain Said Osman, beberapa nama lain adalah Abdurrahman bin Ahmad al-Misri, seorang pedagang kaya dari Mesir yang mengabdikan hidupnya di bidang keagamaan, dan Sayyid Salim bin Abdullah bin Sumair dengan karyanya Sadinah al-Naja.
Di bidang ekonomi, orang-orang Arab berperan penting dalam penyelenggaraan haji yang memang menjadi salah satu Rukun Islam di mana mereka menyatukan urusan ekonomi dengan misi agama.
Dalam urusan ini banyak orang Arab bertindak sebagai agen perjalanan termasuk merekrut dan mendampingi para haji sekaligus menjadi pemandu jamaah tentang peta, bahasa dan perjalanan dari dan ke Mekah.
Bidang bisnis ini makin moncer seiring dengan meningkatnya minat Muslim Nusantara untuk menunaikan perintah agama itu. Pada abad ke-19, ketika jumlah jamaah haji meningkat pesat, jumlah imigran-imigran Arab di kota-kota yang menjadi pelabuhan haji di Nusantara juga meningkat pesat.
Menurut catatan-catatan Belanda, jamaah yang mulanya berkisar 2.000 orang pada 1860-an melonjak hingga mencapai 7.000 orang pada 1880-an. Bahkan sempat nyaris menyentuh angka 12 ribu menjelang pergantian abad. [TGU]