Keputusan pemerintah mewajibkan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera medapat kecaman dari banyak kalangan. Nada kritik juga penolakan disuarakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan kalangan pekerja.
Melalui PP 21/2024 tentang penyelanggaraan Tapera, pemerintah mewajibkan setiap pekerja dengan usia paling rendah 20 tahun atau sudah menikah yang memiliki penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum menjadi peserta Tapera.
Dalam PP Tapera di pasal ke 5 memuat bahwa setiap pekerja wajib menjadi peserta. Lebih rinci pada Pasal 7, dirinci jenis pekerja yang wajib menjadi peserta Tapera tidak hanya PNS atau ASN dan TNI-Polri, serta BUMN, melainkan termasuk karyawan swasta dan pekerja lain yang menerima gaji atau upah.
Dalam siaran persnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyatakan tidak setuju bila para karyawan kini harus dibebani potongan gaji untuk tabungan perumahan rakyat. Pasalnya pekerja selama ini sudah dikenakan berbagai pungutan dan pajak yang cukup besar.
Menurut Apindo, sejak munculnya Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, Apindo sudah tidak setuju. Apindo juga telah mengirimkan surat keberatan kepada Presiden mengenai Tapera sebab memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja atau buruh.
“Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2024. Hal ini lantaran tambahan beban bagi Pekerja (2,5%) dan Pemberi Kerja (0,5%) dari gaji yang tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan,” kata Shinta, Selasa (28/5).
Ia menganggap pemerintah lebih baik mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan sesuai regulasi PP Nomor 55/2015 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Sesuai PP tersebut Jaminan Hari Tua atau JHT di BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp 460 triliun dapat digunakan untuk program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan Pekerja dengan maksimal 30% atau setara Rp 138 triliun. Dana MLT yang tersedia itu dianggap sangat besar dan sangat sedikit pemanfaatannya,
Dana MLT Perumahan Pekerja memungkinkan dimanfaatkan untuk pinjaman KPR sampai maksimal Rp 500 juta, Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO) sampai dengan Rp 150 juta, Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) sampai dengan Rp 200 juta, serta Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK).
Membebani pengusaha dan pekerja
Menurut Apindo beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24%-19,74% dari penghasilan pekerja. Beban ini akan semakin bertambah dengan adanya iuran Tapera jika sudah berlaku.
Sementara itu dari kalangan pekerja, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan tidak tepat jika program Tapera dijalankan saat ini. Presiden KSPI Menurut Said Iqbal, ada beberapa alasan mengapa program Tapera belum tepat dijalankan sekarang.
Pertama, belum ada kejelasan terkait program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta.
“Secara logika dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% (dibayar pengusaha 0,5% dan buruh 2,5%) tidak akan cukup bagi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di-PHK,” tegasnya.
KSPI mencatat bahwa saat ini upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Jika dipotong 3%, iurannya adalah sekitar Rp 105.000 per bulan atau Rp 1.260.000 per tahun. Dalam jangka waktu 10 hingga 20 tahun, uang yang terkumpul adalah Rp 12.600.000 hingga Rp 25.200.000. Angka itu dianggap tidak realistis untuk kebutuhan perumahan pekerja.
Selain itu KSPI menilai program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana dari masyarakat, khususnya buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum. Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan ketat untuk mencegah korupsi dalam dana program Tapera. [DES]