Ismail Marzuki : Legenda Musik Indonesia dengan Perpaduan Romantisme dan Nasionalisme

Ismail Marzuki (1914 - 1958)

Ismail Marzuki merupakan komponis yang memainkan peran penting dalam perkembangan seni musik Indonesia. Lagu-lagu ciptaannya sepanjang era 1930-an hingga 1950-an memiliki karakter kuat, memadukan romantisme dan nasionalisme yang khas.

Terlahir pada 11 Mei 1914 di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, Ismail Marzuki berasal dari keluarga menengah. Ayahnya, Marzuki Saeran, bekerja sebagai juru tulis di perusahaan Eskomto dan kemudian sebagai kasir di bengkel mobil.

Saeran memiliki ketertarikan mendalam pada musik keroncong, cokek, dan gambus, serta aktif dalam kelompok rebana di Kampung Kwitang Lebak. Kecintaannya terhadap musik tercermin dalam koleksi alat musik seperti gramofon dan piringan hitam, yang kelak menginspirasi Ismail. Ibunya meninggal tiga bulan setelah Ismail lahir, meninggalkan jejak seni dalam darahnya.

Ismail Marzuki menempuh pendidikan di Madrasah Unwanul Falah Kwitang Jakarta sebelum melanjutkan ke Neutrale Hollands Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Sejak di MULO, Ismail menunjukkan bakat dan minat yang besar dalam musik. Ia belajar memainkan gitar, ukulele, biola, akordeon, saksofon, dan piano. Lingkungan keluarga yang kaya akan seni membuatnya akrab dengan berbagai jenis musik sejak kecil.

Ismail lulus dengan prestasi menguasai bahasa Belanda dan Inggris, yang memengaruhi lagu pertamanya, “Sarinah,” yang diciptakan pada tahun 1931.

Karir Ismail dimulai di perusahaan Knies di Noordwijk (KK), yang menjual alat musik merek Columbia. Di sana, ia bekerja sebagai tenaga verkoper (sales and marketing), yang kemudian berperan besar dalam membentuk karirnya sebagai penyanyi, pemain musik, dan pencipta lagu.

Pada tahun 1936, ia bergabung dengan orkes musik terkenal Lief Java sebagai pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa. Bakatnya semakin menonjol di sini, terutama dalam membuat aransemen lagu barat, keroncong, dan langgam Melayu. Ismail merupakan komponis pertama yang memperkenalkan akordeon dalam langgam Melayu.

Ketika bergabung dengan Lief Java, Ismail mendapat tawaran dari sutradara film “Terang Bulan” (1937) untuk menyuarakan Rd. Mohtar. Suara Ismail yang bagus membuat film ini sukses besar, membawa Lief Java untuk tampil di beberapa negara, termasuk Singapura dan Malaysia.

Bakat Ismail sebagai pencipta lagu semakin terlihat ketika ia bergabung dengan perusahaan radio Belanda NIR pada tahun 1934, meskipun ia kemudian mengundurkan diri pada tahun 1937 karena ketidakcocokan.

Sepanjang tahun 1930-an hingga 1950-an, Ismail Marzuki menciptakan banyak lagu. Menurut Firdaus Burhan, ia menciptakan 118 lagu sepenuhnya dan menulis lirik untuk 11 lagu yang diciptakan orang lain.

Lagu-lagu ciptaannya cepat dicerna masyarakat dan banyak menggambarkan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, terutama pada masa perjuangan.

Beberapa lagu Ismail yang sangat populer antara lain “Rayuan Pulau Kelapa” (1944), yang menjadi lagu wajib penutup siaran TVRI pada masa Orde Baru.

Pada masa kemerdekaan, Ismail menciptakan lagu-lagu fenomenal seperti “Gugur Bunga di Taman Bakti” (1945) dan “Sepasang Mata Bola” (1946). Karya-karyanya memiliki syair yang kuat, melodi yang indah, dan mengandung spirit nasionalisme sekaligus romantisme yang tinggi.

Menurut Jaya Suprana, Ismail Marzuki adalah penggubah lagu Indonesia yang keindahan karyanya terletak pada gerak melodi bebas merdeka yang melanggar kaidah akademis tetapi menghadirkan keindahan luar biasa.

Syair-syairnya sederhana namun anggun dan menggetarkan sukma. Selain sebagai penyanyi dan pencipta lagu, Ismail juga mendirikan “Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran” (PPRK) dan membentuk grup musik “Empat Sekawan” setelah kemerdekaan.

Sebagai bentuk penghargaan atas kontribusinya, nama Ismail Marzuki diabadikan menjadi nama Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), pada tahun 1968.

Ismail juga menerima berbagai penghargaan, termasuk Piagam Widjayakusuma dari Presiden Republik Indonesia, Piagam Tanda Kehormatan Satyalantjana Kebudayaan 1964, dan Piagam Penghargaan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1967. Ia dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tahun 2004.

Ismail Marzuki menghembuskan nafas terakhir pada 25 Mei 1958 setelah menderita sakit pernafasan selama hampir 10 tahun. Kebiasaannya begadang dan merokok memperburuk kesehatannya.

Sebelum sakit, ia sempat membeli saksofon milik temannya yang juga menderita sakit pernafasan hingga meninggal. Ismail meninggal dalam pelukan istri dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. [UN]