“Menjadi Sasak berarti menjadi muslim,” demikian kesimpulan Judith L. Ecklund, antropolog Cornell University AS, yang bertahun-tahun meneliti suku Sadak. Karya-karya penelitiannya selama ini memang fokus tentang Sasak, etnis yang ditaksir mencapai 80 persen dari jumlah penduduk Pulau Lombok.
Sudah pasti, hampir semua suku Sasak ketika ditanya soal agama akan menyatakan diri muslim. Tapi wajah Islam etnis Sasak tidaklah satu. Banyak dari mereka menganut Islam seperti umumnya yang dianut kaum muslimin yang lain, tapi juga ada yang berbeda dari mereka.
Masyarakat di Desa Sembalun, di kaki Gunung Rinjani, misalnya. Model keislaman masyarakat di lembah tersebut masih lekat dengan warna ritual warisan nenek moyang. Sebagian mereka masih mempercayai kekuatan adikodrati yang menjaga gunung.
Gunung Rinjani dianggap sebagian masyarakat Sasak sebagai sumber kekuatan spiritual, sekaligus tempat bermukimnya Dewi Anjani. Konon, Dewi Anjani sosok perempuan sakti yang semula manusia, tapi kemudian berubah menjadi ratu jin. Dia dipercaya sebagai anak penyebar agama Islam di Pulau Lombok. Berarti, jin yang mendiami gunung itu jin Islam.
Di Desa Bayan, Kabupaten Lombok Utara, lain lagi. Penduduknya yang masih memiliki adat istiadat kuat memiliki model keislaman khas Sasak yang dikenal dengan Islam Wetu Telu. Boleh dikata, Desa Bayan merupakan pusat komunitas Islam Wetu Telu.
Istilah Islam Wetu Telu dikenal luas melalui publikasi karya Dr J van Ball (1940). Karya yang diterjemahkan Koentjaraningrat dengan judul Pesta Alip di Bayan ini menjelaskan Pesta Alip, sebuah ritual yang dilaksanakan delapan tahun sekali. Ritual Pesta Alip bertujuan memelihara makam para leluhur Bayan di kompleks makam masjid kuno Bayan.
Tak terlalu jelas, sejak kapan terminologi Islam Wetu Telu muncul. Kosa kata bahasa Sasak-Bayan tak mengenal istilah “wetu.” Sayangnya, istilah “wetu” sering disalah-artikan bermakna “waktu” sembahyang yang hanya harus dilakukan tiga kali sekali dalam sehari.
Ada yang berpendapat, istilah “wetu” berasa dari bahasa Jawa “metu,” yang berarti “muncul” atau “keluar.” Alasannya, Islam di sana semula disebarkan oleh orang asal Jawa. Sementara itu, kata “telu” di kata Wetu Telu, dalam bahasa Sasak-Bayan berarti “tiga” atau sama seperti yang digunakan di Jawa.
Alhasil, penggabungan dari dua suku kata tersebut kemudian diberi makna “muncul dari tiga hal.” Dari sini kemudian sering dipahami, Islam Wetu Telu mempunyai pandangan hidup yang serba “telu” (tiga), seolah-olah angka itu merupakan angka sakral.
Islam Wetu Telu, misalnya, mengenal tiga sistem reproduksi: mentioq (berbenih), mentelok (bertelur), dan menganak (beranak). Ketiga sistem reproduksi ini menjadi cikal bakal seluruh kehidupan di kosmos semesta sebagai bukti kebesaran Tuhan.
Sumber lain menyebut, ungkapan Wetu Telu berasal dari bahasa Jawa, “Metu Saking Telu,” yang berarti keluar atau bersumber dari tiga hal: al-Qur’an, Hadis dan Ijma. Artinya, ajaran-ajaran komunitas penganut Islam Wetu Telu juga bersumber dari tiga otoritas tersebut.
Hanya saja, klaim bahwa ajaran Islam Wetu Telu bersumber dari al-Quran, Hadis dan Ijma tak terbukti dalam prakteknya. Misalnya, doktrin rukun Islam Wetu Telu justru berbeda dari Islam pada umumnya. Dalam Islam Wetu Telu, syahadat tidak dibaca menggunakan bahasa Arab, tapi bahasa Jawa.
Bunyinya: “Weruh ingsun nora ana pangeran liane Allah, lan weruh ingsun setuhune Nabi Muhammad utusan Allah.” Syahadat demikian berisi pengakuan terhadap ke-Esa-an Allah dan Muhammad sebagai Rasul Allah. Ini berarti substansinya sama seperti syahadat kaum muslimin pada umumnya.
Sementara itu, shalat mereka disebut-sebut sama. Terkonfirmasi dari sumber ‘native’ masyarakat Bayan sendiri, mereka melakukan shalat sebanyak lima waktu sehari, yaitu salat Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isya. Ini berarti, shalat mereka tidak berbeda dari penganut Islam pada umumnya.
Penghulu adat Bayan, Amaq Riajim, pernah memberikan bantahan atas pandangan negatif terhadap wetu telu, saat ditemui wartawan Vice. Wetu Telu, menurutnya, bukan agama dan bukan adat, melainkan konsep filosofis.
Wetu telu ini memandang keberadaan manusia ada di dalam tiga alam. Pertama alam rahim atau kandungan, kedua alam dunia, dan ketiga alam akhirat. Ketiga unsur inilah yang memenuhi dunia dan alam semesta ini, yang mengisi dunia ini.
Hal ini bisa dilihat dari serangkaian ritual adat Bayan yang dijalankan bersamaan dengan agama Islam. Contohnya, pada Hari Raya Idul Fitri, dan Idul Adha, peringatan Maulid nabi Muhammad SAW, dilaksanakan dalam dua prosesi berbeda, yakni secara Islam dan Adat.
Pelaksanaan secara adat inilah yang membuat orang menganggap mereka sebagai masyarakat wetu telu yang shalatnya tiga kali. Namun, kebanyakan masyarakat Bayan sudah bosan mendengar anggapan masyarakat tentang mereka, yang beredar sejak masa penjajahan Belanda. [AT]