Seorang anggota SDF menancapkan bendera tanda kemenangan di Suriah Utara pada 8 Februar 2017. Foto: AFP/Delil Souleiman

Koran Sulindo – Menjelang akhir Maret 2019 lalu, berbagai media internasional dan dalam negeri memberitakan kekalahan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Sumber beritanya adalah pernyataan Juru Bicara Pasukan Demokratik Suriah (SDF) Mustafa Bali lewat akun Twitter resminya pada 23 Maret 2019.

“Kami mendeklarasikan kemenangan total dan 100 persen kekalahan teritorial ISIS. Di hari yang unik ini, kami memperingati ribuan martir yang membuat kemenangan ini menjadi nyata,” demikian dinyatakan Bali.

Sebelumnya disampaikan oleh BBC, ISIS menguasai 88.000 kilometer persegi (34.000 mil) tanah yang membentang di Suriah dan Irak. Namun, sejak tahun 2017, pasukan ISIS kerap mengalami kekalahan dalam pertempuran melawan pasukan SDF, yang dibantu Amerika Serikat.

Dengan kemenangan SDF tersebut, apakah itu berarti juga ISIS benar-benar musnah? Apakah kita sudah bisa mengabaikan ISIS beserta gerakan terorismenya?

Kenyataannya, sebulan kurang dua hari sejak pernyataan Mustafa Bali di Twitter tersebut, 21 April 2019, bertepatan dengan Minggu Paskah, gereja-gereja dan hotel mewah di sejumlah kota di Sri Lanka mengalami teror bom. ISIS menyatakan sebagai pelakunya.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh penayangan pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi di jaringan media milik ISIS, Al Furqan. Ia mengatakan, pengeboman di Sri Lanka adalah respons ISIS terhadap kerugian yang melanda markas terakhir mereka di teritorial Baghouz, Suriah.

“ISIS akan membalas dendam untuk anggota yang dipenjara dan dibunuh,” kata Abu Bakr lagi. Ini juga dimaksudkan sebagai seruan kepada para pengikut ISIS, yang telah menyebar di berbagai negara, untuk melakukan tindakan destruktif, seperti teror.

Di sisi lain, jika memang benar masih banyak pengikut ISIS yang tersebar di berbagai negara, bukan tidak mungkin juga mereka akan mendapat pengikut-pengikut baru. Apalagi, selama ini, seperti diberitakan banyak media, ISIS menggunakan cara “cuci otak” (brainwash) untuk merekrut para pengikutnya, dengan menggunakan dalih keagamaan. ISIS mengklaim dan mendoktrin para pengikutnya bahwa paham radikalisme yang mereka yakini dan aksi teror yang mereka lakukan adalah tindakan yang benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan.

Kenyataannya, sampai sekarang memang masih banyak orang yang tidak menyadari pemikiran dan tindakan ISIS sebagai hal yang destruktif. Banyak dari mereka yang kemudian memilih untuk menjadi pengikut ISIS.

Peristiwa yang terjadi pada 4 Mei 2019 lalu di Kota Sebha Selatan, Libya, bisa menjadi bukti lagi bahwa ISIS hanya kalah dalam pertempuran memperebutkan teritorial di Suriah dan Irak, tapi belum benar-benar musnah. Pada serangan fajar di Libya itu, sebagaimana diberitakan Al Jazeera, ISIS menyerang kamp militer, yang menewaskan sembilan orang.

Jadi, sampai saat ini bisa saja ISIS merencanakan untuk melakukan serangan-serangan lain yang dapat meluluhlantakkan suatu negara, yang pada gilirannya dapat merugikan keamanan dunia. Karena itu, menjadi keniscayaan bagi masyarakat internasional untuk bekerja sama melawan aksi dan tindakan ISIS, termasuk meng-counter paham dan pemikirannya yang menghalalkan tindakan destruktif dan teror. Jika tidak, mungkin kita beberapa tahun lagi akan menghadapi perpecahan internasional. [Givanka Nathaniel, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, Angkatan 2018]