Koran Sulindo – Bisa dipastikan sebagian besar analis setuju bahwa Amerika Serikat langsung atau tidak berperan dalam terciptanya kelompok-kelompok teror internasional selam dekade-dekade terakhir.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Osama bin Laden di dekade 80-an adalah ‘tentara’ AS. Ia dicetak untuk membuat Tentara Merah terusir dari Afghanistan sebelum sebelum akhirnya membangun Al-Qaeda untuk balik melawan AS.
Ketika akhirnya Mujahidin benar-benar berhasil menendang Tentara Merah tahun, bagi AS ‘perang suci’ membendung komunis di Afghanistan benar-benar melampaui ekspektasi. Rezim Najibullah yang didukung Moskow dikalahkan aliansi cair kelompok-kelompok muslim yang saling curiga.
Taliban sebagai salah satu faksi terkuat segera menunjukkan bahwa mereka tak bersedia menjadi alat Islamabad atau Washington. Pada akhirnya, Taliban justru menyediakan rumah yang nyaman bagi bin Laden membangun Al-Qaeda.
Casus belli yang menyebabkan serangan AS ke Afghanistan setelah serangan teror 9/11. Dalih yang sama juga digunakan untuk pendudukan AS di Irak, bahwa Saddam Hussein berada di belakang produksi senjata pemusnah massal yang mengancam AS.
Pembongkaran rezim Saddam Hussein dan instal ulang model demokrasi ala Barat yang memicu keruntuhan masyarakat sipil dan mengakibatkan sektarianisme ekstrem. Kondisi itu membuat banyak orang Sunni memilih bergabung kelompok teroris yang kelak menjadi Negara Islam atau ISIS. Sama persis dengan taktik intervensionis AS di Afghanistan yang melahirkan Al-Qaeda.
Saat ini rekreasi teritorial di Suriah dan Irak yang dijuluki Khilafiah menyusut dan hanya menyisakan kantong-kantong terakhir. Bagi orang-orang Irak dan Suriah, mereka hanya menjadi kenangan gelap yang mewariskan kota-kota yang hancur, eksekusi massal, perusakan peninggalan dan penyiksaan.
Tak juga diketahui, apakah pemimpin negara Islam Abu Bakr al-Baghdadi masih hidup. Namun yang mereka masih terus hidup dengan propaganda-propagandi yang dihasilkan internet melalui situs-situs radikal. Dalam batas-batas tertentu mereka terus hadir secara fisik di lapangan seperti di Sinai dan Libya.
Apa berubah dari hubungan kelompok-kelompok teror dan AS adalah bagaimana kelompok itu dihancurkan. AS yang membantu menciptakan Al-Qaeda kemudian memainkan peran penting untuk menghancurkannya setelah kegunaannya berakhir. Di Suriah dan Irak, Washington berpura-pura perang melawan ISIS melalui tangan kedua yakni milisi Kurdi di Suriah, dan tentara pemerintah di Irak.
Keterlibatan AS secara menghancurkan ISIS justru dianggap memperkuat rezim di Damaskus, hal yang tak diinginkan Gedung Putih. ISIS di Suriah dikalahkan oleh koalisi negara-negara Muslim dengan dukungan terbatas namun efektif kekuatan udara dan laut Rusia.
Siapa pecundang paling besar dengan kekalahan ISIS itu? Tentu saja Israel.
Strateg umum pemerintahan Benjamin Netanyahu adalah melemahkan semua tetangganya sekaligus menciptakan perpecahan abadi di antara dengan isu sektarian dan kesukuan. Mereka membantu baik Al-Qaeda atau ISIS di Suriah melawan pemerintah sah negara tersebut dan berulang kali menyerang secara langsung tentara Suriah. Tel Aviv juga secara aktif mendukung separatisme Kurdi di Irak sekaligus mendesak AS untuk menyerang Iran. Mereka menjalin kolusi dengan Arab Saudi yang menggunakan kekuatan militer dan ekonominya untuk memaksa pemerintah Lebanon melepaskan sayap bersenjata Hizbullah dari pemerintahan di negara itu.
Baik Libya, Suriah, Lebanon, Irak, Yaman dan Iran juga Qatar akhirnya terikat pengalaman bersama melawan ISIS sementara masyarakatnya punya alasan bagus untuk membenci campur tangan orang-orang Israel dan Saudi di wilayah mereka.
Meski mereka tak bakalan bertindak serentak melawan Israel karena masing-masing memiliki agenda nasional sendiri, namun dipastikan mereka tak akan berusaha mengakomodasi kepentingan Saudi, Israel atau Amerika.
Rakyat di negara-negara yang pernah tercabik-cabik oleh kelakuan ISIS atau serangan langsung Israel jelas lebih menghormati Iran atau Rusia yang menyelamatkan mereka dibanding Saudi, Israel atau Amerika.[TGU]