Irman Gusman/akun Twitter @IrmanGusman_IG

Koran Sulindo – Irman terdorong melakukan korupsi bukan karena kesulitan ekonomi, tapi oleh sebab lain yang lebih dahsyat pengaruhnya: kekuasaan dan keserakahan.

Publik dikejutkan dengan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] menangkap Ketua Dewan Perwakilan Daerah [DPD] Irman Gusman. Pasalnya kegarangan KPK sudah lama meredup sejak pimpinan periode sebelumnya, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian RI. Irman dicokok dalam sebuah operasi tangkap tangan pada Sabtu pekan lalu.

Irman didakwa menerima suap untuk pengurusan kuota impor gula. Penyidik menyita uang Rp 100 juta sebagai bukti dugaan suap tersebut dari rumahnya. Kendati penangkapan ini kali pertama melibatkan anggota DPD, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang luar biasa. Pasalnya, KPK kerap mencokok pejabat selevel Irman. Yang agak ganjil dan tidak seperti kasus-kasus sebelumnya, barangkali nilai uang yang diterima Irman relatif kecil, hanya Rp 100 juta.

Setelah memeriksa Irman secara intensif, KPK resmi menetapkannya sebagai tersangka. Anggota DPD daerah pemilihan Sumatra Barat itu kini menjadi pesakitan di Rumah Tahanan KPK. Selain Irman, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya yaitu Xaveriandy Sutanto dan istrinya Memi, pemilik CV Semesta Berjaya yang disebut sebagai pemeberi suap.

Melalui pengacaranya, Tommy Singh, Irman akan meminta penangguhan penahanan kepada KPK. “Beberapa anggota DPD RI bersedia menjadi penjamin,” kata Tommy.

Apa yang bisa disimpulkan dari kasus dengan nilai uang di bawah UU KPK itu?

Peneliti Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo, mengatakan korupsi setidaknya bisa dilihat dari dua hal. Pertama, korupsi kecil yang kebanyakan dilakukan pegawai rendahan karena memiliki akses dan peran menentukan atas lancar tidaknya pelayanan publik. Korupsi demikian, kata Adnan, kerugian negara tidak terlalu besar, kendati berdampak negatif pada pelayanan publik. Masyarakat langsung merasakan dampaknya seperti buruknya pelayanan yang diberikan birokrasi.

Selanjutnya, kata Adnan, apa yang ia sebut sebagai korupsi kakap. Tindakan korupsi seperti ini bukan karena keadaan. Irman menjadi contoh nyata dalam korupsi jenis ini. Irman terdorong melakukan korupsi bukan karena keadaannya sedang kesulitan secara ekonomi. Tapi, oleh sebab-sebab lain yang lebih dahsyat pengaruhnya yakni kekuasaan dan keserakahan.

Faktanya, korupsi yang terjadi hari ini kebanyakan dilakukan orang kaya, orang berpengaruh, pejabat tinggi seperti Irman dan pengusaha besar.

Kasus yang paling baru, Komisioner Ombudsman yang membidangi pengawasan sumber daya manusia dan sumber daya alam, Laode Ida, mengaku banyak mendapatkan laporan buruk tentang Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir. Salah satunya, Nasir diduga memperdagangkan jabatan rektor pada universitas negeri.

“Ada info yang masih harus diinvestigasi. Setiap pemilihan rektor harus memiliki mahar sekitar Rp 3-5 miliar,” kata Laode.

Pelaku korupsi seperti ini memiliki daya dan jelajah rusak yang jauh lebih berbahaya. Motifnya adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan membuat sebuah kebijakan berpihak dan menguntungkan diri dan kelompoknya.

Karena memiliki daya dan jelajah merusak dan sangat berbahaya, Bank Dunia lantas menyatakan korupsi sebagai “the abuse of public power for  private benefit.” Artinya menyalahgunakan kekuasaan publik demi kepentingan pribadi. Sedangkan, Transparansi Internasional [TI], sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional menyatakan, korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Sementara dalam buku Bunga Rampai Korupsi LP3ES pada 1985, korupsi menurut H.A. Brasz adalah penggunaan yang korup dari kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan-tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu dengan sah.

Itu sebabnya, korupsi akan menampakkan dirinya jika terjadi monopoli terhadap sumber-sumber ekonomi, terjadinya penyimpangan kebijakan publik dan tidak adanya pertanggungjawaban terhadap publik setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Dengan demikian, korupsi tidak dapat dipandang semata-mata persoalan ekonomi dimana kekayaan negara menjadi berkurang. Persoalan korupsi lebih dari itu karena meliputi aspek sosial budaya, politik serta pertahanan dan keamanan.

Dari aspek sosial budaya berkaitan dengan rusaknya moral bangsa karena pejabat negara selalu berkeinginan untuk mendapatkan pendapatan lebih di luar haknya. Secara politik berkaitan dengan penentuan kebijakan-kebijakan publik yang tidak adil. Hanya kaum berduit yang bisa mengatur pilihan-pilihan publik. Dari aspek pertahanan dan keamanan, keberadaan korupsi tentu mengganggu pertahanan negara karena kebijakan yang ditujukan untuk kepentingan nasional tidak dapat berjalan dengan baik. Ini dapat menimbulkan gejolak sosial dan pada akhirnya mengganggu keamanan negara.

Dalam buku yang disunting Mochtar Lubis dan James C. Scott itu juga merekam jejak korupsi di Indonesia yang telah merentang panjang melewati beberapa zaman. Jika diteliti dengan baik, maka korupsi telah berakar jauh ke masa silam, tidak saja di masyarakat Indonesia, akan tetapi nyaris di semua bangsa. Korupsi senantiasa akan timbul jika budaya satu masyarakat tidak ada nilai yang memisahkan secara tajam antara milik masyarakat dengan milik pribadi.

Yang bisa mengaburkan antara milik masyarakat dan milik pribadi ini hanya para penguasa. Di masa feodal di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia, tanah-tanah luas adalah milik raja, dan raja menyerahkan pada para pangeran kaum bangsawan pengawasan berbagai kawasan. Para pangeran ditugaskan memungut pajak, sewa, upeti dari rakyat yang menduduki dan mengerjakan tanah. Sebagian dari pungutan itu diserahkan para pangeran kepada raja dan selebihnya untuk para pangeran dan pembesar. Di samping  membayar dalam bentuk uang atau in natura, rakyat sering pula membayar dengan “tenaga kasar” – bekerja untuk memenuhi berbagai keperluan sang pembesar dan raja.

Hal demikian juga terjadi di masa kerajaan-kerajaan Indonesia pada waktu lampau. Kewajiban-kewajiban tersebut dilakukan dalam kerangka adat, budaya, kebiasaan turun-temurun, dan apa yang dilakukan raja dan pembesar adalah sesuatu yang “patut”. Kendati si pembayar upeti dan lain sebagainya itu menggerutu, namun apa yang dilakukan para pangeran dan para pembesar itu dianggap sesuatu hal yang wajar.

Padahal praktik tersebut pada hari ini disebut sebagai tindakan korup. Karena itu, korupsi yang terjadi di Indonesia berakar pada masa tersebut – ketika kekuasaan bertumpu pada apa yang disebut kekuasaan “birokrasi patrimonial” – yang berkembang dalam kerangka kekuasaan feodal. Dalam struktur  seperti ini, penyimpangan, korupsi, pencurian akan mudah berkembang.

Keterlibatan pihak swasta dalam kasus Irman juga menunjukkan bahwa korupsi berwajah banyak dan berkelindan. Korupsi tidak hanya terjadi di kalangan pejabat pemerintahan atau birokrasi negara. Korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta. Itu sebabnya, korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa.

Lantas pelajaran apa yang bisa dipetik dari kasus Irman terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan gula? Pasalnya, setelah KPK menangkap dan memproses pengaturan kuota impor daging yang juga melibatkan swasta dan anggota DPR beberapa waktu lalu, faktanya hingga hari ini masyarakat justru masih sulit untuk menjangkau harga daging. Karena itu, penyelesaian kasus Irman diharapkan berdampak perbaikan tata kelola industri gula. [Kristian Ginting]