Sulindomedia – Investasi ideologis-lah yang memberi daya hidup bagi partai politik dalam mengarungi ujian sang waktu. Sudah menjadi keyakinan umum, tanpa kerja keras sekalipun PDI Perjuangan bisa mendulang 14% suara dalam pemilihan umum. Dari mana datangnya dukungan suara itu bermula? Tentu bukanlah tiban dari langit. PDI Perjuangan memang nama yang dikibarkan hari ini, tapi air susu ibu ideologis-nya bisa disusuri hingga Perserikatan/Partai Nasional Indonesia (PNI), yang muncul pada akhir 1920-an di bawah kepemimpinan Soekarno.
Seperti diuraikan dalam buku Gerak Sejarah Partai Banteng, dalam rentang panjang metamorfosisnya dari Perserikatan Nasional Indonesia (1927), Partai Nasional Indonesia (1928), Partai Indonesia/Partindo (1931), Partai Nasional Indonesia (1946), Partai Demokrasi Indonesia (1973), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (1998), riwayat kepartaian anak ideologis Bung Karno itu berkali-kali hidup-mati, patah-tumbuh, hilang-berganti.
Seperti kata Winston Churcill: “Dalam peperangan, orang hanya bisa mati satu kali; sedangkan dalam kontestasi politik, orang bisa saja mati berkali-kali.” Meskipun tokoh-tokohnya bisa mati berkali-kali, sejauh masih tersisa air susu ideologis beserta kehadiran pemimpin baru sebagai personifikasinya, partai pengganti bisa dihidupkan dengan mengalirkan air susu ideologis ke akar rumput yang sebelumnya telah diolah oleh pengusung ideologi yang sama.
Berbeda halnya dengan partai-partai yang hanya mengandalkan kekuatan logistik. Begitu pemasok logistiknya mati, partai itu pun mati, tanpa kemungkinan dihidupkan kembali karena tak menyisakan air susu ibu ideologis yang bisa direproduksi.
Disiplin ideologis merupakan fondasi utama suatu partai. Bung Karno mengingatkan, “Sebuah partai harus dipimpin oleh ide, menghikmati ide, memikul ide, dan membumikan ide.” Tidak sepatutnya partai itu dipimpin oleh uang, menghikmati uang, memikul uang, dan membumikan uang. Partai sejati seharusnya berdiri berlandaskan seperangkat kepercayaan, ide, sikap, dan keyakinan yang menyediakan skema konseptual sebagai panduan aksi dan praktis politik bersama. Ideologi merupakan simpul identitas kolektif yang mentransformasikan kepentingan-kepentingan perseorangan ke dalam kepentingan dan perjuangan bersama. Tanpa panduan ideologi, partai hanyalah kerumunan kepentingan yang mudah berubah menjadi perkakas dari perorangan yang terkuat (the fittest) dan tergemuk (the fattest).
Air susu ibu ideologis dari PDI Perjuangan adalah marhaenisme. Dalam serangkaian tulisan Bung Karno yang dipublikasikan pada 1933, “Mentjapai Indonesia Merdeka”, “Marhaen dan Marhaenis”, “Marhaen dan Proletar”, marhaenisme didefinisikan sebagai asas dan cara perjuangan sosialisme ala Indonesia berlandaskan prinsip “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”, yang menghendaki “hilangnya tiap-tiap kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme”.
Sosio-nasionalisme adalah prinsip kebangsaan yang bermurah hati (sosius); penuh welas asih dan lapang; semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi perikemanusiaan ke dalam dan ke luar. “Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme…. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.” Prinsip ini merupakan perpaduan dari sila kedua dan ketiga dari Pancasila.
Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang bermurah hati (sosius); penuh welas asih, dan lapang; demokrasi yang berorientasi keadilan sosial, yang tidak hanya menghendaki partisipasi dan emansipasi di bidang politik, tetapi juga partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi. ”Demokrasi sejati jang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi.” Prinsip ini merupakan perpaduan dari sila keempat dan kelima dari Pancasila.