PADA awalnya, menurut sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah dalam pengantar buku Mbak Mase: Pengusaha Batik di Laweyan Solo Abad 20 yang ditulis oleh Soedarmono, batik di Jawa berkembang di tengah rakyat kebanyakan, di luar keraton. Batik baru ditekuni kalangan bangsawan keraton setelah keraton di Jawa mengalami krisis kekuasaan politik dan ekonomi, karena dominasi Perkumpulan Dagang Hindia Belanda (VOC).

Keraton dipaksa menjadi kekuatan kultural yang bercorak agraris, yang telah semakin terputus dari dinamika pasar dan pemikiran keagamaan. “Inilah zaman ketika Jawa mengalami apa yang disebut oleh seorang ilmuwan Belanda sebagai ‘periode Bizantium’, ketika perhatian utama keraton tertuju pada penghalusan kebudayaan, cultural refinement, bukan lagi pada kegairahan politik dan ekonomi,” tulis Taufik Abdullah.

Dalam sebuah seminar pada rangkaian acara Festival Batik Nusantara di Solo, Jawa Tengah, Juli 2007 silam, pakar kebudayaan Jawa dari Institut Seni Indonesia-Solo, Dr. Dharsono, juga mengungkapkan hal yang sama. Ia mengatakan, pada masa itulah—terutama setelah Mataram dibagi menjadi dua kerajaan, Surakarta dan Yogyakarta (1755), dan setelah Perang Diponegoro—batik “mulai” masuk keraton.

“Jadi, batik itu muncul dari kalangan rakyat dan saudagar batik dulu, baru ke keraton. Namun, kemudian, pada abad ke-18, sekitar tahun 1769, susuhunan di Surakarta mengeluarkan suatu keputusan formal, pranatan, yang melarang pemakaian batik bercorak jilamprang oleh siapa pun kecuali oleh susuhunan sendiri dan putra-putrinya. Dan, di Yogyakarta, pada tahun 1785, Sultan Yogyakarta mencanangkan pola parang rusak bagi keperluannya pribadi. Kemudian, pada tahun 1792 dan 1798, lewat pejabat keraton dikeluarkan pembatasan-pembatasan selanjutnya atas pola-pola yang dipakai untuk keperluan tertentu di lingkungan keraton, yaitu menunjuk beberapa corak,” kata Dharsono pada seminar tersebut. [Amy D. Wirabudi, Pemerhati Wastra dan Fashion]