Koran Sulindo – Ada lima rektor dan mantan rektor perguruan tinggi negeri dari sembilan panelis pada Debat Ke-3 Pemilihan Presiden-Wakil Presiden 2019. Mereka adalah Rektor Universitas Hasanuddin-Makassar yang juga sosiolog, Prof. Dwia Aries Tina Pulubuhu; Rektor Universitas Syiah Kuala-Banda Aceh Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal. M.Eng.; Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga-Yogyakarta, Prof. K.H. Yudian Wahyudi; Rektor Universitas Diponegoro, Prof. H. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum, dan; mantan Rektor Universitas Tanjungpura-Pontianak, Prof. Dr. Chairil Effendy, M.S.
Empat panelis lainnya adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Prof. Subhilhar, MA, Ph.D.; Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah; Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia yang juga dosen Universitas Airlangga, Prof. Dr. David S. Perdanakusuma, dr.Sp.B.P.-R.E.(K.), dan; sastrawan Radhar Panca Dahana.
Kesembilan panelis tersebut dipilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), setelah dilakukan penelusuran rekam jejak calon panelis oleh kedua tim kampanye pasangan calon. Langkah ini dilakukan untuk memastikan para panelis adalah orang independen dan ahli dalam bidangnya.
Para panelis itu nantinya akan lebih dulu mengikuti focus group discussion (FGD) yang digelar KPU, sebelum menyusun pertanyaan debat. “Untuk FGD, KPU mengundang sembilan panelis dan teman-teman NGO, tokoh masyarakat yang bergerak di lima tema itu. Moderator juga kami undang,” kata Ketua KPU Arief Budiman di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (12/3). “Setelah FGD selesai, mereka langsung merumuskan pertanyaan, dilanjutkan penandatanganan pakta integritas.”
Debat ketiga pilpres akan diselenggarakan pada Ahad, 17 Maret 2019, di Hotel Sultan, Jakarta Pusat. Debat kali ini hanya akan diikuti dua calon wakil presiden, yakni K.H. Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno. Temanya berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan budaya.
Dalam kesempatan itu, Arief juga mengungkapkan, KPU akan meminta tafsir ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pasal 383 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pada pasal tersebut diatur waktu perhitungan suara di lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Dalam Pasal 383 ayat 2 tertulis: perhitungan suara hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPS luar negeri yang bersangkutan pada hari pemungutan suara. Masalahnya, berdasarkan simulasi Pemilu 2019 yang dilakukan KPU di beberapa titik, perhitungan suara bisa melewati pukul 00.00.
“Di beberapa tempat, proses perhitungan suaranya bervariasi. Ada yang bisa selesai pukul 23.00, 24.00, tapi kemarin di Yogyakarta kabarnya sampai dengan pukul 02.00. Jadi, melampaui tengah malam,” kata Arief.
Itu sebabnya, KPU akan meminta pasal tersebut ditafsirkan bahwa perhitungan surat suara tetap bisa dilakukan hingga melewati pukul 00.00, selama tidak ada jeda. Dengan begitu, pekerjaan perhitungan suara oleh KPU tetap dianggap dalam satu hari yang sama.
“Karena enggak mungkin Pemilu 2019 batal karena [perhitungan suara] lewat pukul 00.00,” ujarnya.
Sampai sekarang, KPU pun masih mencari formula perhitungan suara yang lebih efisien. Diharapkan nantinya waktu perhitungan suara bisa lebih, sehingga tak melewati pukul 00.00
Menurut Komisioner KPU Pramono Ubaid, ada dua opsi yang saat ini dimiliki KPU. Pertama: menyelesaikan seluruh perhitungan suara, baik untuk calon presiden dan calon wakil presiden, calon anggota legislatif tingkat DPR, DPRD provinsi, kabupaten/kota, maupun DPD. Setelah itu baru petugas TPS menyalin seluruh hasil perhitungan surat suara ke sertifikat.
Opsi kedua: menyelesaikan perhitungan suara untuk pemilihan presiden terlebih dulu. Nantinya, hasil perhitungan suara tersebut langsung disalin ke sertifikat. Suara untuk caleg DPR, DPRD provinsi, kabupaten/kota, dan DPD akan dihitung sesuai mekanisme serupa hingga selesai. “Di antara pilihan-pilihan itulah yang akan kami lihat efektivitasnya,” ujar Pramono. [PUR]