PDI Perjuangan Rumah Kebangsaan untuk Indonesia Raya
Assalamualaikum, Wr,Wb
Salam Sejahtera
Om Swastiyastu
Nama Budaya
Yang saya Homati
Presiden RI, Bapak Joko Widodo
Wakil Presiden RI Bapak Yusuf Kalla
Ketua MPR yang juga Ketua Umum PAN Bapak Zulkifli Hasan
Ketua Umum PKB Bapak Muhaimin Iskandar
Ketua Umum NASDEM Bapak Surya Paloh
Ketua Umum PPP Bapak Muhammad Romahurmuziy
Ketua Umum HANURA Bapak Oesman Sapta Odang
Ketua Umum PKPI Bapak Hendropriyono
Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj
Para Mentri Kabinet Kerja dan para senior partai
Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala sehingga PDI Perjuangan mampu melewati berbagai ujian sejarah selama 44 tahun. Pasang naik dan pasang surut sebagai sebuah partai politik telah kami lalui. Saya sebagai Ketua Umum pada hari ini ingin mengucapkan beribu terima kasih kepada mereka yang memilih berada dalam gerbong perjuangan politik bersama saya. Terima kasih kepada mereka yang tetap setia meski kadang Partai ini mendapat terpaan gelombang yang dahsyat. Mereka selalu ada, tidak hanya ketika Partai ini sedang berkibar, namun justru memperlihatkan kesetiaan saat Partai ini sedang dalam posisi yang sulit. Ijinkan saya memberikan penghormatan dan penghargaan sebesar-besarnya kepada antara lain Bapak Jacob Nuwa Wea, Bapak Alexander Litaay dan Bapak Mangara Siahaan. Dan masih banyak lagi yang lain, yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Mereka tidak hanya ada dalam sejarah hidup saya, namun juga adalah tokoh-tokoh yang berjuang mempertahankan partai ini sebagai partai ideologis. Kesetiaan yang mereka tunjukan sepanjang hidup kepartaian, bagi saya adalah sebentuk kesetiaan ideologis, yang sudah seharusnya dihayati, dijalankan oleh setiap kader Partai.
Hadiri yang saya muliakan,
Dari awal mula saya membangun Partai ini, tanpa ragu saya telah menyatakan dan memperjuangkan bahwa PDI Perjuangan adalah partai ideologis, dengan ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Syukur alhamdulillah, pada tanggal 1 Juni tahun 2015 yang lalu, Presiden Jokowi telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. Artinya, secara resmi negara telah mengakui bahwa Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Saudara-saudara,
Peristiwa-peristiwa di penghujung tahun 2016, telah menggugah sebuah pertanyaan filosofis dalam diri saya, cukupkah bagi bangsa ini sekedar memperingati 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila? Dari kacamata saya, pengakuan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila, memuat suatu konsekuensi ideologis yang harus dipikul oleh kita semua, segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945.
Apa yang terjadi di penghujung tahun 2016 harus dimaknai sebagai cambuk yang mengingatkan kita terhadap pentingnya Pancasila sebagai “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” terhadap tendensi-tendensi hidupnya “ideologi tertutup” yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ideologi tertutup tersebut bersifat dogmatis. Ia tidak berasal dari cita-cita yang sudah hidup dari masyarakat, melainkan hanya muncul dari suatu kelompok tertentu yang dipaksakan harus diterima oleh seluruh masyarakat. Mereka memaksakan kehendaknya sendiri; tidak ada dialog, apalagi demokrasi. Apa yang mereka lakukan, hanyalah kepatuhan yang lahir dari watak kekuasaan totaliter dan dijalankan dengan cara-cara totaliter pula, yakni teror dan propaganda sebagai kunci tercapainya kekuasaan.
Syarat mutlak hidupnya ideologi tertutup adalah lahirnya aturan-aturan hingga dilarangnya pemikiran-pemikiran kritis karena yang dikehendaki adalah keseragaman dalam berpikir dan bertindak. Oleh karenanya, pemahaman terhadap agama dan keyakinan sebagai bentuk kesosialan pun dihancurkan, bahkan dimusnahkan. Selain itu, demokrasi dan keberagaman dalam ideologi tertutup tidak ditolelir, karena kepatuhan total dari masyarakat menjadi tujuan. Para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa “self fulfilling prophecy”, para peramal masa depan yang ramalannya pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya.
Saudara-saudara
Apa yang saya sampaikan di atas tentang ideologi tertutup, jelas bertentangan dengan Pancasila. Pancasila bukan suatu ideologi yang dipaksakan oleh Bung Karno atau pendiri bangsa lainnya. Pancasila lahir dari nilai, norma, tradisi dan cita-cita bangsa Indonesia sejak masa lalu, bahkan sebelum kemerdekaan. Bung Karno sendiri menegaskan, dirinya bukan sebagai penemu Pancasila, tetapi sebagai penggali Pancasila. Beliau menggalinya dari harta kekayaan rohani, moral dan budaya bangsa Indonesia. Pancasila dengan sendirinya adalah warisan budaya bangsa Indonesia. Apakah ketika Indonesia berumur 71 tahun, lalu sebagian dari kita memilih orang-orang yang tidak mempunyai penglihatan sejarah, bahkan amnesia sejarah. Malah sebagian tanpa ragu terindikasi “menyelewengkan sejarah” demi secarik kekuasaan. Never leave history, saudara-saudara! Saya ajak siapa pun di negeri ini untuk tidak terlibat dalam “proyek” yang melahirkan generasi buta sejarah, terutama sejarah Pancasila 1 Juni 1945. kita telah melupakan sejarah bangsa? Jangan sekali-kali melupakan sejarah kita. Terlalu besar yang dipertaruhkan jika Pancasila secara sistematis dihapuskan dari memori kolektif bangsa, hanya demi perebutan kekuasaan politik.
Saudara-saudara,
Pancasila berisi prinsip-prinsip dasar, selanjutnya diterjemahkan dalam konstitusi UUD 1945 yang menjadi penuntun sekaligus rambu dalam membuat norma-norma sosial politik. Produk kebijakan politik pun tidak boleh bersifat apriori, bahkan harus merupakan keputusan demokratis berdasarkan musyawarah mufakat. Dengan demikian Pancasila adalah suatu ideologi terbuka yang bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak boleh digunakan sebagai stempel legitimasi kekuasaan seseorang atau sekelompok orang. Dalam sifatnya sebagai ideologi terbuka Pancasila bersifat aktual, dinamis, antisipasif dan mampu menjadi “leidstar”, bintang penuntun, bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi setiap tantangan yang sesuai dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan, serta dinamika aspirasi rakyat.
Namun, tentu saja “keterbukaan” ideologi Pancasila bukan berarti kompromistis saat menghadapi sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Keterbukaan yang dimaksud bertujuan mengeksplisitkan ide dan gagasan agar menjadi konkret, sehingga tidak kaku dan keras dalam merespon keaktualan problematika yang harus dihadapi bangsa.
Saudara-saudara,
Indonesia diakui sebagai negara demokratis, namun demokrasi yang kita anut dengan Pancasila sebagai “way of life bangsa” telah secara tegas mematrikan nilai-nilai filosofis ideologis agar kita sebagai sebuah bangsa tidak kehilangan arah dan jati diri.
Pancasila, lima sila, jika diperas menjadi Trisila, terdiri dari: Pertama, sosio-nasionalisme yang merupakan perasan dari kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri kemanusiaan. Kedua, sosio-demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukan demokrasi barat, demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi politik ekonomi, yaitu demokrasi yang melekat dengan kesejahteraan sosial, yang diperas menjadi satu dalam sosio-demokrasi.
Ketiga, adalah ke-Tuhan-an. Menjadi poin ketiga, bukan karena derajat kepentingannya paling bawah. Sekali lagi, bukan karena Bung Karno menggapnya sebagai hal yang tidak penting! Tetapi justru sebaliknya, Ke-Tuhan-an adalah dasar spiritual Republik ini. Ke-Tuhan-an merupakan pondasi bagi kebangsaan, demokrasi politik dan ekonomi Indonesia. Tanpa Ke-Tuhan-an bangsa ini pasti oleng, ibarat badan tak berjiwa. Ke-Tuhan-an yang dimaksud adalah ke-Tuhan-an dengan cara berkebudayaan dan berkeadaban, dengan saling hormat menghormati satu dengan yang lain, dengan tetap tidak kehilangan karakter dan identitas sebagai bangsa Indonesia.
Bung Karno menegaskan, “kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”
Hadirin yang saya hormati, Trisila jika diperas menjadi Ekasila, yaitu gotong royong. Inilah suatu paham yang dinamis, berhimpunnya semangat bersama untuk membanting tulang bersama, memeras keringat bersama untuk kebahagiaan bersama. Kebahagian yang dimaksud adalah kebahagian kolektif sebagai sebuah bangsa, yang memiliki tiga kerangka tujuan: pertama, satu Negara Republik Indonesia yang berbentuk Negara-Kesatuan dan Negara-kebangsaan yang demokratis dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke. Kedua, satu masyarakat yang adil dan makmur materiil dan spirituil dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua negara di dunia, atas dasar saling hormat-menghormati satu sama lain, dan atas dasar membentuk satu Dunia Baru yang bersih dari penindasan dalam bentuk apa pun, menuju perdamaian dunia yang sempurna.
Adapun untuk mencapai kerangka tujuan di atas diperlukan dua landasan: landasan idiil, yaitu Pancasila dan landasan strukturil, yaitu Pemerintahan yang stabil.untuk itulah PDI perjuanagan selalu ikut menjaga jalannya pemerintah Presiden Joko Widodo-Jusuf. Keduanya merupakan syarat mutlak atas tanggung jawab sejarah yang harus kita tuntaskan sekaligus sebagai konsekuensi ideologis yang telah saya sampaikan di awal, yang mengakui Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa. Karena itu pula PDI Perjuangan tetap mendukung Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemerintahan yang terpilih secara konstitusional. Anak-anak saya ini nakal-nakal Bapak Presiden, tapi kalau untuk Bangsa, Jiwa mereka berikan. kalau ada yang macam-macam, Bapak Presiden dan Wakil Presiden panggil kami.
Kader-kader Partai yang saya cintai, hadirin yang saya hormati,
Saya menjabarkan hal-hal di atas dalam forum ini, agar ulang tahun partai yang ke 44 tahun menjadi momen bagi seluruh kader di tiga pilar partai (strukstur, legislatif dan eksekutif) untuk introspeksi diri, untuk menegaskan kembali bahwa PDI Perjuangan tetap memilih jalan ideologis sekaligus menyatakan diri tidak hanya sebagai rumah bagi kaum Nasionalis, tetapi juga sebagai Rumah Kebangsaan bagi Indonesia Raya.
Kepada kader Partai di seluruh Indonesia, saya instruksikan agar tidak lagi ada keraguan, apalagi rasa takut, untuk membuka diri dan menjadikan kantor-kantor Partai sebagai rumah bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi. Saya instruksikan, terutama untuk isu keberagaman dan kebhinekaan, berdirilah di garda terdepan, menjadi tameng yang kokoh untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya yakin, TNI dan POLRI akan bersama kita dalam menjalankan tugas ini, dan tidak akan memberi ruang sedikit pun pada pihak-pihak yang anti Pancasila dan anti demokrasi Pancasila. Apresiasi saya kepada TNI-POLRI yang telah berani bersikap tegas dalam menyikapi pihak-pihak tersebut.
Bagi kader Partai yang berada di legislatif dan eksekutif, kalian tidak hanya dibutuhkan negeri ini untuk mempertahankan kesatuan dan kebangsaan. Perlu disadari, terutama bagi kader yang telah mendapat kepercayan rakyat di eksekutif. Saya tahu, kalian, bahkan saya, adalah manusia biasa. Tentu, sebagai manusia biasa kita tidak luput dari kesalahan. Tetapi, sebagai pemimpin harus disadari pula bahwa jabatan yang kalian emban adalah jabatan politik. Kesalahan dalam keputusan politik tidak hanya berdampak bagi diri pribadi dan keluarga. Kesalahan tersebut berdampak pada kehidupan seluruh rakyat. Karena itu, hati-hatilah dalam membuat keputusan-keputusan politik, baik itu berupa perkataan, tindakan, produk politik baik berupa kebijakan politik legislasi, maupun kebijakan politik anggaran.
Kader-kader yang saya cintai,
Luangkan waktu untuk merenung, sudah tepatkah langkah-langkah yang kalian ambil atas jabatan yang telah diberikan oleh rakyat, ataukah justru sebaliknya. Jangan kalian justru menjadi bagian dari orang-orang yang menindas dan menyengsarakan rakyat dengan kekuasaan yang sebenarnya justru merupakan amanah dari rakyat.
Saya tegaskan kembali, sebagai Ketua Umum Partai, instruksi saya kepada kalian adalah mensejahterakan rakyat, bukan sebaliknya! Kebhinekaan harus disertai dengan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat!
Terakhir, saya ucapkan terima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia yang tetap setia membatinkan Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak perlu reaksioner, tetapi sudah saatnya silent majority bersuara dan menggalang kekuatan bersama. Saya percaya mayoritas rakyat Indonesia mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Kita akan bersama-sama terus berjuang, kita pasti mampu membuktikan pada dunia, bahwa Pancasila mampu menjadikan keberagaman sebagai kekuatan untuk membangun kehidupan yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan.
Bangsa ini sedang berada dalam “struggle to survive’, dalam perjuangan untuk bertahan, bertahan secara fisik dan mental! Bertahan agar tetap hidup, secara badaniah dan mental. Hadapilah tantangan-tantangan yang ada dengan kekuatan gotong royong sebagai kepribadian bangsa. Berderaplah terus menuju fajar kemenangan sebagai bangsa yang sejati-jatinya merdeka. Dengan ridho Tuhan, saatnya kita gegap gempitakan kembali segala romantika dan dinamika, dentam-dentamkan segala hantaman, gelegarkan segala banting tulang, angkasakan segala daya kreasi, tempa segala otot-kawat-balung-wesinya!
Sungguh: kita adalah bangsa berkepribadian Banteng!
Hayo maju terus! Jebol terus!
Kita pasti menang!
Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh.
Om Santi Santi Santi Om
Namo Buddhaya
Merdeka !!!
Jakarta, 10 Januari 2017
Ketua Umum PDI Perjuangan
Megawati Soekarnoputri